Falling in love with Singapore Management University

4
5836

SMU bukanlah pilihan pertama saya.

Apa yang saya pelajari juga bukan apa yang ingin saya lakukan; jika ditawarkan kepada saya waktu masih lebih muda dan naif, pasti akan saya tolak.

Tapi kenapa sekarang saya menikmati perjalanan saya di Singapore Management University (SMU)?

Semuanya bermula setahun yang lalu saat saya mendaftar untuk universitas di Singapura maupun di Amerika. University of Washington in Seattle datang lebih dahulu membawa kabar baik. Saya telah diterima menjadi siswi di sekolah Ekonomi UW. Tentu saja karena waktu menjelang awal tahun pelajaran menjadi semakin singkat, saya memutuskan untuk menerima tawaran UW. Saya sangat bingung waktu itu- ragu karena saya harus tinggal sangat jauh dari rumah. Walaupun saya sudah meninggalkan rumah sejak usia 15 tahun untuk bersekolah di Singapura, tetap saja saya merasa tidak nyaman. Jika saya harus menempuh perjalanan hampir 1 hari dengan pesawat terbang, bolak-balik Indonesia-Seattle… saya tidak bisa membayangkannya.

Untung saja sebelum saya menerima tawaran dari UW Seattle, tawaran dari Faculty of Arts and Social Science (FASS), National University of Singapore (NUS) datang. Beberapa hari setelah itu, e-mail dari SMU mengabarkan bahwa saya telah dijadwalkan untuk interview lewat telefon. Entah kenapa… saya menerima begitu saja tawaran interview itu. Padahal saya sudah menerima tawaran NUS!

Di sinilah, semuanya bermula.

Bisa dikatakan bahwa saya jatuh cinta dengan SMU saat saya melalui interview lewat telepon (Saya tidak tahu pada saat itu bahwa saya berinteraksi dengan Dean sekolah saya sendiri di admission interview itu). Seperti segalanya sudah disuratkan oleh yang di atas, semuanya berjalan dengan lancar. Dean sekolah saya sungguh menyenangkan untuk diajak berdiskusi, segala pertanyaan tidak membuat saya takut atau ragu, belum lagi pertanyaan yang ditujukan beliau kepada saya: Bagaimana Anda menjelaskan ekonomi kepada keponakan Anda yang masih berumur sepuluh tahun?

Setelah menjalani beratnya kurikulum dan ujian akhir A-level semasa saya di Junior College, saya benar-benar lupa mengapa saya masih memutuskan untuk mendaftar jurusan ekonomi di SMU. Karena ekonomi itu dinamis; segalanya bisa saja benar, berdasarkan data dan bukti-bukti, ekonomi adalah sains yang paling dinamik karena ada sisi humanitariannya.

Lantas mengapa saya akhirnya jatuh cinta SMU?

Well, it seemed obvious enough to me.

Pertama, saya merasa untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun di Singapore bahwa saya diterima. I am home. I am meant to be here. Dengan berbagai kegiatan di mana saya terlibat: SMU Komunitas Indonesia, AIESEC dan juga keterlibatan saya di Prinsep Residence, saya benar-benar menikmati kehidupan sebagai mahasiswa baru di SMU. Saya bertemu banyak teman-teman baik yang sampai sekarang selalu mendampingi saya dalam suka dan duka. Saya diberi kesempatan untuk melakukan banyak hal-hal baru: menyanyi di band, tampil dalam pagelaran seni, kembali lagi menari dan bernyanyi. Akhirnya saya merasa bahagia lagi. Saya berhasil menemukan diri saya lagi setelah beberapa tahun tersesat di concrete jungle yang sangat kompetitif ini. Kapan lagi saya dapat menghabiskan waktu dua bulan di Taiwan, tinggal bersama dengan keluarga asli Taiwan? Mengandalkan segala cara untuk berkomunikasi karena Chinese saya terbatas, tetapi melewatkan sebuah perjalanan yang tak terlupakan? Kapan lagi saya dapat menyelami kultur yang benar-benar berbeda sampai ke intisarinya? Tanpa SMU dan AIESEC, saya tidak akan pernah dapat menjalani semua hal ini.

