Bukan Culture Shock, Melainkan, Reverse Culture Shock

6
7863
No shock on the culture

Saat itu saya mau masuk pintu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Pintu saya buka dan saya tahan, menunggu orang di belakang saya mau masuk dan memegang pintu untuk orang di belakangnya. Tapi apa yang terjadi? Orang-orang di belakang saya masuk begitu saja, terus-menerus dan saya seperti penjaga pintu mall. Saya pun tertawa sendiri. Antara lucu dan sedikit ironis.

Ketika itu, baru dua minggu saya menginjakkan kaki di Jakarta, sepulang dari menempuh PPIA-VOA Broadcasting Fellowship di Washington, DC, Amerika Serikat. Saya lupa, bahwa menahan pintu untuk orang di belakang itu belum menjadi budaya di Indonesia. Hanya segelintir orang yang melakukannya. Padahal saat saya tinggal di Washington, DC, memegang pintu untuk orang di belakang itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Itulah salah satu contoh perubahan positif yang saya dapat dari hidup 12 bulan di Amerika.

Jujur, saat saya masih belum berangkat ke Amerika, pandangan saya tentang Amerika banyak yang buruk. Apalagi setiap harinya saya dijejali berita miring mengenai Amerika dan orang-orangnya. I judge without knowing the truth, like many Indonesian people do. Bad habit, bad culture. Saya berangkat dengan pola pikir bentukan media massa. Terlebih lagi, saya bekerja di media. Lengkaplah judmental saya terhadap Americans.

But I now believe, when we try to see the good, we will see the good. But when we tend to see the bad, then we will just seing the bad. Jadi tolong jangan melihat artikel ini dan menilai saya membangga-banggan Amerika. Karena bagi saya, Amerika juga punya sisi lain yang membuat saya jauh mencintai negara saya sendiri, Indonesia. Saya cuma ingin menjadikan sisi positif dari Amerika sebagai pelajaran.

TEGUR SAPA

Setelah saya menjadi penghuni Amerika, saya menemukan kebiasaan baik yang jarang saya temukan di Indonesia. Setiap pagi ketika memasuki lift kantor, hampir semua orang saling menyapa. Bahkan orang yang tidak kenal sekalipun.

Good morning,” kata mereka.

Terkadang disertai dengan sedikit perbincangan jika kita mengenal orang tersebut. Meskipun cuma basa-basi, tapi adat ini sangatlah positif untuk diterapkan di Indonesia

Keluar dari lift, mereka akan berkata, “Have a nice day,” atau,  “Have a great day.”

AYO ANTRI

 Budaya tertib lainnya adalah saat mengantri. Wah, saya takjub mereka benar-benar taat pada norma. Selama setahun tinggal di sana, belum pernah saya menemukan ada orang memotong antrian. Tapi baru saja saya tiba di bandara Hongkong, saat mau masuk ke pesawat menuju ke Indonesia, saya sudah menemukan budaya serabat serobot.

 Saat itu antrian sudah panjang. Saya berada di tengah-tengah antrian. Di belakang saya ada orang-orang bule, sementara sekitar 5 orang di depan saya ada orang Indonesia. Tiba-tiba sekelompok orang Indonesia lari sambil tertawa, dan menemukan satu orang temannya sudah mengantri. Sekitar 7 orang Indonesia tersebut, tanpa merasa malu langsung masuk antrian sambil tertawa bangga.

Kemudian, orang bule di belakang saya berkata, “Ah, Indonesian!” Hmm, cap generalisasi bahwa orang Indonesia tidak tertib mengantri sudah ada di benak orang asing rupanya. Betapa mirisnya.

YUK, BUANG SAMPAH MAKANAN SENDIRI

Di DC, tempat saya tinggal, semua orang membersihkan meja makannya sendiri di restoran cepat saji atau di food court.

Kertas atau sterofoam bekas membungkus makanan dan sisa makanan, langsung diangkut sendiri dan dibuang ke tempat sampah. Sementara nampannya, akan diletakkan di tempat yang telah disediakan.

Suatu hari setelah beberapa bulan pulang ke Jakarta, saya makan di restoran cepat saji bersama dua orang teman. Setelah selesai, saya membuang sampah sisa makanan dan meletakkan nampan di meja sebelahnya.

Teman saya berkata, “Kerajinan banget sih. Ntar juga ada yang bersihin.”

MINGGIR DI SEBELAH KANAN

Budaya serta adat lainnya yang bisa dicontoh, adalah saat sedang naik eskalator. Di DC,  saya awalnya kaget ketika saya ditegur karena diam di eskalator di posisi yang seenaknya. “If you don’t want to walk the stairs, please move to the right side,” katanya.

