Hi guys!
Let me welcome you to IndonesiaMengglobal.com. Sebuah website yang dibuat khusus buat kamu yang tertarik belajar ke luar negeri, khususnya di Amerika. And thanks to IndonesiaMengglobal admin yang sudah memberi kesempatan buat saya menulis di sini.
Well, enough for the introduction. Pada post kali ini, saya akan berbagi pengalaman 5 bulan pertama saya di MIT. 5 bulan? Yup, di sini satu semester kuliah itu sekitar 4 bulan di kalender. Jadi dalam setaon hanya ada 2 x 4 bulan kuliah = 8 bulan. Let me start…
Academics in MIT
People work really hard here. Beberapa teman mengaku hanya menyempatkan diri untuk tidur kurang dari 5 jam per hari. Everyone (or at least most of the students) strive gila โ gilaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Nah ini sebenernya hal yang bagus, tapi di satu sisi yang lain, mahasiswa jadi semacam kiasu, atau egois, atau pelit ilmu satu sama lain.
So, solusinya? MIT sangat cerdik dalam memberikan solusi. And it is the PROBLEM SET (atau dengan kata lain PR). Really? Why? Ya, problem set menjadi satu โ satunya cara agar siswa mau berkolaborasi. Problem Set di sini relatively super hard. Biasanya di minggu ke 1 dan 2, problem set dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 jam. Tapi TIDAK untuk minggu โ minggu berikutnya.
Terus, kalo problem set itu super hard, gimana selesaiinnya? Di sini muncul yang namanya kolaborasi antar mahasiswa dan diskusi antara mahasiswa dengan TA (Teaching Assistant atau semacam asdos). You can know lots of new people with this strategy. Biasanya, saya akan merasa puas bila telah menyelesaikannya problem set dengan banyak diskusi. Dan secara โmagicโ, hal itu membuat saya SANGAT mengerti topik pembelajaran yang dibahas di kelas. Dan yang satu ini juga penting, di sini dosennya murah nilai. Mendapatkan nilai A di dalam sebuah kelas, (menurut saya) lebih mudah darpada mendapatkan nilai A di NTU atau NUS. Sekitar 25 โ 35 % dari satu kelas akan mendapatkan A. Dan ini juga semakin memacu para mahasiswa mau untuk share โilmuโ satu sama lain, atau dengan kata lain, berkolaborasi.
UROP (Undergraduate Research Opportunity Program)
Research selama undergrad adalah salah satu hal yang saat ini mulai banyak di gencarkan. Terutama buat mereka yang ingin melanjutkan ke PhD program, hal ini merupakan salah satu dari hal terpenting.
Kenapa penting?
Pertama, research dan class material sangat โ sangat berbeda. Di dalam research, terkadang kita tidak tahu apa yang kita tuju. Terkadang, hal yang kita dapat tidak sesuai dengan keinginan kita. Dan, buat yang ingin melanjutkan ke PhD, research experience menjadi hal yang sangat penting. Biasanya, (kata orang) saat apply ke PhD program, akan ditanya tentang pengalaman research yang pernah dilakukan.
Kedua, get to know the faculty and other students. Professor di sini sibuk banget, biasanya kalo mau interaksi dengan mereka, salah satu caranya adalah dengan bekerja di lab mereka. Saat kita melakukan riset dengan mereka, kita bisa mengenal mereka dengan lebih baik. Again, ini penting banget, buat yang mau lanjut ke S3, karena professor ini lah yang akan menulis surat rekomendasi. So, UROP adalah sebuah โbrandโ yang dipakai MIT untuk kegiatan undergrad research ini. 85% mahasiswa sini pernah mengambil program ini selama 4 tahun kuliah. Kita bisa dibayar ataupun mendapat kredit bila bergabung dengan program ini.
Dosen di MIT
Gimana sih dosen MIT ngajar di kelas? Well, kamu bisa lihat di ocw.mit.edu, sebuah web yang sebenernya udah cukup terkenal. Yah, in general, ada kelas yang dosennya bagus (mampu mengajar dan menjelaskan dengan baik), dan ada kelas yang dosennya kurang (biasanya mereka berbicara dengan logat tertentu sehingga buat saya susah menangkap apa yang dibicarakan di kelas, atau terkadang mereka terlalu jago sehingga mahasiswa ga ngerti yang diomongin).
