Memasuki pertengahan Maret, linimasa jejaring media sosial saya mulai dipenuhi dengan screenshot email penerimaan mahasiswa untuk program master atau PhD di universitas ternama di luar negeri. Jika anda salah satu dari mereka, saya ucapkan selamat atas keberhasilan anda!
Di saat yang bersamaan, saya juga mulai mendapatkan pertanyaan dari beberapa kawan mengenai proses pendaftaran program studi master. Pertanyaan seperti “Bagaimana sih cara dapat LoA?” atau “Apa sih syarat untuk mendaftar beasiswa LPDP?” sering saya dapatkan dari teman-teman yang bertanya.
Tentunya saya juga sangat senang makin banyak anak muda Indonesia yang berniat untuk meneruskan studi di S2 atau PhD. Tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran saya, yaitu mengenai bagaimana pertanyaan ini dilontarkan.
Jenis pertanyaan seperti di atas kadang membuat saya bingung untuk menjawabnya karena pertanyaannya terlalu luas atau informasinya sudah bisa ditemukan secara online. Saya sering menjawab pertanyaan pertama dengansedikit candaan, seperti “Ya, cara pertama untuk mendapatkan LoA adalah mendaftar. Hahaha.”
Menurut saya, pertanyaan seperti ini terlalu luas dan membingungkan yang ditanya. Mengapa? Hal ini karena walaupun ada banyak faktor yang bisa membuat seseorang mendapatkan LoA, satu hal yang pasti adalah tentang bagaimana esai/ motivation letter/ research proposal dirancang sesuai dengan apa yang dicari oleh universitas yang dituju. Hal ini baru bisa diketahui jika anda sendiri yang telah melakukan riset mengenai syarat dan karakteristik universitas tujuan anda.
Seiring dengan makin banyaknya pemuda Indonesia yang kuliah di luar negeri, semakin banyak pula informasi yang sebenarnya dapat ditemukan di blog pribadi atau website seperti Indonesia Mengglobal. Jika anda menyediakan waktu khusus untuk mencari informasi dasar mengenai tips persiapan pendaftaran atau syarat pendaftaran beasiswa, pasti anda bisa menemukannya dengan mudah.
Maka dari itu, bagi saya tahap pertama dari proses pendaftaran studi lanjutan adalah preliminary research atau riset awal mengenai jurusan yang ingin anda tuju; universitas manakah yang terbaik dalam bidang studi yang anda minati, serta apa saja persyaratannya. Lakukan preliminary research ini cukup dengan menyediakan waktu untuk membaca secara seksama informasi dari kampus dan program studi yang anda minati. Dengan anda melakukan preliminary research, anda akan mempunyai gambaran yang lebih jelas mengenai modul yang disediakan oleh universitas, resume dari profesor di departemen yang dituju dan juga research centre yang ada di universitas tersebut. Hal ini bisa anda dapatkan dengan menelusuri website universitas tujuan anda secara menyeluruh, termasuk bagian Frequently Asked Questions (FAQ).
Dengan mengetahui informasi dasar mengenai program dan universitas anda, sekarang anda bisa membuat pertanyaan yang lebih lanjut yang tidak ada di website. Misalnya, seperti sistem belajar-mengajar. Tentunya, anda bisa melihat rating atau survey kepuasan mahasiswa dari setiap mata kuliah. Namun, untuk mengetahuinya secara konkret, anda bisa bertanya kepada mahasiswa yang telah mengalaminya langsung. Selain itu, beberapa jurusan atau kampus mencantumkan lamanya pengalaman kerja sebagai syarat pendaftaran. Anda bisa memvalidasi persyaratan ini dengan bertanya apakah pengalaman kerja merupakan keharusan atau hal yang bisa disarankan.
