Bersekolah Di Eropa: Mimpi Yang Tidak Pernah Pudar

5
1348

Tidak mudah memang untuk meraih sesuatu yang menurut kebanyakan orang hal itu tidak mungkin. Butuh kerja keras, ketekunan dan keyakinan yang teramat sangat tinggi untuk mewujudkannya. Salah satunya mimpi untuk bersekolah dibenua biru, benua yang letaknya puluhan ribu kilometer dari tempat tinggal saya di salah satu desa di Sumatera Barat. Mimpi untuk bersekolah disini pun telah ada sejak duduk dibangku SMA, apalagi saat kuliah S1, banyak senior dan dosen saya yang juga bersekolah disini membuat saya ingin mengikuti jejak mereka. Novel Andrea Hirata pun sukses menghipnotis saya untuk terus percaya apa yang saya impikan akan tercapai.

Saya masih ingat dengan jelas 3 tahun lalu ketika baru balik dari benua putih, saat itu semangat saya untuk terus bermimpi tinggi terus mengalir, bahkan tidak sedikit yang menertawakan keinginan konyol saya itu. Memang benar, sekali keluar negeri dengan beasiswa dan untuk sekolah, pasti akan ketagihan untuk mengulanginya lagi. Itulah yang saya rasakan saat kembali ke tanah air. Saat itu saya telah duduk di semester 9, semester bonus bagi anak-anak S1 yang standar lama belajarnya cuma 8 semester. Tapi tak apalah, kesempatan langka yang menjadikan saya tidak bisa lulus tepat waktu, saya pun tetap bersyukur. Keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan S2 pun semakin tinggi. Saat itu akhir tahun 2011, sembari mengerjakan Tugas Akhir, saya tetap browsing mencari kesempatan beasiswa S2. Target utama saya Beasiswa Erasmus Mundus (EM), beasiswa Uni Eropa yang sangat terkenal itu, dan juga beasiswa ke USA, Fulbright. Beasiswa Non Degree pun saya coba, saat itu yang saya coba Beasiswa CCIP, beasiswa untuk belajar 1 tahun di salah satu College University di USA. Di akhir tahun 2011 dan awal 2012  inilah saya mencoba ketiga jenis beasiswa ini, Beasiswa EM yang namanya MERIT (jurusan Information and Communication Technologies), Beasiswa Fulbright dengan Jurusan Telecommunication Engineering dan Beasiswa CCIP dengan jurusan Jurnalistik (jurusannya berbeda sekali dengan jurusan S1 saya karena beasiswa ini mensyaratkan untuk memilih jurusan yang berbeda). Saya pun gagal mendapatkan ketiga beasiswa ini, ya namanya juga belum jodoh. Sedih, itu pasti namun saya belajar untuk menerima semuanya, toh saya sebelumnya jarang gagal mendapatkan apa yang saya impikan, mungkin inilah waktunya untuk belajar merasakan kegagalan. Lagipula,  saat itu saya juga sedang mempersiapkan sidang Tugas Akhir dan wisuda.

Bulan Mei 2012, saya wisuda, akhirnya bisa mendapatkan gelar S1 setelah penantian panjang, rencana memburu beasiswa S2 pun semakin mantap. Bahkan saya menolak untuk bekerja di perusahaaan seperti teman-teman saya kebanyakan. Tawaran untuk sekolah S2 di dalam negeri pun saya tolak juga. Entah kenapa, saya ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri, bukan berarti saya merendahkan kualitas pendidikan di dalam negeri, tapi mungkin saya pernah merasakan bagaimana kuliah di luar negeri itu dan menurut saya kondisinya lebih baik dari beberapa kampus di dalam negeri. Terkesan sombong memang, tapi saya tidak mau mengerjakan sesuatu yang saya tidak suka, saya ingin menjadi dosen dan ingin bersekolah diluar negeri, keinginan yang cukup muluk dan tidak semua orang bisa mengerti keinginan saya itu. Banyak yang berpendapat saya itu menyia-nyiakan kesempatan, lulus dengan nilai yang baik tapi kerjaannya jadi pengangguran. Well, sebenarnya tidak 100% menganggur, saat itu saya sibuk memperbaiki bahasa Inggris saya dan meningkatkan skor TOEFL saya, saya juga mengajar les bahasa Inggris bagi anak-anak SD disalah satu lembaga pendidikan private. Betul-betul menyedihkan, itulah tanggapan yang saya dapatkan, tapi tetap saja, saya senang melakukan semua itu selama saya masih berada dijalur yang benar dan menuntun saya untuk bisa sekolah ke luar negeri.

