Artikel ini diadaptasi dari blog Lenny Travel Diary.
Tahun 2013, tercapai juga cita-cita saya kuliah di Scottsdale Community College, Arizona berkat beasiswa CCIP. Walaupun cuma 2 semester tapi lumayan untuk mengintip rasanya jadi anak kuliahan di sana. Kuliah di AS mempunyai sistem yang berbeda dengan perkuliahan kita. Anak-anak SMU yang sudah lulus biasanya masuk ke Community College terlebih dahulu. Alasan utamanya untuk menghemat biaya. Dibanding masuk universitas langsung, biayanya bisa dihemat sampai lebih dari 50%, jadi biasanya mereka di Community College mengambil mata kuliah yang masih umum seperti Bahasa Inggris, Matematika, atau yang harus wajib agar nantinya bisa ditransfer ke mata kuliah di universitas tujuan mereka. Setelah kira-kira 2 tahun di Community College, mereka tinggal melanjutkan 2 tahun lagi ke universitas untuk mendapat gelar S1 (Bachelor Degree). Untuk Community College sendiri, kita hanya dapat Associate degree atau sekelas D1 D2 D3 di Indonesia (correct me if I’m wrong).
Sepanjang kuliah disana, saya bisa melihat banyak perbedaan antara sistem kuliah di Indonesia dengan Community College di AS.
1. Kelas
Di AS terdapat tiga jenis kelas, yakni kelas biasa (ketemu dosen di kelas), online (tidak ada pertemuan dengan dosen hanya melalui internet) dan juga hybrid, yang merupakan gabungan antara kelas online dan biasa (hanya beberapa pertemuan dan sisanya online). Harga kelas online memang lebih murah dari kelas biasa, tapi menurut saya belajar tanpa melihat dan mengenal dosennya terasa kurang sekali, seperti hanya belajar sendiri dengan membaca buku. Saya lebih memilih kelas biasa, kecuali jika ada beberapa alasan seperti tidak adanya kelas biasa yang bisa diambil, jarak kampus jauh, disabilitas atau mau kuliah tapi kerja, atau tidak mempunyai waktu. Selain itu, kita bebas mengambil kelas yang tidak ada hubungan dengan jurusan kita. Saya baru sadar bahwa yang mengambil kelas di Community College ini mempunyai berbagai macam tujuan. Ada yang memang anak muda yang mau mengirit duit untuk melanjutkan studi ke universitas nantinya, ada profesional yang mau mengambil certificate dan ada juga yang hanya mau memperkaya diri dengan pengetahuan saja. Ruang kelas di AS menurut saya juga lebih lengkap daripada di Indonesia. Tersedia built-in projector, komputer, tempat charger, tong sampah, hingga pengerik pensil yang menempel di dinding. Saya melihat mahasiswa di sini gemar memakai pensil loh.. mungkin biar hemat bisa dihapus.
Jumlah siswa dalam kelas terbilang sedikit dan ini yang saya suka. Satu kelas saya pernah isinya hanya sekitar 10 orang saja. Paling banyak mungkin 30-an sehingga dosen pun bisa menghapal nama kita.
2. Teman sekelas
Sewaktu saya kuliah di Indonesia, saya cenderung memiliki teman yang sama karena memang pilihan kelasnya jika mendaftar satu jurusan juga sama. Di AS, karena tidak ada pembatasan pengambilan kelas dan juga pilihan kelas yang bervariasi, saya bisa bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda. Misalnya, teman saya di kelas Bahasa Inggris rata-rata adalah teman dari berbagai pelosok dunia karena memang kelas ini wajib diambil bagi kami yang begitu lahir tidak bisa langsung menyebut “Mommy!”. Kami suka curhat mengenai bagaimana beradaptasi di negeri Paman Sam dan saya juga tidak perlu merasa minder karena rata-rata Bahasa Inggris anak indonesia tidak jelek dan aksen kita mudah dimengerti. Di kelas creative writing, rata-rata saya punya teman asli orang AS dan mereka bukan mahasiswa belaka. Kebanyakan telah berusia matang dan bergelut di profesinya masing-masing. Mereka mengambil kelas ini untuk hobi dan alasan pribadi. Ada seorang ibu yang berhutang menyelesaikan buku tentang anaknya. Oleh karena itu dia mengambil kelas ini. Ada juga seorang kakek yang memakai bantuan alat pendengar di kelas kami yang mengambil kelas ini karena hanya ingin saja. Terkadang kami harus mengingatkan sang dosen bahwa kakek ini memiliki keterbatasan dan sang dosen harus menggunakan semacam mik kecil di kemejanya agar kakek ini bisa mendengar. Pertama saya pikir, kenapa tidak di rumah saja mengurus cucu? Tapi ini bukan Indonesia bung! Mana ada kakek-nenek yang tinggal sama cucu lagi di AS? Jadi lebih baik ke kampus belajar dan beraktifitas bersama kami. Biarpun usianya sudah lanjut, dia tetap rajin menyelesaikan PR dan selalu aktif di dalam diskusi grup. Dia bilang dia sungguh terharu dan senang bisa bergabung dengan kelas kami karena mendapat banyak pelajaran dan karena kami sekelas orangnya asik-asik. Sayangnya di beberapa kelas terakhir dia harus Drop Out karena alasan kesehatan. Hiks!
