Halo para pembaca Indonesia Mengglobal, kenalkan nama saya Iswara Gozali. Saat ini saya bekerja di Appota, sebuah perusahaan mobile apps distribution. Sebelumnya, saya adalah seorang business process analyst di Asia Pulp & Paper dari tahun 2012 hingga 2014 dan pernah bekerja sebagai programmer di GO-JEK pada tahun 2011. Saya lulus dari Monash University dengan jurusan ilmu komputer (Bachelor of Computer Science) pada tahun 2011.
Saat ini saya telah mendapatkan unconditional letter of acceptance (LoA) dari program MBA Johnson Cornell Tech di New York City dan saya ingin berbagi cerita saya di sini dengan harapan bisa membantu kalian yang berminat mendapatkan gelar Master of Business Administration (MBA) dari luar negeri. Artikel ini akan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama akan bercerita mengenai proses pemilihan sekolah dan bagian kedua akan bercerita mengenai proses aplikasi saya.
Pengalaman saya berkecimpung di dunia teknologi dan menyaksikan langsung bagaimana GO-JEK membantu memecahkan masalah transportasi di Jakarta dan bagaimana Appota membantu perusahaan mobile game memonetisasi produk mereka melalui teknologi menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama di masa mendatang.
Ketika salah satu anggota keluarga saya kehilangan uang yang cukup besar karena investasi skema piramid, saya menjadi tertarik mendalami dunia teknologi keuangan atau yang lazim disebut FinTech yang menurut saya bisa membantu memerangi praktek investasi gadungan di Indonesia. Aspirasi saya di masa mendatang adalah membuat sebuah perusahaan FinTech di Indonesia yang dapat membantu masyarakat Indonesia di bidang investasi pribadi sehingga kejadian seperti yang menimpa keluarga saya itu dapat dicegah.
Aspirasi karir saya inilah yang membuat saya tertarik untuk mencari sebuah program MBA yang bisa membantu aspirasi karir saya tersebut dengan cara memperdalam pengertian ilmu keuangan saya dan juga mengembangkan kemampuan manajerial produk teknologi saya. Selain itu, saya juga yakin program MBA akan sangat berguna memperluas koneksi kita entah itu untuk membantu mencari mencari rekan bisnis atau investor untuk perusahaan kita.
Jujur saja pilihan sekolah saya ketika pertama kali ingin mengambil Master of Business Administration adalah Harvard Business School (HBS) yang merupakan alma mater dari CEO GO-JEK, yaitu Nadiem Makarim. Melihat susahnya memasuki program MBA Harvard yang hanya menerima 1 dari 10 applicant tiap tahunnya, saya memutuskan untuk mencari tahu mengenai jasa konsultasi MBA untuk memperbesar peluang saya diterima.
Ada tiga kriteria saya dalam memilih sebuah konsultan MBA; lokasi, kualitas konsultan, dan cakupan layanan yang ditawarkan. Saya mencari konsultan MBA yang lokasinya dekat untuk memudahkan komunikasi saya dengan mereka. Saya juga mencari konsultan MBA dengan tenaga konsultan yang terdiri dari alumni Indonesia lulusan program MBA top dunia seperti University of California, Los Angeles (UCLA) Anderson dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan. Terakhir, saya mencari konsultan yang menawarkan layanan yang lengkap, mulai dari persiapan tes seperti Graduate Management Admission Test (GMAT) dan Graduate Record Examination (GRE) hingga ke penulisan esai sekolah.
Manfaat pertama yang saya rasakan dari sebuah konsultan MBA berpengalaman adalah kemampuan mereka menilai peluang saya diterima di sebuah program MBA. Kompetisi di antara para applicant sekolah bisnis ternama seperti Harvard sangatlah ketat dan kadang ada hal-hal yang sudah tidak bisa kita ubah yang bisa dibilang membuat peluang kita diterima menjadi hampir mustahil. Beberapa contohnya adalah pengalaman kerja yang lemah atau IPK yang rendah. Penilaian dari konsultan MBA yang saya gunakan membuat saya lebih realistis dengan pilihan sekolah saya dan tidak terlalu terpaku dengan ranking MBA. Kalian dapat membaca artikel lain yang saya tulis mengenai bagaimana peran ranking MBA dalam menentukan pilihan sekolah dan berubahnya pola pikir saya mengenai ranking MBA seiring berjalannya waktu di sini.
Saya disarankan untuk mendaftar ke program MBA Johnson Cornell Tech di New York berdasarkan tiga alasan berikut; metode pengajaran, kesempatan berinteraksi dengan banyak perusahaan FinTech, dan juga penghematan biaya. Metode pengajaran Cornell Tech dirancang sangat praktis. Mahasiswa diwajibkan untuk membuat sebuah produk teknologi di dalam proyek sekolah di mana produk tersebut akan menentukan nilai kita. Hal ini berbeda dengan tugas mahasiswa program MBA tradisional yang biasanya hanya sebatas pada presentasi strategi bisnis ke klien. New York City juga merupakan pusat FinTech di Amerika selain Silicon Valley dan merupakan lokasi kantor pusat dari Betterment, salah satu perusahaan FinTech yang paling besar di Amerika Serikat. Terakhir adalah penghematan biaya dan waktu yang bisa saya dapatkan karena program MBA Cornell Tech hanya memakan waktu setahun. Walaupun awalnya sempat meragukan Cornell Tech, saya akhirnya menerima saran tersebut.
Keputusan itu berbuah manis ketika saya menerima Letter of Acceptance (LoA) dari Johnson Cornell Tech. Tanpa panduan sebuah konsultan MBA berpengalaman yang lebih paham mengenai seluk beluk program MBA, saya yakin tidak akan melirik sebuah program MBA seperti Cornell Tech yang bahkan belum masuk di ranking MBA manapun walaupun program ini merupakan MBA yang paling cocok dengan profil dan aspirasi karir saya dibandingkan dengan universitas lain yang memiliki ranking MBA yang lebih tinggi.
Nantikan lanjutan artikel saya ini di mana saya akan bercerita mengenai proses aplikasi saya ke Cornell Tech ya.
Photo Courtesy: yelp.com, idntimes.com, www.thecrimson.com, tech.cornell.edu
[…] para pembaca IM, artikel ini adalah lanjutan artikel pertama saya yang bercerita mengenai pengalaman saya mendaftar di program MBA Cornell Tech yang […]