Tiga alasan pentingnya menanyakan ‘well-thought questions’
Pertama, merancang pertanyaan yang spesifik sebenarnya membantu anda untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas dari orang yang anda tanyakan. Ingatlah bahwa jawaban yang jelas berasal dari pertanyaan yang jelas. Ketika pertanyaan yang dilontarkan terlalu luas cakupannya, kemungkinan besar anda akan mendapatkan jawaban yang membingungkan.
Kedua, menanyakan well-thought questions –pertanyaan-pertanyaan yang didasari oleh berbagai pertimbangan- dapat mengantarkan kesan yang lebih baik di mata orang yang anda tanyakan. Kesan yang muncul adalah bahwa anda sungguh-sungguh niat untuk mengambil suatu program dan telah melakukan PR anda untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Lalu, apa pentingnya menciptakan kesan yang baik di mata sang penerima pertanyaan? Bukan tidak mungkin, anda ingin menjadikan dia mentor, misalnya untuk membantu anda mengecek dan memberikan masukan untuk esai/ research proposal/ motivation letter. Namun jika anda terburu-buru menanyakan informasi dasar yang jelas bisa ditemukan sendiri, anda akan membuat si penjawab pertanyaan berpikir anda malas mencari informasi dan mungkin menjadi ragu untuk menjadi mentor anda.
Ketiga, sebenarnya melakukan riset sebelum bertanya membiasakan diri anda untuk menjadi kritis ketika kuliah. Universitas di UK biasanya membagi kelas menjadi dua sesi, yaitu lecture dan seminar/ tutorial. Pada saat lecture, dosen memberikan kuliah mengenai topik minggu itu secara menyeluruh dan tidak disediakan waktu untuk diskusi atau berdebat. Namun, ketika di seminar, dosen hanya berperan sebagai fasilitator dan mahasiswa-lah yang menggerakkan kelasnya dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot, yang menggelitik nalar dan intelektualitas, berdasarkan buku atau jurnal yang telah dibaca pada minggu tersebut. Di seminar ini tentunya argumentasi kita tidak akan berkembang jika kita hanya menanyakan hal-hal dasar yang sudah dibahas di buku atau pada saat lecture. Mahasiswa diharapkan untuk melakukan riset dan mencerna argumen dasar dari masing-masing buku dan datang ke seminar dengan argumen sendiri mengenai mengapa anda setuju atau tidak setuju dengan tesis si penulis. Ketika anda mempresentasikan suatu topik, di penghujung presentasi anda juga diharapkan untuk membuat daftar pertanyaan yang dapat membuat diskusi kelas lebih menarik.
Selain itu, dosen di universitas kadang hanya menyediakan waktu yang sedikit untuk berkonsultasi secara tatap muka. Misalnya, di Department of International Development, LSE, dalam seminggu saya hanya bisa reservasi waktu konsultasi dengan dosen selama maksimum 20 menit. Bayangkan, jika saya belum melakukan riset mengenai topik disertasi yang saya minati dan saya datang ke dosen dengan hanya menanyakan, “Topik apa ya yang menarik untuk saya tulis?” Tentunya, waktu 20 menit saya akan habis seketika. Maka dari itu, saya biasakan untuk membuat riset dengan membaca buku atau mencari informasi online mengenai pro-kontra suatu topik dan saya siapkan daftar pertanyaan spesifik yang akan saya tanyakan kepada dosen saya.
Intinya, malu bertanya, memang akan sesat di jalan. Namun, sebelum bertanya tidak ada salahnya untuk memastikan bahwa belum ada jawaban yang tersedia. Oleh karena itu, mari bertanya secara kritis dengan riset terlebih dahulu!
Photo source: The Minor
Super setuju. Terlalu banyak yang bertanya tanpa mau mencari tahu terlebih dahulu 🙂
[…] pakai jalur UN SMA. Sebelum saya mulai, sedikit pesan sponsor dulu dari sesama kolumnis di IM: riset dulu sebelum tanya (yang mau kirim email ke saya boleh coba baca itu dulu buat bahan renungan […]