Mengikuti program pertukaran merupakan impian bagi sebagian besar mahasiswa, tak terkecuali saya. Selain menambah deretan prestasi, kesempatan ini juga menawarkan eksposur internasional tak terbatas. Alasan ini mendorong saya untuk mengikuti Japan in Today’s World (JTW) yang diselenggarakan oleh Universitas Kyushu. JTW mengundang lima puluh mahasiswa undergraduate dari Asia, Eropa, dan Amerika untuk berbagi pengetahuan. Mereka berasal dari universitas-universitas terkemuka dunia, seperti Tsinghua University (China), National University of Singapore (Singapore), University of Michigan (USA), Technical University of Munchen (Germany) dan SOAS University of London (UK).
Mengapa Jepang dan Universitas Kyushu? Pertanyaan ini pun sempat menggelayuti pikiran saya sebelum mendaftar program JTW. Jawabannya, karena Jepang merupakan sumber inspirasi dunia di segala bidang, maka tinggal di sana menjadi sebuah pengalaman berharga. Kegiatan belajar di negara ini tak terbatas di dalam ruang kuliah, tetapi merambah ke ruang-ruang sosial dan kultural yang turut memperkaya jiwa. Belajar di Jepang memang memberikan tantangan ekstra karena kendala bahasa. Namun, justru melalui pengalaman ini, penguasaan bahasa asing lainnya; bahasa Jepang, merupakan poin plus tersendiri setelah lulus nanti.
Menyandang gelar sebagai salah satu universitas imperial Jepang, Universitas Kyushu dikenal memiliki standar akademik yang tinggi. Status ini menjadi jaminan kualitas pengajaran dan penelitian. Akan tetapi, saya lebih menitikberatkan materi dalam “Japan in Today’s World (JTW) yang sangat komprehensif. Tenaga pengajarnya pun tak hanya asli orang Jepang, tetapi juga dosen-dosen yang berasal dari Korea, China, Inggris, Australia dan Amerika. Meskipun belajar di Jepang, karena hal ini, suasana akademik yang tercipta di JTW benar-benar bernuansa global.
Saya mengikuti program JTW melalui UGM. Berhubung kampus saya tersebut memiliki perjanjian kerja sama akademik dengan Universitas Kyushu, maka tawaran mengikuti JTW datang setiap tahun. Bagi siapa saja yang berminat dapat mengajukan aplikasi JTW ke Office of Internasional Affairs (OIA) UGM. Tentunya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pelamar, baik dari UGM sendiri maupun dari Universitas Kyushu. UGM akan melakukan seleksi internal sebelum berkas-berkas kandidat terpilih dikirim ke Universitas Kyushu. Aspek-aspek yang dinilai UGM meliputi IPK, nilai TOEFL/ IELTS, prestasi non akademik, dan pengalaman organisasi. Penentuan akhir siapa yang berhak menjadi peserta JTW ada di tangan Universitas Kyushu. Adapun syarat dan proses pendaftarannya dapat dibaca melalui tautan ini (http://www.isc.kyushu-u.ac.jp/jtw/admission).
Tersedia beasiswa Japan Student Service Organization (JASSO) bagi peserta yang berasal dari universitas partner. Monthly allowance yang diterima oleh peserta JTW adalah 80.000 yen. Jumlah yang cukup untuk menunjang kebutuhan hidup dan kuliah selama sebulan. Asalkan, kita bisa mengendalikan diri dari gaya hidup hura-hura. Ada pula relocation allowance yang diberikan sesampainya mahasiswa di Jepang sebesar 150.000 yen. Uang ini untuk mengganti tiket pesawat dan biaya hidup bulan pertama. Sayangnya, relocation allowance sekarang sudah dihapus akibat dari merosotnya perekonomian Jepang. Nah, apa saja pengalaman luar biasa yang saya peroleh selama belajar di Universitas Kyushu dalam Program JTW?