Salah satu dosen terbaik (menurut saya) dari 4 kelas yang saya ambil di semester pertama adalah Eric Lander, professor di kelas intro biologi saya, yang juga advisornya Presiden Barack Obama di bidang sains dan teknologi. Kontribusinya ke Human Genome Project bikin dia listed di daftar 100 orang paling influential di dunia oleh Time magazine. Yang paling penting, dia โmampuโ membuat saya menyukai biologi. Di dalam kelasnya, dia sering cerita tentang masa mudanya – tentang penemuan-penemuan yang dia atau temen-temennya temukan. Kadang-kadang, penemuan-penemuan itu ada di buku pelajaran kita!
Itโs kind of amazing, isnโt it? Saya bisa belajar dari seseorang yang dulu terlibat dalam proses penemuan hal baru di bidang biologi. Well, even though gw gak akan melanjutkan karir di biologi, tapi ini kasi experience khusus buat gw.
MIT Student
Umm, di sini, mahasiswa itu bener โ bener diverse. Kita bisa ketemu mahasiswa dari berbagai ras. Roughly 10% itu mahasiswa internasional. Tapi sebenernya, jumlah de facto nya jauh lebih banyak dari itu. Banyak orang yang hanya punya US green card (instead of US passport). Dan ada juga yang punya US passport karena mereka lahir di US, tapi pada kenyataannya, mereka tidak pernah berada di US sampai waktu mereka kuliah di MIT.
MIT cukup hobi bikin hal โ hal yang rada nyentrik. Misalnya, admission decision yang tiap tahun direlease pada pi-day (Maret, 14). Atau, maskot berang โ berang (beaver) yang suka ada di tengah jalan buat di ajak foto โ foto. Maskotnya dikasi nama Tim The Beaver (Tim simply kebalikan dari MIT, dan beaver dianggep sebagai natural engineer โ jangan tanya saya kenapa). Dan juga MIT hacks yang suka bikin hal aneh โ aneh (misalnya tempel mainan orang โ orangan kecil di mana โ mana).
Last but not least, MIT sangat erat dengan engineering culture. Di kaos โ kaos, gelas, gantungan kunci, cinderamata dari MIT, tulisan MIT engineer sudah menjadi hal biasa. Meskipun jurusan science di sini juga sangat bagus, tapi somehow MIT identik dengan engineering.
Cukup buat bicara tentang MIT. Now letโs start about Boston. MIT sendiri adanya di kota namanya Cambridge, tapi MIT ini cuman berjarak satu jembatan dengan Boston. Kalo dari sisi MIT yang paling pinggir, kamu bisa lempar batu ketapel ke boston (LOL). Bener โ bener deket banget. Boston is a nice city, but it is damn expensive. Ya, semuanya mahal di Boston โน. Tapi anyways, berikut beberapa tempat yang jadi langganan saya hangout (well, every place is about food ๐ ) :
- Chinatown
Why? Because chinese food di mana โ mana murah dan enak. Problem dari US east coast menurut saya, banyak restoran yang tidak mempunyai rasa yang kuat. Jadi, rada โ rada hambar makanannya. Dan satu โ satunya jalan adalah dengan ke restoran Asia yang belum Americanized. One of the best ones, itu di Chinatown. - Quincy Market
Ini lumayan terkenal di US, quincy market itu cukup identik dengan Boston. Jadi dia kaya sebuah food court super gede, yang terdiri dari berbagai macem makanan di dalemnya. Menu gw? Lobster roll :9 . The best roll Iโve ever tasted. Tapi sayangnya rada mahal ($17++), jadinya gak sering โ sering dah. - Prudential Mall
Mungkin mall terbesar di Boston. Di dalem ada restoran, toko โ toko (kebanyakan toko baju dan coklat), serta tempat duduk โ duduk. Usually, saya ke sana cuman buat makan sih, kemudian setelah itu pulang.
Sebenernya ada tempat โ tempat lain juga, tapi saya jarang ke sana. Kebetulan saya gak terlalu tertarik dengan hal โ hal seperti museum atau tempat wisata seperti aquarium (mirip seaworld), jadi yah saya gak bisa komentar tentang hal itu. Di sini ke mana โ mana naik train biasanya. Mirip dengan MRT Singapore, cuman mungkin yang ini lebih mahal (kalo jaraknya dekat). Sekali jalan, tariff flat $1,70. Tapi karena gak ada pilihan, yah jadi terpaksa naik kereta deh.
