Hi!
Perkenalkan, nama saya Karina Adelita. Seorang alumni FEUI yang dulu bekerja sebagai auditor lalu menjadi guru di pelosok Indonesia dan sekarang sedang menjadi mahasiswi master di Leeds, Inggris, dengan biaya negara alias sebagai penerima beasiswa.
Intinya, saya seseorang yang selalu akan menjadi pemimpi.
Sejak umur 9 tahun, saya selalu memiliki keinginan untuk pergi ke Inggris suatu saat nanti. Lebih tepatnya London. Saya selalu merasa kagum dengan bangunan-bangunan yang ada disana. Tentunya ini hanya gambaran sekilas karena saya pun menontonnya di televisi. Dibandingkan dengan kota-kota lain, seperti New York, London mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Terbayang berjalan kaki di tower bridge ataupun singgah di Big Ben. Saya berasal dari keluarga yang mempunyai pendapatan menengah. Alhamdulillah kebutuhan saya selalu tercukupi. Akan tetapi, tetap saja, pergi ke Inggris apalagi untuk bersekolah adalah sesuatu yang saya anggap hanya angan-angan semata.
Setelah lulus S1 dari jurusan Akuntansi FEUI di tahun 2012, saya menjalani profesi sebagai auditor dan sudah meniatkan akan S2 di tahun berikutnya. Saya sudah menyiapkan semua keperluan-keperluan dokumen untuk mendaftar ke universitas-universitas yang saya inginkan. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Saya diterima menjadi salah satu Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar. “S2 bisa ditunda, kesempatan jadi Pengajar Muda belum tentu datang lagi.” Itulah dasar pemikiran saya pada saat itu.
Saya ditempatkan di salah satu dusun di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Lima jam perjalanan darat dari Palembang, ibukota provinsi. Ketika pertama kali mengajar, hal yang pertama saya ajarkan pun tentang bermimpi. Dengan membawa peta dunia kedalam kelas, saya bercerita ke murid-murid saya bahwa mimpi terbesar saya untuk kuliah di Inggris. Padahal, pada saat itu, saya juga hanya berharap bahwa mimpi saya bisa terjadi. Di kelas kecil tersebut, masing-masing dari kami berbagi tentang mimpi-mimpi terbesar.
“Nak, kalian jangan takut bermimpi. Kalo nanti teman-teman ataupun orang tua kalian meremehkan mimpi besar kalian, kalian harus tetap percaya sama diri sendiri kalo kalian bisa mewujudkan mimpi-mimpi itu. Nanti kita reuni ya di Eropa. ;)”
Itulah pesan saya di minggu pertama perjumpaan dengan mereka. Setahun tinggal di dusun tanpa sinyal telepon ataupun listrik membuat cara pandang saya berubah. Wajar, saya dibesarkan di ibukota dimana semua fasilitas tersedia.
Tentu keadaan ini membuat saya mengalami culture shock diawal kedatangan saya.
Bertemu dengan murid-murid yang selalu bersemangat ke sekolah, berani menjawab pertanyaan walaupun jawabannya salah, membuat saya percaya akan masa depan Indonesia. Mereka termasuk kedalam pendukung-pendukung terbesar saya. Meskipun saya menyangsikan akan kemampuan diri sendiri, mereka selalu berkata dengan percaya diri,
“Ah Ibu nanti tahun depan kan ke Inggris. Pasti lupa sama kita disini. Nanti Ibu nikah ama bule terus ndak pulang lagi ke Indonesia.”
Celoteh yang membuat saya selalu tersenyum. Padahal waktu itu mendaftar ke universitas saja belum saya lakukan. Saya pun mulai mendaftar universitas maupun beasiswa pada saat murid-murid liburan semester.
Sekarang, saya sudah tinggal di kota yang jaraknya ribuan kilometer dari murid-murid saya. Ya, saya diterima beasiswa LPDP sehingga bisa berangkat ke Inggris pada September 2014 kemarin. Bukan di London seperti bayangan saya, akan tetapi di Leeds, lima jam naik bis dari ibukota Inggris. Hampir satu tahun berlalu, semenjak saya berpisah dengan murid-murid dan juga warga dusun. Dua bulan sekali, saya masih mengirim postcard untuk menanyakan kabar mereka.
Jika ditanya, ada pengaruhnyakah mengikuti Indonesia Mengajar ke kehidupan S2 saya di luar negri?
Tidak dalam hal akademis. Duduk di bangku perkuliahan kembali bukan hal yang mudah bagi saya. Apalagi saya tidak pandai menulis. Sedangkan tugas saya diminta untuk membuat paper. Belajar lagi. Itu suatu kepastian. Saya yakin saya memiliki teman-teman seperjuangan, mahasiswa-mahasiswi Indonesia, yang berkutat dengan masalah tugas masing-masing.
Akan tetapi, bergabung dengan Indonesia Mengajar sebelum berangkat S2 menambah jiwa nasionalis dalam diri saya. Membuat saya sadar bahwa banyak masalah ‘akar’ di Indonesia yang belum terselesaikan dan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Dari hal kecil, tidak harus bergabung dengan Indonesia Mengajar, kita bisa membuat Indonesia ke arah yang lebih baik. Apalagi setelah saya mengikuti pelatihan dari beasiswa. Disana saya dikumpulkan dengan orang-orang yang diterima di perguruan-perguruan tinggi top dunia. Saya yakin bangsa kita akan lebih unggul dari negara lain asalkan setiap individunya melakukan kebaikan bagi bangsanya sendiri. Pay it Forward. Karena berbuat baik itu menular.
Sekarang, saya merasa sangat beruntung karena saya sedang menjalani mimpi saya, yang dulu terkesan hanya angan-angan belaka. Mau melakukan apa setelah ini? Tentunya, saya ingin menjalani mimpi yang lebih besar lagi. Yang mungkin jika dikatakan sekarang terdengar mustahil, tapi saya percaya bahwa you never know, and should never underestimate, the power of dream!
Content edited by Artricia Rasyid
Photo Credits: Karina Adelita
saya punya mimpi seperti ka karina, saya sampai mau menangis mendengar cerita ini. saya berharap bisa mewujudkan mimpi saya seperti ka karina. terimakasih ka untuk motivasinya 😉
Halo Mersa! Terima kasih banyak atas apresiasi nya. Semoga terwujud semua cita-cita kita ya!
Halo Mbak Mersa, saya Rosa dari PBEC Malang (Komunitas Pemburu Beasiswa). Kami akan mengadakan kuliah online, apakah Mbak Mersa bisa menjadi pemateri? Terima kasih
Sngat menginspirasi,,
Mmbuat saya jadi tidak takut bermimpi.. Trimakasi y kk
🙂