Berikut adalah beberapa kegiatan yang saya kenang:
1. Kegiatan Perkuliahan
Kegiatan perkuliahan meliputi Japanese courses dan JTW core courses. Kelas bahasa Jepang terbagi ke dalam delapan level. Untuk menempati level-level tersebut, sebuah tes penempatan diberlakukan bagi seluruh mahasiswa. Selain kelas general bahasa Jepang, kelas khusus juga dibuka untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis kanji, dan berbicara. Gemblengan dalam belajar bahasa Jepang dari sensei/ dosen sungguh terasa. Setiap hari selalu ada saja kuis hafalan kosa kata dalam Hiragana, Katakana, bahkan Kanji, serta PR yang banyak sebelum pelajaran ditutup. Akan tetapi, justru dengan proses belajar seperti ini, penguasaan bahasa Jepang akan cepat meningkat. Di luar kelas, seorang tutor disediakan untuk membantu mahasiswa mengatasi kendala belajar bahasa Jepang, sekaligus menjadi teman yang menyenangkan.
Sementara itu, JTW core courses mengajak mahasiswa untuk melihat Jepang secara lebih mendalam melalui perspektif ekonomi, politik, sosial, budaya, dan kerja sama internasional negara tersebut. Mata kuliah yang ditawarkan pun sungguh menarik, seperti Kehidupan Jepang dalam Upacara Minum Teh, Produk-produk Lokal di Kyushu, Kebudayaan Pop Jepang, Pertunjukan Seni Tradisional Jepang, Gender di Masa Jepang Modern, serta Enkulturasi dan Pendidikan di Jepang. Setiap mahasiswa diwajibkan mengambil minimal empat mata kuliah JTW setiap semesternya. Kelas berlangsung dengan diskusi. Dosen melempar permasalahan yang selanjutnya dibahas oleh para mahasiswa. Maka, sebelum kelas dimulai, mahasiswa diharapkan sudah mebaca seluruh materi.
2. Independent Study Project (ISP) dan Advanced Laboratory Research (ALR)
Semua mahasiswa JTW diminta untuk melakukan sebuah penelitian tentang suatu topik terkait Jepang. Independent Study Project (ISP) diwajibkan untuk mahasiswa dengan latar belakang Ilmu Sosial, Humaniora, dan Ekonomi. Sedangkan, Advanced Laboratory Research (ALR) diperuntukkan bagi mahasiswa eksakta dan teknik untuk mengadakan penelitian di sebuah laboratorium. Setiap mahasiswa JTW didampingi oleh seorang supervisor yang memiliki keahlian di bidang yang kita teliti. Presentasi perkembangan dan hasil penelitian di depan para dosen dan rekan-rekan mahasiswa JTW dilakukan pada akhir semester 1 dan 2. Penelitian saya membahas tentang representasi anak dalam layar perak Jepang. Analisis semiotika dilakukan pada beberapa adegan dalam Film ”Daremo Shiranai” (Tak Seorang pun Tahu) untuk memotret masalah sosial yang menimpa anak-anak Jepang.
3. Elementary School Visit
Kunjungan ke sekolah merupakan kegiatan yang memantik antusiasme seluruh mahasiswa JTW. Sekolah Dasar Dazaifu Barat dan Shuzenji adalah dua sekolah yang kami kunjungi pada kesempatan berbeda. Di SD Dazaifu Barat, saya memperkenalkan Angklung kepada para siswa kelas IV. Sengaja saya bawa satu set Angklung yang dipinjam dari Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPIJ) Cabang Fukuoka, untuk dimainkan bersama dengan para siswa. Untuk lebih memeriahkan suasana, pernak-pernik khas Indonesia saya hadiahkan kepada siswa yang mampu menjawab pertanyaan seputar Indonesia beserta budayanya.
Di SD Shuzenji, saya diajak untuk mengekplorasi bagaimana mentalitas positif ditanamkan kepada setiap siswa. Saat acara penyambutan di ruang aula sekolah tersebut, kami dibuat kagum oleh ratusan siswa yang duduk bersila dengan rapih dan tenang di atas lantai. Perkenalan kami satu persatu mereka simak dengan penuh khidmat. Tak ada riuh obrolan karena bosan mendengarkan. Meskipun mereka masih belia, tapi perilakunya terlihat sangat matang. Bagi siswa, hal ini merupakan sebuah latihan sederhana dari prinsip hidup ”gaman” atau semangat daya tahan dan ketekunan.