Berbekal sisa beasiswa yang saya simpan selama beberapa bulan, saya pun mendaftar les TOEFL disalah satu lembaga TOEFL di kota Padang. Syukurnya karena sebelumnya saya pernah les disana, jadi saya mendapat diskon 50% untuk biaya les, belum lagi biaya tes TOEFL yang harus saya keluarkan setiap bulan demi mencapai target minimal 580. Saya pun tidak ingin merepotkan kedua orang tua karena keputusan saya untuk tidak bekerja secara tetap. Tiga bulan berturut-turut saya mengikuti tes TOEFL, belajar tiap hari seperti anak-anak SMA yang mau ujian UN. Tapi sayang, skor bulan pertama (Oktober 2012) lebih rendah dibanding skor saya bulan desember 2011. Saya tidak patah semangat, bulan November pun saya mengikuti tes itu lagi, skornya jauh lebih baik namun masih rendah dari 580. Andaikan beasiswa EM itu mensyaratkan skor 550, mungkin saya sudah masuk zona aman. Ketika itu pun berbagai macam beasiswa EM membuka pendaftaran baru untuk tahun ajaran 2013-2014. Keinginan saya semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Namun sayang, saat itu skor tertinggi TOEFL saya masih skor tahun 2011, karena skor bulan November baru diumumkan diawal Desember. Bermodalkan niat nekad, saya pun mendaftar beasiswa EM jurusan Biomedical Engineering, jurusan yang sedang saya pelajari sekarang. Apakah saya mendapatkan beasiswa EM ini, well ceritanya masih panjang. Karena saya tahu beasiswa ini membolehkan pendaftaran 3 jurusan yang berbeda di Action 1, saya pun mencoba mendaftar 2 jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan Jurusan Teknik Elektro,  jurusan itu Photonic Engineering dan jurusan EM yang gagal tahun lalu, MERIT. Untuk 2 jurusan ini  saya menggunakan skor TOEFL tertinggi yang didapatkan di bulan desember 2012.

Menanti, itulah pekerjaan saya di awal 2013 sembari berusaha mencari pekerjaan lain karena saat itu kontrak saya mengajar les telah habis. Untunglah ada 2 dosen saya yang ingin belajar TOEFL dari saya, jujur perasaan saya cukup random, merasa tidak enak karena beliau berdua dosen saya, merasa senang karena beliau mempercayai saya untuk mengajar. Saya yakin sekali cara mengajar saya masih parah sekali, dan berharap semoga beliau berdua tidak marah kepada saya. Hmm, kembali ke kabar beasiswa S2 itu, saat itu saya juga mendaftar beasiswa EM Action 2 dan (lagi) beasiswa Fulbright. Terdengar rakus akan beasiswa, tapi sebenarnya itu baik. Menurut saya, semakin banyak mendaftar, semakin besar peluang untuk lulus.

