“Kamu nggak takut pergi ke Rusia?”
Kalimat tersebut sering terlempar dari mulut berbagai orang yang saya kenal, mulai dari keluarga dekat hingga kerabat jauh, ketika saya memutuskan untuk mengambil beasiswa berkuliah di Rusia. Banyak yang meragukan Rusia yang dulunya adalah negara komunis, dan bagaimana orang-orang di sana katanya tidak bersahabat. Tapi, saya teguh dengan pendirian dan membulatkan tekad untuk pergi ke Rusia.
Memang benar Rusia itu dingin, dan saya membuktikannya saat pertama kali menghirup angin musim gugur Rusia di sebuah kota bernama Volgograd. Malam pertama saya di Volgograd adalah malam tanpa penghangat ruangan, yang berarti saya betul-betul merasakan dinginnya malam Rusia. Jaket tebal yang saya simpan untuk musim dingin nanti malah saya pakai tidur di malam pertama itu, meskipun musim gugur baru saja dimulai. Malah di musim dingin, suhu bisa turun hingga -30°C yang membuat ingus beku dan kulit kering. Lucunya di musim panas suhu bisa naik hingga 40°C, mengalahkan panas Jakarta.
Penderitaan saya tidak sampai di situ saja. Butuh beberapa hari bagi saya untuk dapat membeli penghangat ruangan sendiri. Butuh beberapa hari pula bagi saya membiasakan diri dengan teman sekamar saya yang berasal dari Congo, yang senang mengadakan pesta malam-malam dan mengganggu tidur saya. Asrama lantai tiga yang saya tinggali pun sudah lapuk, dan hampir tidak ada dari penghuni yang peduli dengan lingkungan asrama. Mungkin memang kesialan saya sendiri, karena lantai-lantai lainnya sangat bersih dan terjaga. Apa daya, toh saya pun tidak dapat berekspektasi apa-apa.
Di Volgograd ini, saya mengikuti kelas bahasa Rusia untuk setahun lamanya. Tetapi, harus saya akui bahwa setahun itu tidak cukup bagi saya untuk dapat bercakap dengan orang Rusia lainnya. Setahun itu pula, saya hanya mengenal beberapa orang Rusia, dan seluruhnya adalah dosen-dosen yang mengajar. Perjalanan satu tahun itu tidak terasa Rusia sama sekali.
(Sedikit gambaran tentang Rusia)
Pada tahun pertama itu, saya berekspektasi akan mempunyai banyak teman Rusia. Kenyataannya, saya justru berteman dengan orang dari berbagai negara. Salah dua teman saya, Kingsley, berasal dari Nigeria, dan Ala yang berasal dari Suriah. Ada pula Zung dan Minh dari Vietnam, dan beberapa teman dari Korea Selatan, Zambia, Chad, Iran, dan Afghanistan. Masing-masing mempunyai kisahnya sendiri, dan hampir semua adalah mahasiswa yang mendapatkan beasiswa juga. Kami membentuk komunitas tersendiri, dan seringkali membuat acara bersama. Kondisi asrama lantai tiga yang mengenaskan tidak lagi menjadi perkara besar dengan teman-teman multikultural ini.
Setelah setahun menjalani kelas bahasa, saya dipindahkan ke Moskow untuk berkuliah. Baru di sinilah saya merasakan Rusia. Dalam sekejap, sayalah yang berbeda sendiri: satu-satunya mahasiswa Indonesia di universitas saya. Walau di asrama saya dipasangkan dengan orang dari Somalia dan Ukraina, hanya saya dan tiga orang lainnya yang bukan orang Rusia asli di kelas.
Stereotip tentang orang Rusia yang tidak bersahabat langsung terpatahkan dalam seminggu pertama saya di Moskow. Banyak mahasiswa Rusia yang menolong saya dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjadi juru bicara ketika kemampuan bahasa Rusia saya masih minim, hingga memberikan makan bilamana saya kekurangan. Dengan cepat, saya dapat memasuki komunitas paduan suara dan teater di universitas saya. Begitu bersahabatnya orang Rusia, dan dengan cepat pula saya merasa menjadi bagian dari mereka.
Saya pribadi sebenarnya jarang mengikuti acara yang diselenggarakan oleh orang Indonesia di Moskow, karena saya disibukan dengan acara perkuliahan dan ajakan sahabat-sahabat saya untuk menjelajahi Moskow. Ada teman saya yang bernama Boris yang mengajak saya ke apartemen keluarganya, dan dikenalkan lagi saya dengan orangtua Rusia yang begitu ramah—dan nenek yang menjadi kepala keluarga, yang sering menyuguhkan kompot (minuman beri khas Rusia).
Salah satu teman saya yang bernama Ruslan mengajak saya ke kampung halamannya di Sasovo, dan di sinilah saya dikenalkan dengan alam Rusia yang begitu indah dan suasana pedesaan yang begitu damai. Pedesaan yang diselimuti salju sejauh mata memandang merupakan hal terindah yang saya lihat. Di balik rumah-rumah yang terlihat dingin tenggelam salju terdapat keluarga riang dengan kehangatan sup borscht dan kekeluargaan.
Satu hal yang saya pelajari dari Rusia adalah bagaimana mereka mengutamakan keluarga dan kekerabatan dibandingkan segalanya. Kerasnya kehidupan di sana dan dinginnya musim salju membuat orang Rusia cemberut setiap saat (coba saja senyum di suhu -30°C). Tetapi mereka tidak akan ragu untuk menolong sahabat dan keluarga mereka, karena keluargalah yang akan membantu mereka menghadapi suramnya hidup di tanah dingin. Walau jarang tersenyum, senyuman mereka adalah senyuman asli dari hati.
Featured image and photos: Author’s collection.
Editor: Deandra Madeena Moerdaning