Namun dibalik asiknya teman-teman sekelas, saya akui saya tidak mempunyai teman yang benar-benar dekat karena budaya di sini tidak seperti di Indonesia di mana habis kelas diskusi dulu tentang pelajaran lalu nyontek, kumpul di kantin atau bergosip. Kalau di sini rata-rata mahasiswa masih harus bekerja menghidupi diri mereka sendiri sehingga habis kelas langsung cabut. Apalagi kalau saya mengikut kelas yang rata-rata mahasiswanya orang tua atau pekerja.. tidaklah mungkin nongkrong ke mall bersama anaknya.
3. Kampus
Scottsdale Community Collage termasuk unik karena :
a. Merupakan satu-satunya kampus yang berada di tanah suku Indian. Di Arizona senjata api termasuk legal kecuali di tanah suku Indian. Jadi boleh dikatakan kampus kami selalu aman.
b. Kampus kami go green! Walaupun scottsdale berada di gurun pasir, tapi kampusku rasanya adem. Ada pohon dan kaktus, tempat daur ulang, isi ulang air minum, dan tempat olahraga. Maskot kami bukan binatang tangguh tapi sayur yakni Arthichokes!
4. Fasilitas Kampus
Seperti kampus-kampus di Indonesia, di AS mereka juga menyediakan klub, aktivitas buat para mahasiswa, acara-acara seni, budaya dan olahraga. Kampus juga menyediakan wifi gratis, laboratorium, perpustakaan (sayangnya selama setahun sedang dalam renovasi), kantin, toko buku dan alat penunjang lainnya. Yang membedakan adalah tersedianya writing center yang berfungsi untuk membantu kita mengoreksi Bahasa Inggris serta hal-hal terkait dengan tulisan kita. Fasilitas gratis ini adalah andalan saya setiap kali mau mengumpulkan PR. Saya harus cek dulu ke sini supaya grammarku yang kacau balau sedikit tertata. Kenapa saya katakan hanya sedikit tertata? karena setelah saya cek dan benerkan, begitu mengumpulkan PR lagi dosennya malah membenarkan Bahasa Inggris saya lagi. Hm apakah bahasa inggris itu grammarnya juga subjektif?
Ohya, writing center ini sistemnya kita bikin janji (max 30 menit) dengan salah satu pengajar, lalu nanti kita bertemu one-on-one dan kita kasih lihat PR kita untuk kemudian dilihat mana yang salah. Saya pun bisa tanya kenapa salah dan ini akan dijelaskan. Sistem ini sangat membantu sekali. Tidak hanya international student yang langganan menggunakan fasilitas ini, tapi ada juga mahasiswa AS yang bolak-balik ke sini.
5. Dosen
Seperti di Indonesia, dosen ada yang baik ada yang nyebelin. Kalau pintar mengambil hati, syukur-syukur nilainya lebih bagus. This is so true! Walau bule, namanya juga manusia. Meski begitu, pilih kasih mereka tetap tidak terlalu timpang dan masih dalam lingkup profesional. Untuk yang ingin tahu mau memilih kelas di mana dan dengan siapa, di sini ada referensi yang biasa mereka pakai untuk mengetahui apakah dosennya galak atau tidak. Kompeten atau tidak.