Menunggu itu bisa dikatakan pekerjaan yang membosankan, tapi saya berusaha untuk tetap percaya dan berdoa agar bisa lulus disalah satu beasiswa ini. Kabar baik pun datang tanggal 19 Januari 2013. Satu email dr koordinator EM jurusan Biomedical Engineering menyampaikan saya diundang untuk wawancara. Perasaan senang yang bercampur aduk, “Kenapa saya bisa lulus ya? Bukankah skor TOEFL saya jauh rendah dibawah standar, pun juga apakah ini tidak salah kirim email… dan sejenisnya”. Walaupun masih merasa aneh, saya sangat senang, satu langkah terlewati. Wawancara pun dilakukan dan saatnya saya menunggu lagi, sembari berdoa agar diberikan yang terbaik. Bulan Februari dan Maret 2013 mungkin merupakan waktu terburuk saya, waktu dimana semua harapan saya seolah-olah sirna. Satu persatu pengumuman beasiswa masuk ke Inbox di email, menyatakan bahwa saya tidak lulus. Beasiswa yang sangat saya harapkan, EM jurusan Biomedical Engineering, saya gagal mendapatkan beasiswanya namun saya masih berkesempatan untuk kuliah dengan biaya sendiri, dan hal ini pun terjadi untuk 2 jurusan EM action 1 lainnya serta 1 jurusan di EM action 2. Ya Allah, saya benar-benar galau tingkat akut, sedih tak tertahankan, bahkan orang tua saya pun mulai khawatir dengan keadaan saya. Bagaimana tidak, 4 minggu berturut-turut pengumuman itu disampaikan, belum habis sedih saya akan kegagalan pertama, berita kegagalan kedua, ketiga dan keempat pun datang. Rasanya saya sudah tidak bisa menghitung berapa banyak kegagalan yang telah saya dapatkan. Saya menangis hampir tiap malam dan murung di siang hari, bahkan makan pun tidak teratur, semuanya berasa seakan-akan saya tidak di ridhoi untuk melanjutkan sekolah. Saya benar-benar berada di roda yang paling bawah dan saat itu rodanya berjalan sangat lambat, tidak sedikit yang mencemooh serta mengaitkan kebodohan saya untuk tidak memilih bekerja. Mungkin, jika saya tidak beragama, saya sudah gila bahkan sudah bunuh diri. Alhamdulillah, saya masih rajin shalat dan memohon kepada Sang Pencipta akan jalan terbaik. Perlahan tapi pasti, suasana hati saya berubah, saya mulai mengkaji kekurangan saya selama pendaftaran beasiswa S2, dan saat itu pun pengumuman lulus administrasi penerimaan Pertamina diberitahukan. Di awal februari, saya cuma iseng mendaftar, dan ternyata lulus tahap 1, dan seleksi tahap 2 nya psikotes di Jakarta. Alih-alih menghilangkan stress, saya pun berani berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes tersebut, tapi aneh bukan kepalang, saya bukannya berdoa agar lulus, malah saya berdoa agar tidak lulus. Aneh memang, tapi saat itu saya merasa Pertamina itu bukan tempat saya mengabdi, saya merasa tidak nyaman. Rasa sedih saya saat itu masih cukup tinggi, walaupun saya telah berusaha bersikap rasional akan keadaan. Saya benar-benar membutuhkan dorongan semangat dari teman-teman, tapi sayang yang benar-benar teman lah yang bisa mengerti keadaan saya. Syukurlah selama saya di Jakarta, saya bertemu teman-teman lama, termasuk bertemu para staf IIEF yang dulu membantu saya serta teman-teman IELSP dari keberangkatan hingga kepulangan dari USA. Bahkan saat itu saya diajak beberapa teman IELSP untuk mengikuti konferensi alumni di Jogjakarta. Saya pun menyetujuinya, walaupun saat itu sisa tabungan saya menipis, dan untuk pertama kalinya saya sendirian traveling ke Jogja dengan kereta. Ternyata keputusan saya untuk kesana itu benar-benar ampuh, saya berada diantara orang-orang yang selalu bersemangat tinggi untuk menggapai mimpi-mimpinya, orang-orang yang selalu encourage teman-temannya, saya berasa “hidup” lagi. Dan saat itu pun saya kembali ingat satu jenis beasiswa yang disampaikan oleh junior saya, Beasiswa LPDP.

