Mendaftar untuk sekolah di luar negeri terkenal mengerikan. Syarat-syarat untuk mendaftar berlapis-lapis. Tanpa terasa hatimu sudah mengecil, takut untuk menyentuh masuk Google atau membuka panduan, takut untuk gagal atau tersandung dijalan, takut bahwa mimpimu untuk sekolah ke luar negeri akan hancur dengan langkah pertama…
Sebuah tebing curam berdiri didepanku, menantangku untuk memanjatnya. Pada saat itu, aku baru berusia delapan tahun. Suara teriakan teman-temanku yang sudah sampai puncak menjulur sampai bawah tebing, dimana aku masih menunggu keberanianku untuk memunculkan diri. Melihat ke atas, tanganku semakin berkeringat, pikiranku semakin gelisah dan hatiku semakin kecil.
Apa yang perlu kupersiapkan dan lakukan untuk sampai di atas? Kupandangi dinding tersebut, berusaha untuk mempetakan bolongan-bolongan yang akan menjadi tempatku berpegangan. Salah seorang fasilitator dari Outbound Indonesia memberitahuku bahwa semakin lama aku menunggu, tembok akan semakin panas. Faktor lainnya yang muncul dibenakku adalah kurangnya pengalaman, fisik yang tidak terolah, perutku yang keroncongan, serta usiaku yang masih termasuk muda dibandingkan kakak-kakak SMP yang telah mencapai atas. Belum lagi fobiaku terhadap ketinggian.
“Emang ga ada cara lain, kak?” Kutanya fasilitator yang menungguku sejak sepuluh menit yang lalu. Ia hanya menggelengkan kepala. Terpaksa, aku mulai memijak bolongan-bolongan yang telah kuisolasi sebelumnya. Belum lama, kakak tersebut terlihat seperti tangkai kecil di kejauhan.
Pengalaman pertamaku memanjat tebing bak pengalaman pertamaku mendaftar untuk S2. Seperti banyak teman-teman sebangku serta teman-teman IM, aku merasa cukup bingung pada saat memilih sekolah, mengaji kriteria dan kemungkinan untuk diterima, mengukur probabilitas untuk mendapat beasiswa, serta membangun rasa percaya diri untuk mengirimkan surat aplikasiku. Tanpa pernah mengunjungi kampus-kampus itu secara langsung, mengenal alumni atau fakultas, serta informasi cukup mengenai statistik penerimaan, pengalamanku mendaftar ke program MSc di Inggris terasa “buta”, berbanding dengan pengalamanku mendaftar S1 di Amerika Serikat.
Pada usia 16 tahun, secara pasti aku mengumumkan bahwa aku akan berkuliah di AS. Berbeda dari kebanyakan temanku di suatu SMA Nasional Plus di Tangerang, aku mulai mengaji application process untuk S1 di AS sejak usia 14 tahun. Pada waktunya untuk mengumpulkan dan mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan, serta mengakses Common Application, aku merasa sangat siap. Tetapi hal itu tidak aku rasakan saat mendaftar untuk program S2. Aku tidak merasa siap dan juga tidak memiliki gambaran lengkap tentang prosedur pemilihan serta kemungkinan untuk diterima.
Seringkali proses pendaftaran sekolah berhenti secara prematur, karena rasa tidak siap atau pun rasa kurang percaya diri. Sebagai bangsa berkembang, orang Indonesia pada umumnya merasa tidak pantas untuk sekolah di luar negeri. Menurut observasi saya, ada kecenderungan untuk meremeh-remehkan fasilitas, kesempatan, dan juga edukasi yang tersedia di tanah air. Setelah mulai belajar di AS, aku mulai berinteraksi dengan siswa/i SMA Indonesia yang bermimpi ikut sekolah di negeri terpandang ini, tetapi nampaknya banyak yang sudah kecil hati sebelum sampai ke “medan perang”. Alasan-alasan seperti, “Wah! Tapi Inggrisku ga sebagus temenku…” atau “Hah! Apaan tuh SAT? Gila gua ketinggalan banget, mana bisa apply setelat ini.”
Kurasa ada perbedaan antara mimpi dan ambisi. Secara jeneral kita semua bisa bermimpi untuk mencapai bulan tapi tidak semua memiliki tekad ataupun sumber daya untuk memenuhi mimpi itu. Siswa/i yang berambisi untuk sekolah di luar negeri juga sering terjebak dalam kerangka pikir mereka sendiri. Belum apa-apa, sudah meremehkan pengalaman, pendidikan dan nilai tambah yang kita miliki, bak diriku yang terus melihat ke titik tertinggi tebing tersebut. Belum apa-apa aku sudah takut untuk memasang perlengkapan keamanan dan meletakkan pijakan pertama. “Don’t psyche yourself out!” adalah sebuah ungkapan dalam Bahasa Inggris yang bisa diterjemahkan menjadi, “Jangan kecilkan hatimu sendiri!”.
Buatlah pijakan pertama kearah impianmu sebelum mengkorting kemampuanmu sendiri. Ubahlah persepsimu terhadap negara Indonesia. Daripada memandang tanah air secara negatif, carilah hal-hal positif yang bisa membantumu berkontribusi saat berkuliah di luar negeri nantinya. Sama seperti memanjat gunung, rasa nekat sangat integral dalam mendaftar sekolah. Sebagai orang yang terkenal kalkulatif dan rapih, aku mendaftar S2 dengan nekat, kendati terdapat kekurangan-kekurangan dalam persiapanku. Beberapa minggu setelah mendaftar, aku mulai merasa bimbang. Naratifku berubah dari “Aku akan sekolah di Inggris untuk S2” menjadi, “Kalau diterima ya aku akan lanjut ke Inggris, kalau tidak mungkin cari kerja atau…” Jika kegelisahan itu muncul sebelum aku menjalani proses aplikasi dan aku tidak tiba-tiba memilih untuk nekat, mungkin aku tidak akan mendaftar sama sekali.
There’s nothing to lose! Komitmen terbesar dalam application process adalah waktu, tetapi komitmen paling konkrit adalah uang. Mengapa? Waktu bisa kita cari dan kita curi dari kehidupan kita sehari-hari. Jika Anda benar-benar ambisius untuk sekolah di luar negeri, kemungkinan besar Anda bisa menemukan waktu untuk mengumpulkan informasi lewat Internet, buku, kenalan, sekolah, dan kedutaan besar. Sebelum membayar ongkos pendaftaran, Anda memiliki banyak kesempatan untuk melihat apakah Anda cocok dan siap untuk sekolah di luar negeri. Lakukan riset jauh-jauh waktu agar Anda memiliki waktu untuk merubah yang negatif menjadi positif. Sebagai contoh, ulas kesalahanmu dalam esai pendaftaran sebagai sebuah kesempatan untuk belajar.
Bagaikan memanjat tebing, rasa takut yang muncul saat mendaftar sekolah lama-kelamaan akan surut. Seiring waktu, jarak antara titik awal dan puncak terasa semakin dekat, asalkan Anda membuat langkah kedepan, sekecil maupun sebesar apa pun!
Foto disiapkan oleh kontributor.
[…] Tiffani Robyn Soetikno punya tips menaklukkan rasa takut kuliah ke luar negeri. Hal tersebut ia ungkapkan lewat Indonesia Mengglobal. […]