DO (NOT) TAKE YOUR FAILURE PERSONALLY

7
2612
Photo by https://morethansound.net/wp-content/uploads/Failure.jpg

Tulisan ini untuk kamu. Kamu yang saat ini sedang merasa sedih, terpuruk, patah arang, terkucil, atau sedang mengasosiasikan diri dengan wujud “kegagalan” lainnya. Untuk menghangatkan hatimu. Untuk mengingatkan dirimu bahwa keindahan dari kegagalan akan terlihat dan dapat dirasa ketika kita berdamai dengan kegagalan tersebut. Kamu tidak sendiri! Ada banyak sekali orang di luar sana yang mengalami kegagalan, termasuk saya, jadi jangan pernah merasa sendiri.

Kegagalan adalah pil pahit yang harus ditelan. Apalagi untuk kegagalan yang didapatkan setelah mendayagunakan seluruh sumber daya yang kita punya. Tentunya ini adalah momentum yang menguras tenaga dan pikiran. Mungkin akan terdengar tidak lazim, tetapi kegagalan – baik dalam studi, pekerjaan, maupun kehidupan personal – adalah komponen motivasi terpenting dalam hidup saya. Perlu diketahui bahwa saya bukan seorang ahli dalam mengatasi kegagalan, gangguan kejiwaan, dan penolakan. Rasanya tidak ada orang yang terbiasa dengan hal tersebut. Namun demikian, saya (dengan segala kerendahan hati) ingin berbagi beberapa episode kegagalan dalam hidup saya dan bagaimana saya menemukan kekuatan dan keindahan di dalamnya.

Pernah gagal? Tidak masalah, harus dicoba kembali. Gagal lagi? Tidak apa-apa, tentu dengan kegagalan yang lebih baik dari sebelumnya!

Saya telah mengalami banyak kegagalan sehari-sehari, dari hal kecil seperti bakwan yang saya masak terlalu asin, ayam goreng yang ternyata masih mentah, makanan menjadi basi karena lupa dimasukkan ke kulkas atau sulit membedakan antara ketumbar dan merica hingga hal yang signifikan seperti tidak mendapatkan beasiswa yang diinginkan. Kegagalan ini meskipun (terkadang) tidak terlalu sulit untuk diterima, mereka mengajari saya ketahanan! Apakah saya menyerah ketika masakan saya tidak enak atau bahkan ketika orang lain menilai saya tidak bisa masak? Tentu tidak, saya tetap bereksperimen dengan kemampuan memasak yang seadanya. Seiring dengan berjalannya waktu, saya dapat membedakan segala bumbu dapur dengan cukup baik, bukan hanya ketumbar dan merica. Dengan bangga saya mengakui bahwa saya mengalami kegagalan setiap hari dan justru hal itu yang membuat saya terus menjadi lebih baik.

Hal yang sama juga berlaku ketika saya tidak mendapatkan nilai yang cukup baik. Ketika menjadi salah satu dari 10 siswa dengan nilai paling rendah. Ketika menjadi siswa yang tidak signifikan prestasinya maupun ketika saya tidak memahami konteks diskusi yang berlangsung di dalam kelas (ya, saya pernah mengalami semua itu). Bahkan ketika aplikasi beasiswa saya ditolak untuk kesekian kalinya. Jika kejadian seperti ini berlangsung terus menerus, memang ada kemungkinan untuk manusia manapun merasa “tidak layak” dan “tidak cukup cerdas”. Rasa tidak percaya diri dan depresi pun akan mulai menyerang. Perasaan sedih tentu akan datang namun jangan dibiarkan berlarut-larut. Habiskan lebih banyak waktu untuk berkontemplasi mencari celah kegagalan dan mempersiapkan diri dengan lebih baik dan mencoba kembali. Bicara pada orang dari berbagai kalangan, minta pendapat dan saran mengenai bagaimana cara mereka mencapai mimpi, terus memperbaiki diri dan kembali ke arena pertarungan pasca kegagalan! Jangan biarkan kegagalan membuatmu menyerah, tetap maju dan jangan berhenti sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan! Semangat juang adalah sesuatu yang tidak dapat diambil oleh siapapun, kecuali diri sendiri.

Jangan menyerah. Photo by https://www.theodysseyonline.com/moving-past-failure
Menyerah bukanlah pilihan. Photo by https://www.theodysseyonline.com/moving-past-failure

Percayalah, kamu akan selalu mendapatkan pertolongan..