Bagi saya saat itu, beasiswa LPDP sangat terdengar asing, karena sebelumnya saya tidak pernah mendengar beasiswa ini. Secercah harapan pun muncul karena saat itu pihak EM jurusan Biomedical Engineering mau memberikan LoA dan partial waiver bagi saya. Pun juga saat itu Beasiswa Dikti Luar Negeri sedang dibuka. Sementara itu, 2 beasiswa EM action 1 yg gagal juga menjanjikan akan memberikan LoA kepada saya. “Siapa cepat, dia yang dapat”, itulah prinsip yang saya gunakan saat itu karena saya suka dengan ketiga jurusan itu, namun jurusan Biomedical Engineering ini seperti harapan baru bagi saya dan negara saya, mengingat jurusan ini masih langka di Indonesia. Pun juga, Jurusan ini lebih cepat respon dengan keadaan saya saat itu yang tetap ingin mengikuti program namun tanpa beasiswa EM. Sang koordinator program pun amat sangat ramah dan mau menolong saya, beliau berusaha agar saya mendapatkan partial waiver yang cukup besar dan beliau juga mengeluarkan LoA saya jauh lebih awal dibanding tanggal resmi dikeluarkan LoA oleh pihak EM. Semuanya karena saya menjelaskan bagaimana keadaan saya, termasuk pendafataran beasiswa LPDP dan Dikti yang deadline-nya sudah sangat mepet. Saya pun mendaftar beasiswa LPDP secepatnya, mulai dr penulisan beberapa essay hingga pengisian biodata secara online. Penulisan essay pun benar-benar mepet sehingga saya menuliskan 2 diantaranya menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan satunya lagi dengan bahasa Inggris karena kebetulan essay yang satu ini hampir sama dengan essay untuk mendaftar beasiswa EM dan Fulbright. Saya pun tidak menulis muluk-muluk rencana mengubah Indonesia dan sejenisnya, karena saya tahu pasti semua orang akan menuliskan hal yang sama. Yang saya tuliskan bagaimana dan apa saja rencana saya setelah lulus S2, serta saya menuliskan secara jujur apa adanya. Bahkan kesalahan fatal yang saya lalukan dulu pun saya tulis, sama halnya ketika saya menulis essay pendaftaran beasiswa IELSP dulu. Singkat cerita, tanggal 19 Mei 2013 pengumuman seleksi berkas pun keluar. Alhamdulillah, saya begitu senang karena (lagi) diberi kesempatan untuk mendapatkan mimpi itu. Serasa mimpi itu semakin dekat dengan kenyataan, namun saya cepat-cepat beristigfar, takut akan gagal lagi. Sementara itu saya cari di Google salah satu nama penerima beasiswa EM ini yg juga anak Indonesia dan mencoba menghubunginya. Alhamdulillah lagi, teman yang satu ini jadi pengingat saya akan kekurangan saya selama mendaftar beasiswa yang menyebabkan kegagalan. Saya pun merasa senang karena mendapat pembimbing baru. Mulai dari persiapan untuk wawancara serta niat dan doa yang harus ditingkatkan. Lagi, bermodalkan nekad, saya ke Jakarta untuk mengikuti tes wawancara LPDP, saya menulis apa saja prediksi pertanyaan yang akan muncul dan bagaimana cara menjawab dengan baik. Saya juga tidak lupa tips yang disampaikan teman saya itu, “rajin sedekah, rajin shalat dhuha, tahajud dan hajat serta rajin puasa sunah”. Tips yang benar-benar jarang saya lalukan sebelumnya, ya mungkin itu salah satu penyebab saya gagal berkali-kali.

Tanggal 10 Juni 2013 saya berangkat ke Gedung Departemen Keuangan, tempat dimana wawancara dilaksanakan. Syukurlah saya bertemu teman-teman baru yang saling mendukung satu sama lainnya, beda sekali dengan pengalaman saya wawancara IELSP dulu. Saya berharap bisa diwawancara pagi hari, namun giliran yang saya dapat sore hari, dan saya salah satu peserta terakhir yang wawancara hari itu. Perasaan gugup yang cukup tinggi ketika memasuki ruangan wawancara, ketika itu saya mendapat giliran wawancara di panelis 7, beberapa orang reviewer telah duduk dan siap menyambut saya. Bismillah, kata saya dalam hati sembari berdoa demi kelancaran beasiswa. Saya cukup kaget karena reviewer memulai wawancara dengan bahasa Indonesia, sedangkan saya telah mempersiapkan semua jawaban dengan bahasa inggris. Karena reviewer yg memulai berbahasa Indonesia, saya pun menjawabnya dengan bahasa Indonesia, dan anehnya lagi cuma 15 menit, sedangkan informasi yang saya dapatkan wawancaranya selama 30-45 menit. Muncullah berbagai spekulasi, salah satunya saya tidak akan lulus. Tapi untung pikiran ini cepat-cepat saya buang karena selama wawancara saya bisa menjawab setiap pertanyaan dengan baik dan benar dan saya pun tidak tergesa-gesa seperti saat wawancara beasiswa EM dulu.