Saat rehat siang, saya mengikuti tradisi kyuushoku atau makan bersama. Selain bertujuan mencukupi gizi, kyuushoku mengajarkan siswa arti penting kerja sama. Dalam sistem ini, setiap siswa mendapat giliran tugas untuk melayani teman-teman sekelasnya secara beregu. Ada yang menghidangkan makanan ke dalam piring di dapur sekolah. Ada pula yang bertugas membawa piring-piring berisi makanan ke dalam kelas. Di dalam kelas, telah siap siswa-siswa lain untuk menyajikan makanan di atas meja. Bila semuanya telah siap, makan siang bersama baru bisa dimulai.
4. Study Trip
Study trip ke berbagai tempat wisata dan pusat budaya seolah menjadi obat penawar kesibukan belajar dan aktivitas penelitian mahasiswa JTW. Selain itu, kami dapat mempelajari secara langsung keunikan aspek-aspek budaya dan sejarah Jepang. Setiap perjalanan yang kami lakukan selalu mengusung tema yang berbeda, misalnya pada semester pertama, kami diajak belajar tentang Sumo di Pusat Pelatihan Sumo Dazaifu; memanen padi sekaligus mengenal sistem bercocok tanam masyarakat Jepang di Nishi Arita, Saga; dan melihat secara langsung proses pembuatan dan perakitan mobil Toyota Lexus di pabriknya yang terletak di Kitakyushu.
Petualangan di semester dua juga tak kalah seru. Kami belajar meditasi ala Zen dengan para biksu di sebuah kuil Zen, di mana kami mendapat pukulan ringan dengan sebilah bambu dari para biksu karena tidak mampu menjaga ketenangan tubuh. Di Nagasaki, emosi kami tumpah saat menyaksikan memorabilia korban bom atom yang dipamerkan di Museum Bom Atom Nagasaki. Satu hal lagi yang tak pernah saya lupakan, pengalaman mandi onsen di tengah musim dingin. Tak hanya merilekskan badan, kandungan mineral dalam onsen dipercaya mampu menyembuhkan aneka macam penyakit.
5. Homestay
Untuk melengkapi pengalaman tinggal di Negara Matahari Terbit, Universitas Kyushu juga mengorganisir kegiatan homestay. Setiap mahasiswa JTW mendapat satu keluarga angkat (host family). Di akhir pekan, kami biasanya diundang oleh keluarga angkat kami untuk menghabiskan waktu bersama. Kesempatan inilah yang paling saya nantikan karena selain berkesempatan mempraktikkan bahasa Jepang, juga dapat melakukan beragam kegiatan yang menyenangkan , seperti berbelanja, memasak masakan Jepang dan bersantap malam bersama yang tentunya tidak bisa saya dapatkan dengan keluarga di Indonesia karena terpisah jauh. Berkat kegiatan ini, saya mendapat keluarga baru di Jepang.
Keluarga Nagao adalah keluarga angkat saya yang tinggal di tenggara kota Fukuoka. Sebagai keluarga muda dengan dua orang anak kecil, mereka sangat asyik terhadap orang asing. Aktivitas seru, seperti piknik ke tempat-tempat wisata, menonton pertandingan baseball, bermain bowling, dan makan Ikan Buntal kami lakukan bersama. Tak ada jarak tercipta meski kami berbeda. Karena dalamnya ikatan yang tercipta, kami masih rajin berkomunikasi untuk mengabarkan kondisi masing-masing sampai sekarang.
Bagi saya, mengikuti program pertukaran mahasiswa merupakan life-changing experience. Tak hanya bisa mengunjungi tempat-tempat menarik dan memperoleh hal-hal baru yang sangat menyenangkan. Pengalaman tersebut juga telah menumbuhkan sikap apresiasi saya terhadap budaya dan bangsa lain. Penting untuk dimiliki, karena d era globalisasi ini, mentalitas ini sangat diperlukan untuk menciptakan hubungan antar warga dunia yang lebih erat.