Oalah, jadi orang di luar itu, meskipun ada eskalator, tetap suka jalan. Jadi yang mau diam di tempat, minggir ke sisi kanan. Sisi kiri diperuntukkan bagi mereka yang tetap mau berjalan.

Saat kebiasaan seperti itu saya lakukan berulang-ulang setiap hari selama satu tahun, maka akan menjadi sebuah budaya.  Budaya saya yang baru. Nah, begitu saya pulang, saya justru mengalami gegar budaya. Saya bukan mengalami shock culture ketika tiba di Amerika, tapi justru saat saya pulang ke Indonesia.

Jadi, jika nanti ada kesempatan untuk tinggal di luar negeri dan kembali ke Indonesia, mari kita terapkan budaya yang baik yang kita dapati dari negara lain.

 

Salam,
Retno

 

The photos were supplied by the author.

6 KOMENTAR

  1. tiap negara punya budaya masing2, dan yg positif di 1 negara blum tentu
    demikian di negara lain, begitupun yg negatif,, tapi dr 5 poin yg Anda
    kemukakan disini sepertinya Anda belum mengenal Indonesia tuk terbang
    jau ke luar negeri karna budaya tegur sapa sesungguhnya akan sangat Anda
    jumpai terutama di pedesaan jadi poin yg 1 ini sangat tidak berlaku dan
    kurang bijak bila sbagai perbandingan.
    pon lainnya pun mirip, dan
    tidak berlaku karna Anda menggambarkan di mal dan perkantoran/gedung yg
    diisi minoritas orang Indonesia (baca: kaya dan kota besar), beda jika
    Anda melihat di kota2 lain seluruh nusantara.
    poin yg sangat bisa diambil positifnya dan menyindir org Indonesia menurut saya hanya 1 yaitu budaya antri.
    terima kasih.

    • Hi willi, terimakasih tanggapannya. Saya hanya mencoba menyontohkan kenyataan yang saya temui sehari-hari tanpa bermaksud mengeneralisasi.

      Mungkin Anda benar saya belum mengenal Indonesia untuk pantas terbang ke luar negeri.

      Dalam tulisan di atas, saya hanya bermaksud menyampaikan pelajaran positif yang saya dapat dari pengalaman tinggal di negara orang lain. Contoh-contoh yang saya ambilpun adalah pengalaman saya sendiri.

      Saya hanya menyampaikan, alangkah positifnya jika pengalaman tersebut bisa diterapkan dalam interaksi sehari-hari di tempat kita berasal.

      Jika memang di tempat Willi tinggal atau di daerah lain, budaya-budaya tersebut sudah berjalan dengan baik, alangkah senangnya. Saya patut belajar lebih banyak seperti Anda.

  2. Saya setuju dengan penulis. Sehari-hari saya melihat banyak orang apatis. Budaya ramah orang Indonesia kini sudah mulai bergeser. Jangankan bertegur sapa, kita lebih asik dengan gadget kita sendiri.

    Buang sampah sembarangan juga jadi kebiasaan. Saya sendiri mengaku tidak pernah membuang sampah bekas makanan saya di restoran cepat saji.

    Saya juga merasa takjub kalau di luar negeri orang bisa memberi jalan di eskalator.

    Terimakasih atas sharingnya.

  3. Betul sekali, memang begitu saya pun merasakan hal yang sama sekembalinya dari Aussie. Dan sebagai catatan, di Indonesia saya tidak tinggal di kota besar. Sayangnya orang Indonesia kelewat sombong dan arogan untuk mengakui bahwa banyak hal yang mesti perlu diperbaiki. Mentalitas yang seperti ini seringkali membuat saya pesimis bangsa ini akan menjadi lebih baik ke depannya.
    Apa yang ditulis di atas pun sebenarnya belum menyeluruh, karena masih banyak lagi kebiasaan buruk bangsa kita yang tidak kita sadari seperti sikap agresif, kekerasan, alergi terhadap perbedaan.

    Konyol menurut saya ketika kita mengharapkan Indonesia yang lebih baik lewat pemimpin yang ideal. Padahal peran masyarakat, individu per individu lah yang lebih vital dan ini terjadi di negara-negara maju.

    Yah.. apa boleh buat selama masih mau bertahan sebagai bangsa arogan ya generasi ke generasi kita tetap akan jalan di tempat.

    Kritik memang sakit, tapi kalau tidak mau evaluasi diri ya pasti akan kena kritik. Parahnya kalau anti evaluasi dan anti kritik yang beginilah jadinya…

Tinggalkan Balasan ke Sonny Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here