Mudah-mudahan cerita ini agak kasih gambaran tentang sekolah di MIT. See you later! Feel free buat tanya-tanya lewat comments juga ๐
Dear Kevin,
Saya cuma mau mengoreksi satu pernyataan kamu, bahwa kolaborasi di MIT dipicu oleh mudahnya siswa mendapatkan A di kelas. Untuk kelas2 tahun pertama, memang benar bahwa 25-30% dari satu kelas akan mendapatkan A, tetapi tidak untuk kelas2 selanjutnya. Sebagai sophomore di MIT, kelas2 yang saya ambil semuanya B-centered, artinya cuma 10% dari satu kelas yang mendapatkan A. Menurut saya, yang memicu kolaborasi murid2 adalah perasaan “senasib”, dimana hampir semua murid di satu kelas sama-sama merasa bahan pembelajarannya terlalu sulit, jadi mereka harus “kerja sama” dan membantu satu sama lain. Terutama saat mengerjakan problem sets.ย
Moga2 membantu. Thanks.
Kevin,
Tanpa mengurangi rasa hormat, tulisan anda susah dibaca. Terutama disebabkan dalam penggunaan bahasa yang campur aduk. Bukan berarti tidak boleh menggunakan multi bahasa, tapi penempatan kata-katanya kurang tepat di blog post ini. Coba baca lagi sendiri blog post anda ๐
Hi Panggi,
Thanks untuk komentarnya! Bahasa adalah concern kami dari awal – kebanyakan kontributor lebih nyaman berbahasa Inggris, namun kami jg sadar kalo tulisan bahasa Inggris bisa cepet jadi kompleks dan kurang sesuai dengan target audience blog ini. It goes without saying that we really appreciate our contributors’ efforts to write outside of their comfort zone.
Anyways, your criticism is noted – we’ll evaluate in a couple of weeks whether the current language format works well.
Hi Indonesia Mengglobal,
Iya, saya tidak ada masalah jika menggunakan Bahasa Inggris ๐ cuman dari sisi peletakannya yang saya tekankan.
contoh:
“People work really hard here. Beberapa teman mengaku hanya menyempatkan diri untuk tidur kurang dari 5 jam per hari. Everyone (or at least most of the students) strive gila โ gilaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik”
Jadi kalau penggunaan Bahasa Inggris untuk sebuah Istilah, dan format penulisan disesuaikan (misal Italic) saya fikir itu gak masalah. Kalau saya pribadi sih lebih enak baca yang sepenuhnya Bahasa Inggris daripada tulisan seperti yang saya kutip di atas.
Tapi terserah dari pihak Indonesia Mengglobal sih ๐
Yang jelas, terima kasih kepada penulis yang meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman yang sangat berharga ๐
Benar sekali …
Caradailku
Hi guys, my 2 cents.
I think using English for IndonesiaMengglobal should be okay since one of the purposes of the site is to help Indonesian students go “global.” English is one of the main global languages, thus, it almost goes without saying that one should be comfortable in reading, writing and speaking in English if one aspires to go abroad (esp. to English-speaking countries) for one’s studies. This doesn’t mean one should forget the Indonesian language, of course. Maybe the key is to keep consistency in the writing in whichever language the author chooses to, lest it creates confusion, which has been alluded to below.
Thanks,
Sonita
Sipp
Indonesia Mengglobal,
Menurut saya, menggunakan dua bahasa sekaligus dalam artikel ini tidak jadi masalah. Yang membuat suatu tulisan menjadi susah dibaca bukan
bahasanya yang campur aduk, tetapi keterkaitan antar kalimat di setiap
paragraf. Selama kalimatnya masih cohesive, tulisan itu mudah
dipahami.
Satu hal yg membuat saya suka blog ini dibandingkan yg lain, ketika pertama kali membaca artikelnya, adalah tata bahasanya yg semi-formal. Saran dari saya, untuk bahasa yang non-formal sebaiknya diberi italic atau semacamnya. Mungkin berlaku juga untuk bahasa minoritasnya, misal bahasa Indonesia yang disisipi English dan sebaliknya.
Tapi informasi dari artikel ini cukup menarik ๐
sukses ya kak kevin.. saya jga punya harapan utk bisa menembus MIT ^^
[…] 30,000 students (you can use Veni Johannaโs review on Stanford, Kevin Soedyatmikoโs opinion at MIT, and my overall experience at Boston University as references). Campus size definitely owns a […]
wah kereeeen xD kalo boleh tau kakak dulu mantan SMA mana?
IndonesiaMengglobal, boleh minta e-mail, fb, atau twitter nya Kevin Soedyatmiko gak ??
I have so many question about MIT for you ๐
bisa nggak ya masuk mit, gapernah menang olimpiade2, jadi pesimis
wah keren sekali ceritanya! btw beaver mungkin dianggap natural engineer karena dia kerap membangun bendungan dan membuka biji2an untuk makanannya dengan batu ๐