Beda dosen, beda cara mengabsen. Ada yang tidak peduli apakah kamu datang/telat, ada juga yang peduli. Nilai absen ini tentunya bisa mempengaruhi nilai dan pandangan dosen terhadapmu, jadi berusahalah untuk berdisiplin. Untuk pengambilan nilai dan cara mengajar, sepertinya dosen diberikan kewenangan sepenuhnya. Dosen favorit saya selalu dari Creative Writing class karena mereka mengajar dengan cara yang asik dan tidak kaku. Misalnya, terkadang kami diminta untuk mencari ide cerita di luar kelas. Saya pun melipir ke bangku taman dan berbaring sambil memandangi bintang. Damai!
Rata-rata dosen pun sangat ramah dan terbuka mengenai kehidupan pribadinya. Sepertinya mereka memang tidak ingin menjaga jarak dengan mahasiswa. Untuk nilai, ada juga yang santai, misalnya asalkan mengumpulkan tugas mendapat A. Tapi ada juga yang ketat soal nilai, sekali lagi tergantung dengan dosen. Biasanya di hari pertama, dosen membagikan selembar kertas yang berisi penjelasan apa yang akan dipelajari, bagaimana cara mendapat A, email dosen dan garis besar tentang kelas. Jadi dari hari pertama saja sebenarnya sudah bisa dilihat kelas ini worthy atau tidak, karena ternyata sistemnya bisa cancel mengambil suatu kelas dan uangnya dibalikkan. Asik yah!
6. Sistem Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang saya rasakan paling berbeda dengan di Indonesia. Kalau kuliah dulu, terasa sekali budaya mencatat-mendengarkan apa yang dosen bilang. Kalau di sini, saya punya satu buku tipis yang berfungsi untuk semua kelas saya selama satu tahun…dan tidak habis dipakai. Kebanyakan materi disampaikan dalam bentuk presentasi yang nanti bisa di-share di sistem kampus. Kecuali jika memang ada catatan pribadi yang dirasa penting, saya baru catat. Selain itu, di kelas keaktifan lebih ditekankan: aktif bertanya dan menjawab. Ini ada nilai plusnya: supaya disenangi dosen, supaya ketahuan kita mengerti dan supaya dosen tahu kita tidak tidur.
Menjadi mahasiswa internasional itu enaknya kita selalu bisa memberikan perspektif yang baru kepada mereka yang lokal sehingga penting sekali kita sebagai “duta bangsa” meluruskan info-info terkait negara kita misalnya seputar terorisme, korupsi dan hal negatif yang biasanya tersiar sampai AS.
Di kampus saya, kami menggunakan CANVAS, semacam integrated system yang bisa dipakai untuk melihat nilai, mengumpulkan PR dan inbox-an dengan dosen. Sakral banget.
7. Libur semester
Kalau di Indonesia sistemnya semesteran, di kampus kami memakai quarteran jadi kalau dihitung cuma 3 bulan saja. Ada Winter, Spring, Summer, Fall. Sisanya libur. Saatnya jalan-jalan!
8. Beasiswa
Ada juga beasiswa, biasanya terbagi menjadi dua: berdasarkan kemampuan akademik atau kemampuan finansial. Infonya mudah didapatkan juga di kampus. Kalau untuk anak AS biasanya mereka tidak bayar dulu tapi hutang dengan pemerintahnya dan dibayar setelah bekerja, kecuali bagi yang punya duit.
9. Asiknya jadi mahasiswa Internasional
Ini sama saja dengan di Indonesia. Kalau ada mahasiswa dari negeri asing baik itu Pakistan atau Cuba pasti kita penasaran. Begitu juga begitu mereka yang tahu kita berasal dari Indonesia. Secara letaknya saja mereka sudah kurang paham dimana. Tapi saya berusaha memahami, karena sebelum ke AS saya juga tidak tahu ada negara Ghana di Afrika.
Selain itu, karena keeksotisan kita, saya dan teman-teman Internasional lainnya bisa jadi artis dalam acara International Education Week atau yang mengangkat budaya-budaya.
Tapi pada akhirnya, saya pikir kuliah di mana saja sebenarnya sama. Asal ada niat untuk belajar, tidak bolos, rajin dan memanfaatkan kesempatan/fasilitas yang ada, maka niscaya akan berhasil. Buktinya, anak-anak yang kuliahnya di Indonesia tetap bisa menorehkan prestasi keren di kancah internasional. Iya tidak?
Ada tambahan yang lain lagi teman?
sngat menyenangkan ya, bisa kuliah di LN. Sangat ingin mengikuti jejak mba Lenny. Apalagi diceritkan secara gamblang, jadi semakin semangat mengejar mimpi kuliah di LN.