Kuliah di Luar Negeri: Ingin, Butuh, atau Ikut Tren?

1
4157

Beberapa tahun lalu, ketika saya merencanakan melanjutkan kuliah lanjut di luar negeri, akses informasi mengenai negara tujuan, universitas, hingga beasiswa belum sebanyak sekarang. Bisa dibilang berhasil kuliah di luar negeri adalah kemewahan yang sulit tercapai. Ketika saya kembali ke Indonesia dan bertemu dengan anak-anak muda yang baru menyelesaikan SMA atau S1, saya agak terkejut karena 8 dari 10 orang yang saya tanyai, menyatakan ingin kuliah di luar negeri. Tak hanya itu, banyak yang sudah spesifik berkata, “Setelah ini les bahasa Inggris di Pare, lalu ambil IELTS, kemudian lamar (sebutkan skema beasiswa di sini)”.

Agaknya mirip dengan slogan salah satu low cost carrier, sekarang semua orang bisa bersekolah di luar negeri. Now everyone can pursue higher education abroad. Beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya persebaran informasi, perkembangan ilmu, dan visi global village, memang banyak sekali kesempatan yang ditawarkan pada mereka yang ingin melanjutkan studi lanjut di luar negeri. Lembaga-lembaga yang memberikan beasiswa kini banyak bervariasi, juga ada yang menambah kuota penerima beasiswa mereka. Semakin banyak pula teman, kenalan yang saya tahu, secara terbuka mengatakan ingin kuliah lagi di luar negeri.

Unjuk Diri Generasi Langgas

Generasi Langgas mengupas fenomena millenials Indonesia.
Generasi Langgas mengupas fenomena millenials Indonesia.

Yoris Sebastian, seorang praktisi kreatif, menulis sebuah buku menarik berjudul Generasi Langgas. Langgas, sebuah kata di KBBI yang berarti ‘tidak terikat’ atau ‘bebas’, dipilih Yoris untuk menggambarkan generasi millenials Indonesia. Generasi langgas kelahiran 1980-awal 1990an, kini banyak yang sudah bekerja, lulus kuliah, atau hampir menyelesaikan kuliah dan mereka punya ketertarikan besar untuk sekolah lagi di luar negeri.

“Kayaknya enak bisa jalan-jalan,” adalah jawaban yang diberikan seorang teman ketika saya bertanya mengapa ia ingin kuliah S2 di salah satu negara di Eropa. Jawaban yang jamak saya temukan, baik yang diucapkan secara serius ataupun bercanda. Studi lanjut di luar negeri does have its perks. Konten media sosial dari mereka yang kuliah di luar negeri biasanya membuat iri: foto di depan Eiffel, foto di berbagai bandara di dunia, foto bersama PM Kanada (yang terakhir ini obsesi pribadi). Generasi langgas yang menyukai kesempatan unjuk diri, menggunakan media sosial untuk memperlihatkan segi-segi privat mereka.

Salah satu teman yang lain ingin kuliah lanjut di luar negeri karena teman-temannya rata-rata bergelar S2. Si teman sudah bekerja dengan posisi lumayan di kantornya, namun peer pressure juga berperan dalam pengambilan keputusannya untuk melamar ke sebuah universitas di luar negeri untuk mengambil MBA. “Biar sama lah, dengan yang lain,” ujarnya.

Temannya teman malah serius mengatakan bahwa dia ingin kuliah ke luar negeri karena ingin menunjukkan pada mantannya bahwa dia cukup pintar. Seriously?

Pertanyaannya, apakah keinginan jalan-jalan, ingin sejajar dengan teman lain, sampai membuktikan diri pada mantan itu cukup sebagai bekal studi lanjut?

Perlu Motivasi yang Kuat

Keren, ketika lulus.
Keren, ketika lulus.

Apakah ada teman-teman saya yang serius kuliah di luar negeri dengan segala perencanaan dan visi ke depan? Ada, banyak malah. Dari pengalaman saya dan pembicaraan saya dengan mereka, motivasi adalah sesuatu yang perlu direnungkan secara serius.

Bagaimana tidak? Dari segi teknis saja, untuk melamar ke universitas di luar negeri biasanya motivation letter selalu ditanyakan. Jawabannya akan menentukan apakah kita layak untuk kuliah di sana, dan jawaban “jalan-jalan” bukan jawaban yang mereka cari, kecuali memang mau melamar di jurusan traveling/hospitality/sejenisnya. Idealnya tentu saja motivasi yang selaras dengan jurusan/universitas yang diambil, memiliki visi ke depan, juga ada rencana tindak lanjut yang jelas.

Mengesampingkan soal bagaimana menuliskan motivasi itu dalam bahasa yang menggugah (karena yang namanya tulisan bisa dibuat sedemikian rupa), motivasi yang sesungguhnya jelas sebuah poin penting. Bagi saya tidak ada motivasi yang “salah”, karena motivasi ini biasanya bersifat personal. Ingin studi lanjut karena ingin jalan-jalannya, sah-sah saja. Kuliah lagi karena memang di pekerjaan perlu ilmu (dan gelar) yang lebih, tentu saja boleh. Ikut-ikut teman karena di gengnya semua lanjut S2, ya tentu silakan saja.

But then what?

Mari bermain “bagaimana jika.” Bagaimana jika nilai kemampuan bahasa asing kita masih jauh dari yang disyaratkan? Bagaimana jika kita tak lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus yang kita inginkan? Bagaimana jika proses pengurusan visanya rumit? Bagaimana jika kita mengalami culture shock di negara tujuan? Bagaimana jika kita tak punya teman untuk berkeluh kesah? Bagaimana jika materi kuliahnya berat? Bagaimana jika kita susah untuk lulus?