Kedua, SMU menghargai saya. Di saat saya sangat bingung dengan segala tolakan dari universitas terkemuka di Amerika dan betapa telatnya pengumuman penerimaan dari NUS dan SMU, SMU mengakhiri penderitaan saya dengan pengumuman bahwa saya telah diterima untuk bergabung dengan program Undergraduate jurusan Ekonomi dan saya ditawari untuk menjadi penerima beasiswa ASEAN, sekali lagi. Saya merasa SMU benar-benar menghargai individualitas. Saya bukanlah kandidat sempurna yang mereka inginkan. Nilai saya hanya mencukupi untuk memenuhi kriteria ASEAN scholarship dengan mengantongi AAAB untuk H2 subjects di A-level dan nilai C untuk General Paper saya. Sungguh, saya tidak menyangka bahwa saya bisa mendapatkan beasiswa ASEAN itu.

Ketiga, saya pun belajar untuk berteman dengan siapa saja dan menjadi karakter yang lebih baik setiap kalinya. Kapan lagi saya bisa menikmati belajar bersama teman-teman dari berbagai belahan dunia? Teman-teman saya di SMU kebanyakan berasal dari negara lain: Singapura, Korea, Vietnam, India dan Cina mayoritasnya. Pengalaman berinteraksi dengan teman-teman dalam kelas maupun di luarnya pun menjadi unik dan ciri khas dari pedagogi pelajaran di SMU. Karena saya sudah terbiasa berinteraksi dengan teman-teman dengan latar belakang dan keadaan yang berbeda, saya menjadi lebih toleransi terhadap perbedaan pendapat dan cara berpikir. Saya menjadi lebih sabar dan pengertian saat ada perselisihan. Yang lebih baik lagi, saya lebih mudah berteman dengan orang baru. Hal ini tentunya sangat penting di dunia yang kian mengglobal, di mana semakin banyak orang manca negara yang dikenal, semakin besar peluang sukses di bidang manapun yang ditekuni.

Saya benar-benar bahagia di SMU.

Jika saya tidak memilih SMU, saya mungkin tidak pernah berani kembali ke Indonesia untuk menjalani Overseas Community Service Project; melihat Indonesia dengan lensa yang lain dan benar-benar jatuh cinta lagi. Mungkin saya tidak akan bergabung dengan AIESEC dan tidak akan pernah menempuh dua bulan di negeri orang, sendirian, dengan kosakata yang terbatas, pertualangan paling hebat yang pernah saya lakukan. Jika saya tidak masuk SMU, saya tidak akan merasa utuh- teman yang saya kenal sekarang yang bisa saya andalkan, lingkumgan kondusif untuk perkembangan diri maupun untuk belajar.

 

Saya benar-benar belajar banyak hal di SMU. Awalnya, saya hanya “tersandung” masuk di SMU. Tetapi saya memutuskan untuk mengikuti apa yang saya pelajari di Junior College: “Carpe Diem” yang berarti Seize the Day. Akibatnya? I fall irrevocably in love with SMU.


BAGIKAN
Berita sebelumyaWhat it takes to go beyond
Berita berikutnyaVisiting MIT
Mara Natasha is an ASEAN scholar and a penultimate year student, studying Economics and Finance at Singapore Management University. She was actively involved in SMU Komunitas Indonesia (SMUKI) as Arts and Culture Head of Department and its cultural brainchild, GAYA 2014, as Stage Manager. An avid traveller and reader, Natasha has travelled to more than 21 countries and has not had enough of her wanderlust. She is currently full-time Singaporean PR and part-time Indonesian. She's always looking forward to satisfy her incessant cravings for Indonesian food, especially so during her many overseas travels.

4 KOMENTAR

  1. Yeah, ortu kaya mah sekolah n kuliahnya tinggal pilih. Kalau tidak berhasil dalam hidup itu bodoh sendiri. Kalau berhasil juga biasa saja karena faktor bawaannya memang sudah kuat.

Tinggalkan Balasan ke orion100 Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here