Nova Resfita di depan stasiun Bruxelles Central
Nova Resfita di depan stasiun Bruxelles Central

Pengumuman beasiswa itu tanggal 17 Juni 2013, menjelang pengumuman itu, saya melakukan tips-tips yang disampaikan teman saya itu sambil mengurus SKCK. Entah kenapa, ada keinginan kuat untuk mengurus SKCK walaupun saat itu sangat tidak jelas status saya, lulus atau tidaknya beasiswa ini. Ketika tanggal itu datang, saya tidak ingin membuka website tersebut untuk melihat kondisi aplikasi saya, takut kecewa lagi walaupun sebenarnya saya menaruh kepercayaan yang cukup tinggi akan kelulusan beasiswa yang satu ini. Sore, sekitar pukul 5, diatas angkutan kota (saat itu masih di Jakarta), senior saya menelepon, mengabari bahwa saya lulus beasiswa LPDP. Mata saya berasa panas dan tanpa sadar saya menangis dan itu diatas angkot, saya masih ingat ekspresi orang-orang diatas angkot yang keheranan melihat saya. Seakan tidak percaya, saya berulang-ulang bertanya kepada senior saya itu akan kebenaran beritanya, terbesit didalam hati rasa lega dan syukur yg luar biasa akan diberikan kesempatan untuk belajar di negeri impian saya. Malam itu  saya pun mengecek website LPDP, dan ternyata benar, ada nama saya tertera di daftar calon penerima beasiswa. Namun, belum keputusan akhir, saya harus mengikuti Program Kepemimpinan selama 11 hari, barulah status “calon” tersebut akan dicabut. Dalam hati, saya tetap bersyukur, setidaknya 75% kesempatan lulus sudah ditangan walaupun kejadian yang tidak diinginkanpun bisa saja terjadi. Sementara itu, pengumuman seleksi berkas beasiswa DIKTI juga keluar, senang karena nama saya tertera di daftar lulus seleksi, heran karena saya mendapat daerah wawancara di Makassar, sedangkan saya mendaftar dari Padang. Saya pun datang ke gedung DIKTI untuk memohon pemindahan tempat wawancara. Syukurlah disetujui dan saya mengikuti wawancara beasiswa DIKTI 2 hari sebelum mengikuti Program Kepemimpinan. Lagi, bukannya bersikap rakus, saya hanya tidak ingin menyesal membiarkan kesempatan yang telah diberikan kepada saya setelah berbagai kegagalan yang saya alami. Saya hanya ingin melakukan yang terbaik tanpa ada penyesalan.

Program Kepemimpinan pun berakhir, dan hari terakhir itu pengumuman kelulusan calon penerima beasiswa. Alhamdulillah, saya beserta teman-teman lain lulus Program Kepemimpinan dan itu artinya kata “calon penerima” berubah menjadi “penerima”. Syukur yang begitu amat dalam atas segala kesempatan yang diberikan, saya pun bergegas menyiapkan persyaratan pengajuan visa dan keberangkatan ke Eropa.

Saya selalu ingat, bagaimanapun kita berusaha, jika tidak diikuti dengan doa, percuma saja. Karena apapun yang terjadi ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Pun juga, dari pengalaman ini saya belajar untuk tidak cepat putus asa, mungkin jika saya berhenti saat itu, di waktu kegagalan-kegalan yang datang silih berganti, tentunya saya tidak akan pernah sampai disini. Memang butuh mental yang kuat agar apa yang diinginkan bisa dicapai, sesulit apapun itu. Kata orang tua saya, di dunia ini yang tidak mungkin itu menghidupi orang yang telah meninggal, jadi selama apa yang diimpikan masih bisa dirasionalisasikan, Insya Allah bisa didapat. Pesan teman-teman saya “Dream it, Fight it, Win it”. Nothing is impossible if you believe, try and try then pray for that.

Bersyukur kepada Allah adalah hal yang mutlak bagi saya, saya juga bersyukur karena memiliki orang tua yang mengerti anaknya, walau sebenarnya beliau berdua tidak seberuntung saya dibidang pendidikan. Orang tua yang selalu mendukung tindakan anaknya yang menurut mereka itu berguna bagi masa depan anaknya. Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman yang selalu mendukung saya baik ketika senang maupun susah, teman-teman yang selalu sabar mendengar celoteh kegagalan saya serta memberi nasehat dan saran. Serta teman-teman yang selalu mengejek saya, karena dari situ saya belajar untuk lebih kuat dan lebih termotivasi.

Dream Big, and Fight For It!
Dream Big, and Fight For It!

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman pembaca. Ingat, jangan ragu untuk meraih mimpi dan cita-cita.

 

Photo credit: All pictures were taken by the writer, Nova Resfita.

5 KOMENTAR

  1. Mbak ceritanya bikin saya haru dan meneteskan air mata sumpah gak boong! keren bgt ceritanya. pingin ke eropa juga. semoga saya cepat ke sana, aamiin!:)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here