Apakah motivasi kita cukup kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas?

Tidak Ada Makan Siang Gratis

Kesan mendalam yang saya dapat dari studi saya di luar negeri adalah: masuknya aja susah, keluarnya apa lagi. Maaf, jadi curhat. Dengan standar pendidikan yang kebanyakan lebih baik dibanding di negeri sendiri (tidak semua ya), proses seleksi masuk universitas yang dituju memang tidak main-main. Selain banyak surat (motivation letter, recommendation letter, dan bentuk surat-menyurat lainnya), ada syarat kemampuan akademik serta bahasa yang harus dipenuhi. Katakan kita bukan orang jenius (sebagaimana layaknya sekian milyar orang di bumi ini), untuk bisa tembus ke universitas yang kita tuju tentunya diperlukan usaha, usaha yang seringkali tak sedikit. Motivasi bisa apa saja, usaha untuk ke sana, itu lain perkara. Secara pribadi saya berpendapat motivasi itu diperlukan usaha keras, harus berpikir panjang, revisi sekian puluh kali. Untuk mendapatkan minimum nilai GRE (Graduate Records Examination) yang disyaratkan, belajarnya harus begadang, les sana sini, akhir pekan tak kenal jalan-jalan. Bagaimana jika sudah kirim aplikasi, sudah mendapat nilai lebih dari minimum? Bisa saja ada faktor X yang tidak kita tahu; lalu kita gagal. Ada yang berhasil pada percobaan pertama, ada pula yang baru beberapa kali bisa tembus.

Sampai di sana, perks kuliah di luar negeri seperti jalan-jalan itu langsung bisa lenyap kerennya begitu ketemu dengan teman-teman yang pintar, tugas yang banyak, atau budaya yang berbeda. Perlu lagi usaha untuk mempertahankan performa secara akademik, juga bergaul dengan baik, dan kemudian lulus dengan tak kalah eloknya. Belum lagi beban “bela negara.” Begitulah, menjadi mahasiswa asing di luar negeri itu biasanya diidentikkan dengan negara dulu, baru nama. Malu sekali jika kita bertingkah kurang baik di negara orang, nanti yang kena jeleknya Indonesia. Tapi masalah “bela negara” ini juga berlaku sebaliknya, ketika kita berprestasi, nama Indonesia ikut terangkat.

Salah satu bentuk "bela negara".
Salah satu bentuk “bela negara”.

Jika ditarik ke belakang, motivasi tentunya bisa mempengaruhi usaha dan perjalanan kita ke sana. Memang butuh ilmunya? Jika tak siap dengan segala kerempongan studi di luar negeri, bisa jadi ada pilihan lain: cari mentor, ikut pelatihan. Sekadar ingin jalan-jalan? Jika tak memiliki niat dan resilience yang tinggi untuk berusaha tembus ke universitas yang dimaksud DAN lulus, ada pilihan lain yaitu dengan bekerja cari uang, lalu liburan ke luar negeri. Ikut-ikut teman? Boleh saja, tentu ingat komitmen. Ikut-ikut teman kuliah ke Harvard itu sama nggak perjuangannya dengan ikut-ikut teman posting foto OOTD di Instagram?

Pengalaman itu mahal, dan pengalaman studi lanjut di luar negeri juga adalah kesempatan untuk mengenal banyak hal. Banyak kesempatan yang kini ditawarkan untuk itu. Banyak pula saingan. Kata pepatah, nggak ada makan siang gratis. Untuk mendapatkan sesuatu, perlu sesuatu juga: perjuangan, ikhtiar, dukungan. Studi lanjut di luar negeri memang menyenangkan, yang tentu saja tak menihilkan adanya usaha keras dan momen-momen “berdarah” di baliknya. Dimulai dengan meyakinkan diri sendiri dengan motivasi, tujuan, hingga komitmen untuk menghadapi segala tantangan yang bisa muncul.

Because it was not, it is not, and it will not be easy. But then again, nothing worth having ever comes easily.

Selamat berjuang!


BAGIKAN
Berita sebelumyaAmerika Tidak Tunggal
Berita berikutnyaAda Uang, (Belum Tentu) Ada Barang
Marlistya Citraningrum works as a program manager at Institute for Essential Services Reform (IESR), a leading Indonesian think tank focusing on energy and climate justice. She obtained her PhD degree in chemical engineering from Taiwan Tech with research focus on environmental management. Keen on writing​, Marlistya Citraningrum previously worked as a scriptwriter for Lentera Ide PPI Taiwan and a contributing writer for ​City543, the number one English online lifestyle media in Taiwan. She is still blogging actively in her own blog and Kompasiana. Shout to her on Twitter: @mcitraningrum.

1 KOMENTAR

  1. Apakah anda, keluarga atau teman baik Anda mempunyai IPK 3.0, lulusan S-1 yang terakreditasi, dari jurusan apapun, memiliki rencana untuk membangun Indonesia dan dibawah 35 tahun?

    Kami mendidik anak didik kami untuk memperoleh IELTS 7.5 & menjamin mereka akan mendapatkan beasiswa 100% di luar negeri. 3000+ alumni kami sejak 1996, bersekolah di 4 benua.

    Apakah Anda, keluarga atau teman baik Anda akan jadi bagian dari alumni sukses kami berikutnya?

    JAMINAN UANG KEMBALI*

    Untuk test institusional IELTS gratis & info beasiswa,
    contact: 0813 1663 4102

Tinggalkan Balasan ke Nez Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here