Game Design Bagian 1: Menggapai yang Tak Tergapai, Pelan Namun Pasti

2
3026

Halo, perkenalkan, nama saya Fandi. Saat ini saya sedang menempuh studi S2 saya di New York University (NYU) dengan gelar MFA (Master of Fine Arts) in Game Design. Game? Iya, game, yang biasanya kalau kita mainkan saat kanak-kanak, dan kalau ketahuan orang tua, sering dimarahi “bukannya belajar tapi kok malah main game!”

Penulis dengan Latar Belakang Pemandangan Manhattan
Penulis dengan Latar Belakang Pemandangan Manhattan

Mengenai asal mula saya mengambil jurusan Game Design di NYU, sebenarnya saya memang sudah berkeinginan untuk menjadi seorang game developer. Ini jugalah yang mendasari saya untuk masuk ke Teknik Informatika ITB. Selama 4 tahun berkuliah di Teknik Informatika ITB,  saya mengikuti banyak perlombaan di bidang game design/development baik di lingkup nasional ataupun internasional, dan di sana lah saya mulai merasakan secara langsung bagaimana naik turunnya proses pembuatan game itu, sekaligus mendapatkan kesempatan untuk beberapa kali pergi ke luar negeri sebagai finalis ataupun sekadar company visit. Berinteraksi dengan para game developer di luar negeri serta melihat secara langsung majunya industri game di luar negeri inilah yang membuat saya semakin tergoda untuk menjelajahi dan meneliti lebih dalam kemajuan industri ini. Saya “haus” akan pengalaman yang lebih menantang untuk mengembangkan diri di bidang game. Amerika Serikat menjadi pilihan nomor satu saya karena negara adidaya ini menjadikan sektor hiburan (entertainment) sebagai pilar utama ekonomi daripada sektor sumber daya alam, sekaligus melihat banyaknya perusahaan game development yang berkualitas, besar, dan maju di negara ini.

Keinginan untuk pergi ke Amerika Serikat ini sudah muncul sejak saya masih di tingkat akhir sarjana, namun saat itu saya masih bingung mengenai cara terbaik yang bisa saya lakukan untuk mencapai tujuan saya tersebut. Sempat terpikirkan oleh saya untuk mencoba langsung melamar ke perusahaan-perusahaan game di Amerika Serikat. Berbekal pengalaman membuat beberapa video game yang menjuarai beberapa kompetisi nasional dan internasional tingkat mahasiswa, saya mencoba untuk mengirim lamaran ke perusahaan-perusahaan yang cukup besar seperti Eidos Interactive, Rockstar, Sledgehammper, dsb. Boro-boro dapat panggilan kerja, email lamaran saja tidak ada yang dibalas. Usut punya usut, ternyata tidak mudah bagi perusahaan di Amerika Serikat untuk mempekerjakan pegawai dari luar negeri mengingat pajak dan izin yang harus diberikan membutuhkan biaya dan usaha yang besar (belum lagi mengingat tiket pesawat yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan calon pegawai tersebut), kecuali jika calon pegawai tersebut berkuliah di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh visa pelajar di Amerika Serikat yang dapat di-upgrade ke visa magang sehingga secara hukum, pelajar ini kedudukannya setara dengan Warga Negara Amerika Serikat yang ingin mencari kerja. Saat itu saya berpikir “Harus pelan-pelan, satu-satu. Mari pikirkan cara terdekat, berarti saya harus menjadi pelajar lagi. Karena saya sudah lulus S1, maka S2 adalah pilihan berikutnya. Kenapa tidak?”

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mencari tahu jurusan apa yang saya ingin ambil. Jurusan S1 saya adalah Teknik Informatika, namun itu tidak membuat saya lantas langsung mengambil jurusan yang sejalur dengan S1 saya. Game, terutama video game, merupakan perpaduan antara seni dan teknologi. Saya secara sedikit banyak, dapat dikatakan sudah pernah mempelajari sisi teknologinya namun belum dengan bidang seninya. Lantas mengapa saya tidak mencoba saja untuk mempelajari seni dalam membuat game ini lebih dalam? Inilah yang mendasari saya memilih untuk melanjutkan S2 di jurusan Game Design di NYU dengan tujuan gelar Master of Fine Arts. Dapat dikatakan memang saya banting setir cukup jauh, dari hal yang terstruktur dan sekuensial ke bidang yang sangat abstrak. Ini benar-benar membuat saya merasakan pengalaman yang baru, yang mungkin detilnya akan dibahas lebih lanjut di part berikutnya ya.

