“Habis lulus mau ngapain?” tanya seorang teman.
Pertanyaan keparat itu rupanya tak pernah absen diajukan dari satu percakapan ke percakapan lainnya. Sesungguhnya ia adalah pertanyaan dengan tingkat kesulitan setara teori fisika kuantum. Barangkali tersulit kedua setelah pertanyaan kapan nikah. Hanya bedanya, deadline menikah bisa diundur, sementara lulus selalu punya tanggal resmi; semakin dekat dengan tanggal, semakin besar alarm berbunyi. Beda lainnya adalah keengganan untuk menikah bisa menjadi jawaban kenapa kita tidak nikah-nikah juga. Sementara keengganan untuk lulus tidak otomatis menjawab apa yang ingin kita kerjakan setelah tidak lulus-lulus juga. Andaikata putus kuliah pun, kita tetap mesti berpikir lalu setelah ini apa. Singkat kata, ia adalah pertanyaan eksistensial yang mutlak dihadapi mahasiswa seantero dunia, cepat atau lambat.
Ada banyak hal yang menjadikan pertanyaan tersebut jauh lebih sulit dijawab daripada yang seharusnya. Salah satu sebab utamanya adalah ekspektasi orang lain, baik itu dari orang tua, teman, atau bahkan para dosen yang pada mereka kita berutang ilmu. Wujud ekspektasi ini bermacam-macam. Bisa soal bidang keilmuan. Seringkali juga berkaitan urusan kesejahteraan.
Dosen saya pernah mengungkap bahwa ia menyayangkan teman-teman saya yang banting setir dari jalur bidang keilmuan. Teman-teman saya tentu saja harus menghadapi keheranan serupa dari teman-teman mereka. Sebaliknya, barangkali pilihan untuk beralih karir tersebut memenuhi ekspektasi orang tua akan, misalnya saja, penghasilan yang lebih baik, jam kerja yang lebih bersahabat atau lokasi kantor. Saya sendiri mengalami bagaimana keluarga mempertanyaan pekerjaan saya oleh sebab penghasilan yang seadanya. Rumitnya lagi dalam konteks keluarga, kita juga tidak hanya sekadar bertanggung jawab pada diri sendiri, tetapi juga pada orang tua yang sudah membiayai segenap ongkos perkuliahan.
Tekanan-tekanan semacam demikian tentu ikut andil dalam menentukan hal-hal yang ingin kita kerjakan setelah lulus. Keputusan kita pada akhirnya bukan hanya perihal menjawab apa keinginan kita. Ada ekspektasi, tanggung jawab, dan harapan-harapan orang lain yang sesungguhnya sedang kita tanggapi pada setiap jawaban akan “habis lulus mau ngapain.” Dan, kita tentu tidak bisa memuaskan semua orang.
Tetapi itu sebabnya, saya pikir, penting untuk memahami luar dalam dan menghargai setiap keputusan seseorang, baik itu banting setir, lanjut kuliah, menikah lalu jadi bapak atau ibu rumah tangga, maupun berkarir penuh di bidang yang sesuai. Itu pula sebabnya, saya tidak dapat setuju dengan artikel hits ini yang menekankan untuk tidak menjadi “generasi lulus, bekerja, menikah, lalu sudah,” juga pada kritik orang-orang akan sarjana-sarjana yang hanya berkuliah demi gelar.
Di balik keputusan seseorang untuk memilih lulus, bekerja, menikah, lalu sudah, atau berkuliah demi gelar, ada ekspektasi orang-orang yang sesungguhnya sedang ia tanggapi, yang membuat ia harus berkorban untuk tidak memenuhi ekspektasi orang lain dan terlebih untuk tidak mengejar ambisinya sendiri. Tidak semua orang memiliki kenyamanan untuk mengikuti kemauannya, bahkan sejak memilih bidang perkuliahan itu sendiri. Latar dan modal sosial-ekonomi seseorang, misalnya, amat menentukan spektrum bidang perkuliahan hingga karir yang bisa ia tempuh setelah lulus. Sementara gelar, dalam sistem perekonomian dan ketenagakerjaan kita, apa daya adalah semacam tiket melamar kerja dan banyak orang yang barangkali pontang-panting berkuliah walau tidak suka demi bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak.
Oleh karena itu pula, penting untuk tidak terjebak pada pemikiran linear, bahwa apa yang seseorang kerjakan setelah lulus harus terkait dengan apa yang ia pelajari di perkuliahan. Kenyamanan bukan milik semua orang. Pun, sekalipun seseorang memilih kenyamanan untuk memilih, tidak semua orang bisa tahu persis dengan tepat apa yang ia inginkan sebelum ia berkuliah. Juga bukan berarti buat orang-orang yang berubah haluan, kuliah semacam sia-sia. Perkuliahan pada akhirnya dapat menjadi proses buat ia menemukan apa yang ia inginkan, atau setidaknya yang tak ia inginkan. Soft skill, pengetahuan, jaringan pertemanan, gelar, dan lain-lain yang ia dapatkan selama berkuliah bisa selalu bermanfaat untuk apa yang ia kerjakan nantinya.
Sementara itu, kita juga hidup di generasi yang mengagungkan bekerja sesuai passion dan memuja jargon-jargon seperti do what you love, love what you do. Kita lalu menganggap orang-orang yang mengambil pekerjaan yang banal dan bekerja mengikuti rutinitas sebagai orang-orang yang tidak asyik. Kritik sosial atas provokasi semacam demikian sudah dirangkum tuntas di artikel Jacobin ini. Tapi satu hal yang lagi-lagi penting ditekankan adalah, bahwa tidak semua orang hidup dengan kenyamanan untuk mengejar mimpi mencapai ambisi. Ada realita yang harus dipijak. Justru pada orang-orang yang rela mengorbankan mimpi-mimpinya itulah, saya merasa perlu belajar untuk menjawab pertanyaan laknat bernama: “habis lulus mau ngapain?”
Image Courtesy: ibtimes.com (http://s1.ibtimes.com/sites/www.ibtimes.com/files/styles/lg/public/2016/05/06/gettyimages-89018487.jpg)