Jujur saja, ketika saya ditanya soal pengalaman selama tinggal di luar negeri, maka “sekolah” dan “kuliah” bukanlah insight yang paling saya utamakan. Sebagai orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia, saya merasa saya bukan orang yang tepat untuk dimintai pendapat mengenai perbandingan kualitas pendidikan dalam dan luar negeri. Tentu saya bisa berbagi pengalaman sekolah dan kuliah, tapi saya tidak bisa memastikan seberapa jauh perbedaan student life di kedua tempat.
Lalu, pengalaman apa yang paling berkesan selama saya merantau di berbagai negara?
Bagi saya, persahabatan.
Saya masih ingat betul, kata-kata ibu sebelum saya berangkat untuk menyelesaikan SMA ke Kanada. Dia berpesan, “Cari teman yang banyak ya. Jangan orang Indonesia doang.”
Saat itu, saya tidak bisa membayangkan saya akan berteman dengan orang-orang dari berbagai negara. Jangankan punya teman orang asing, sebagai orang yang “kurang gaul”, bisa punya teman seorang saja, saya sudah bersyukur!
Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti, karena di hari pertama saya langsung mendapat banyak teman baru. Tidak tanggung-tanggung, berhubung tidak banyak orang Indonesia di sekolah saya, teman-teman baru itu berasal dari berbagai penjuru dunia, dari Tiongkok, Uzbekistan, Italia sampai Madagaskar!
Dengan tingkat kemampuan berbahasa Inggris yang berbeda, kami justru saling belajar tentang bahasa masing-masing, dan di sana juga saya membuktikan bahwa bahasa tidak seharusnya menjadi kendala dalam berteman. Justru perbedaan kemampuan itu akhirnya memperkaya kosakata dalam pertemanan yang global karena akhirnya semua pihak belajar beberapa istilah dari bahasa lain. Contohnya, kalau bukan karena bergaul dengan teman-teman asal Singapura, mana mungkin saya tahu istilah bo jio, kiasu, walau eh, yang saya rasa cukup perlu buat dipergunakan semua orang dalam kehidupan sehari-hari! Saya pun cukup bangga karena bisa mengajarkan para teman asing ini tentang bahasa gaul anak Jakarta seperti “jayus”, “jaim”, dan “kepo” – jadi kalau suatu hari nanti kalian bertemu dengan orang Nigeria yang fasih menggunakan istilah-istilah tadi, tanyakan saja, jangan-jangan mereka teman saya!
Saya yang cenderung tertutup juga langsung terjun ke dalam banyak kegiatan sekolah karena teman-teman baru tadi. Bisa dibilang karena “kebawa pergaulan”, saya justru menjadi sangat aktif hingga terlibat dalam pembentukkan ekstrakurikuler baru, menjadi reporter koran sekolah, terpilih menjadi mentor dan anggota dewan siswa,… semua ini di luar bayangan awal saya ketika berangkat meninggalkan Indonesia.
Hal yang sama terulang semasa kuliah di Inggris. Kebetulan universitas saya saat itu, Goldsmiths, University of London adalah liberal arts school sehingga jarang ada mahasiswa Indonesia di sana. Dengan suasana aktivisme di kampus yang cukup kuat dan teman-teman yang kritis, saya jadi terdorong untuk mempelajari isu sosial yang selama ini sering saya abaikan seperti, sebagai contoh, isu fenimisme, hak asasi manusia, dan dampak neoliberalisme.
Tumbuh di lingkungan yang kurang lebih homogen secara sosial dan ekonomi, adanya teman-teman baru dari berbagai penjuru dunia membuka mata saya terhadap dunia. Dan inilah, menurut saya, yang membuat pengalaman hidup di luar negeri menjadi sangat kaya.
Bukannya saya menganggap kalau pengalaman dan exposure ini tidak akan bisa didapatkan di Indonesia. Saya rasa pasti banyak generasi muda Indonesia yang kritis, dan mungkin memang saya saja yang dulu kurang bergaul. Karena itulah, pesan saya untuk semua yang masih ada di bangku sekolah atau berencana untuk kembali ke universitas: bergaul!
Dan mengutip kata-kata ibu saya, “Cari teman yang banyak, jangan orang Indonesia doang!”
Tidak ada yang salah dengan berteman dengan orang Indonesia di perantauan. Tinggal di luar negeri dan jauh dari keluarga memang menantang, jadi sudah pasti ada kenyamanan tersendiri dengan berada di antara orang-orang yang berasal dari lingkungan yang sama, yang memiliki latar belakang budaya yang sama. Terlebih lagi, sebagai sesama perantau, selalu ada baiknya memiliki kenalan orang Indonesia yang bisa saling membantu.
Lebih baik (dan lebih seru) lagi bila pertemanan ini diperluas dengan mencari teman-teman dari negara-negara lain. Dari merekalah kita akan belajar banyak perspektif dan budaya baru. Selama dua tahun saya tinggal bersama orang Vietnam, saya belajar tentang kehidupan di negara sosialis, dan dari seorang housemate asal Perancis saya belajar banyak sekali tentang kopi dan roti! Beda lagi dengan teman-teman dari Korea yang memiliki hobi memasak dan sukses membuat berat badan saya naik hingga 7 kilogram dalam 1 semester!
Tentunya pengalaman pertemanan internasional ini jangan disalahartikan bahwa kita yang akan sekolah di luar negeri harus sibuk mencari teman dan main. Tujuan utama harus tetap menyelesaikan pendidikan dengan nilai yang baik, tetapi sungguh sayang sekali apabila kita kembali ke Indonesia hanya dengan ijazah dan transkrip nilai. At the end of the day, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia-manusia kritis yang mampu mencari solusi dan juga berkontribusi terhadap lingkungan. Dari pengalaman, kemampuan ini didapat tidak hanya dari buku dan ruang kelas, tetapi juga dari pergaulan dan exposure kita dengan dunia di luar dinding sekolah.
Kesempatan untuk berada di luar negeri membuka pintu yang lebih besar untuk kita melihat hal dan isu sosial yang mungkin kurang terekspos di tanah air, suasana lingkungan yang internasional juga akan memaparkan kita dengan sudut pandang yang beragam. Peluang ini harus bisa dimanfaatkan.
Selamat mencari ilmu dan teman baru!