Sebelum memilih NYU sebagai “pelabuhan” jurusan terakhir saya, seperti calon mahasiswa pada umumnya, saya juga mengalami masa-masa kebingungan. Saya memulai “penelitian” kecil-kecilan mulai dari browsing di internet mengenai jurusan di bidang game, bertanya ke dosen, hingga mewawancarai tokoh-tokoh industri game di Indonesia. Saya sempat berkeinginan untuk melanjutkan ke Aalto University di Finlandia mengingat Finlandia adalah negara kecil yang maju dan industri game-nya berkembang pesat (lihat saja Rovio dengan Angry Birds-nya dan Remedy Games dengan serial Alan Wake dan Quantum Break-nya). Sempat juga terpikir ke Denmark yang sebelas-dua belas dengan Finlandia. Kebingungan ini saya simpan dahulu, yang penting saat itu adalah saya tahu bahwa saya sudah ada keinginan kuat untuk S2 di luar negeri.

Salah Satu Foto yang Diambil di Suatu Sudut di NYU
Salah Satu Foto yang Diambil di Suatu Sudut di NYU

Langkah berikutnya memberitahu keluarga saya mengenai keinginan saya ini. Saya mengumpulkan ayah dan ibu saya serta kakak saya satu-satunya di rumah kontrakan di Bandung dan membicarakan mengenai rencana ini. Respon ayah saya saat itu yang sampai saat ini masih saya ingat adalah “Ayah akan mendukung kamu apapun keputusanmu, Ayah tidak akan pernah menghalangi. Hanya saja Ayah tidak bisa membantu kamu secara finansial lagi, kamu harus mencari beasiswa. Selain itu, Ayah mohon agar kamu kuliah ke tempat yang bahasa utamanya bahasa Inggris saja.” Mendengar perkataan ayah tersebut membantu saya dalam menyeleksi kebingungan pemilihan jurusan saya. Dicoretlah Finlandia dan Denmark dari pilihan, sehingga hanya tersisa Inggris dan Amerika Serikat. Dari kedua negara ini, jelas yang memiliki industri game yang lebih maju adalah Amerika Serikat. Banyaknya pilihan universitas di Amerika Serikat yang mempunyai jurusan S2 di bidang game membuat saya harus berpikir matang-matang dalam memilih. Di Carnegie Mellon University ada jurusan Entertainment Technology yang terkenal. Di University of Southern California ada jurusan Game Programming dan Interactive Digital Media, dan di East Coast ada NYU dengan jurusan Game Design-nya. New York menjadi pusat perhatian saya saat itu karena kota ini merupakan pusat perkembangan indie game dengan komunitasnya yang makmur dan ekosistem industri hiburan yang kondusif. Selain itu, NYU merupakan satu-satunya jurusan yang setahu saya benar-benar mempelajari game sebagai salah satu bentuk seni, bukan sekadar komoditas industri semata, dan ini selaras dengan motivasi saya untuk mempelajari game dari perspektif seni. Inilah yang memantapkan keinginan saya untuk memilih NYU sebagai pilihan jurusan S2 saya.

Walaupun sudah mantap, saat itu melanjutkan studi S2 di Amerika Serikat tidak langsung terealisasikan mengingat beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya. Jelas sekali bahwa biaya untuk melanjutkan studi di luar negeri sangatlah mahal, apalagi di Amerika Serikat yang konon biaya satu semesternya bisa sampai 350 juta rupiah. Mengingat kondisi keluarga saya di mana ayah saya adalah seorang pensiunan PNS dan ibu saya adalah seorang konsultan lepas, saya pikir S2 bukanlah sesuatu yang realistis. Namun, banyak sekali beasiswa untuk studi di Amerika Serikat yang tersedia, mengapa saya tidak mencoba beasiswa yang terkenal saat itu seperti Fulbright ataupun beasiswa Dikti? Jawabannya adalah karena bidang Game Design tidak termasuk prioritas untuk beasiswa-beasiswa tersebut. Jangankan mencoba untuk melamar, di formulir pendaftarannya saja sudah tidak ada bidang yang sealiran dengan Game Design. Pada akhirnya, saya memutuskan tidak terburu-buru mengambil keputusan untuk mengubah jurusan dari seni-teknikal menjadi murni teknik. Saya masih berharap, berdoa, dan berpikir mengenai cara lain yang bisa saya lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Saya pikir “Santai saja, tenang, pelan tapi pasti, InsyaAllah ada jalan”. Inilah yang membuat saya akhirnya tidak langsung melanjutkan studi S2 setelah lulus melainkan memilih untuk menjadi freelancer developer.

Alasan utama mengapa saya memilih menjadi freelancer dan bukan bekerja sebagai pegawai tetap adalah karena saya tidak mau terikat dengan suatu instansi manapun sebelum saya meraih tujuan saya. Selama menjalani karir sebagai freelancer di bidang game development (bekerja untuk berbagai perusahaan untuk berbagai proyek), saya masih terus berusaha untuk mencari jalan terbaik untuk merasakan langsung serunya industri game di Amerika, hingga akhirnya pada kisaran awal tahun 2014, saya mendengar kabar mengenai Beasiswa LPDP yang bersedia untuk memberikan beasiswa untuk Warga Negara Indonesia yang ingin melanjutkan studi S2 ataupun S3 di luar negeri dengan bidang keahlian yang tidak dibatasi. Pada saat itu juga saya langsung berpikir ‘Ini kesempatan emas! Kapan lagi ada beasiswa yang begitu fleksibel seperti ini?’ mengingat biasanya beasiswa pada umumnya terbatas pada beberapa bidang atau jurusan tertentu saja seperti teknik, sains, atau ilmu sosial. Langsung lah saya mencoba melamar beasiswa LPDP ini.

Ternyata lika liku seleksi beasiswa LPDP ini tidaklah semudah yang dipikirkan. Saya ingat saat itu saya harus dua kali menjalani seleksi LPDP sebelum akhirnya diterima resmi sebagai penerima beasiswa LPDP. Di seleksi pertama, saya merasa sangat lancar mulai dari proses wawancara dan Leaderless Group Discussion, namun kenyataannya saya belum lolos. Di seleksi kedua, saya ditantang dan ditanya habis-habisan oleh pewawancara mengenai kondisi dan prospek industri game di Indonesia saat itu, bahkan para pewawancara sempat menanyakan kredibilitas dan keaslian segala prestasi di bidang game design dan development yang pernah saya peroleh. Wawancara yang berlangsung cukup intens dan panas itu membuat saya memasrahkan hasil dari seleksi kedua ini. Namun ternyata yang namanya rezeki memang tidak bisa ditolak, saya dinyatakan lolos tahap seleksi tersebut yang notabene kurang meyakinkan. Hingga saat ini saya terus bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala karunia yang diberikan ini. Tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa diterimanya saya sebagai penerima beasiswa LPDP ini adalah salah satu momen penting yang begitu berpengaruh dalam hidup saya.

Di artikel selanjutnya, saya akan membahas mengenai persyaratan yang dibutuhkan untuk berkuliah di bidang Game Design serta beberapa pengalaman saya hingga saat ini di Amerika Serikat. Nantikan kelanjutannya ya!

 

Photo Courtesy: Author’s Collections


BAGIKAN
Berita sebelumyaBerawal dari Mimpi Hingga Mendapat Beasiswa ke Perugia
Berita berikutnyaMelanjutkan Studi di Turki
Prisyafandiafif Charifa (Fandi) is a second year master student at New York University Tisch School of Arts taking Master of Fine Arts in Game Design with a focus on video game design. Started his education as a computer science student, Fandi swerved to art track and now he is becoming a half game developer and half game designer who is willing to develop any kind of games as the mission of life, starting from casual to hardcore games for any kind of platforms. He has also been working for several video game projects from different companies in Indonesia, Austria, and Norway. 'Will make games for living' and 'Becoming a bridge between game artists and game programmers' are his motto for any game related works.

2 KOMENTAR

  1. kang fandi boleh minta emailnya? saya mau tanya2 soal NYU sekarang saya kuliah S1 jurusan film di UNPAS dan ingin apply S2 ke NYU.

  2. request bagian 2 secepatnya dong… saya berencana mau lanjut studi bidang game juga n nguncar lpdp… jd lg nyari info sebnyak-banyaknya nih… apalg soal proposal riset… tolong ya mas… makasi..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here