Saya tahu persis bahwa untuk mendapatkan beasiswa dan diterima di universitas yang diinginkan tentu tidak mudah. Setelah berhasil mendapatkan kedua hal tersebut, beradaptasi di lingkungan baru juga merupakan hal yang sulit. Tentu tidak sesederhana naik ke pesawat dan menggunakan sabuk pengaman. Saya sangat sedih ketika mendapatkan informasi bahwa cukup banyak mahasiswa Indonesia yang mengalami depresi ketika berkuliah di luar negeri. Bahkan ada beberapa yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bagi yang mengenyam pendidikan jauh dari ‘rumah’, baik itu di luar kota maupun di luar negeri, biasanya akan ada periode penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru. Proses beradaptasi memang akan menguras tenaga dan pikiran. Tidak hanya meninggalkan kampung halaman dan kehangatan keluarga, kehilangan keceriaan bersama sahabat yang biasanya dengan mudah didapatkan, kita juga harus berkutat dengan beban perkuliahan yang dihadapi setiap hari.

Saya sempat merasa kesepian, takut dan resah selama minggu pertama di Auckland. Ada satu kejadian (bisa dianggap kegagalan) yang mengubah cara saya berpikir. Pada hari keenam saya di Auckland, saya terjatuh di persimpangan Queen St. (persimpangan paling ramai di Auckland). Pada saat itu, pergelangan kaki saya terasa sakit dan wajah saya memerah panas menahan rasa malu. Saya juga menyayangkan kecerobohan diri ini. Saat itu, seseorang yang tidak saya kenal menepuk pundak saya dan dengan lembut bertanya “Apakah anda baik-baik saja? Adakah yang bisa saya lakukan untukmu?” Beliau adalah seorang kakek yang berjalan menggunakan tongkat. Dalam keterbatasannya, beliau masih berbagi kasih dengan saya. Rasa malu tadi secara ajaib menghilang karena keramahan sang Kakek. Saya menjawab pertanyaannya dengan senyum lebar, “Saya rasa saya baik-baik saja, terima kasih telah bertanya!”.

Hikmah apa saja yang dapat saya ambil dari semua pengalaman diatas? Pertama, ketika kamu gagal percayalah ada orang di luar sana yang bersedia untuk membantumu. Maka, janganlah menutup diri. Cobalah untuk tidak menyepelekan kesulitan dan depresi yang sedang dihadapi. Carilah teman untuk berbagi keluh kesah atau hubungi orang terdekatmu untuk meringankan beban yang ada. Kedua, ayo kita beramai-ramai belajar dari kakek yang pernah menolong saya. Belajar untuk menawarkan bantuan ketika ada orang lain yang gagal, terjatuh, tertatih sehingga mereka tidak merasa sendirian dan tanpa pertolongan. Saya sangat bersedia untuk dihubungi jika ada yang membutuhkan teman untuk melalui hari yang sulit atau sekedar meringankan langkah.

Ingat untuk membuka diri untuk ditolong dan juga menolong orang lain. Photo by http://facthacker.com/helping-others-is-good-for-your-health/
Ingat untuk membuka diri untuk ditolong dan juga menolong orang lain. Photo by http://facthacker.com/helping-others-is-good-for-your-health/

Bagi siapapun yang membaca tulisan ini, saya berharap kalian dapat menemukan indahnya kegagalan dan penolakan. Saya berharap pijakan kalian akan semakin kokoh ketika ada masalah yang menghadang. Saya juga berharap kita dapat bergandengan tangan untuk saling menginspirasi dan menguatkan. Terima rasa kekecewaan dengan tangan terbuka dan terus mengingatkan diri agar tidak terlalu lama berkubang dalam perasaan itu. Teruslah ingat bahwa ketika jawabannya adalah TIDAK, ada IYA yang lebih baik di kemudian hari. Kita hanya perlu cukup kuat untuk tetap berdiri tegak, tentu dengan dorongan orang orang disekitar (baik yang kita kenal maupun tidak) yang akan terus mengingatkan kita bahwa pertolongan bisa datang dari mana saja, apabila kita membuka diri.


BAGIKAN
Berita sebelumyaASEAN Foundation Scholarship – Kyoto University Exchange Program: What I Learn From Stepping Outside My Comfort Zone (PART 1)
Berita berikutnyaWhich One Are You, A Businesswoman or a Professor?
Siti Octrina Malikah, commonly called Riri, completed her Master of Public Policy at the University of Auckland, New Zealand, with a full scholarship from the Indonesia Endowment Fund for Education (LPDP). She spent 2 years in Hong Kong to assist vulnerable migrant mothers and their children who had no access to documentation, healthcare and justice. After moving back to Jakarta early 2019, she leads and coordinates interesting social projects with businesses to end child labour in their supply chains and to ensure the young workers have proper access to decent and meaningful work opportunities. On her own time, she loves watching series, cooking and scuba diving with her husband. Do not hesitate to contact her via email sitioctrina@gmail.com

7 KOMENTAR

  1. Haii Mbak Riri,terima kasih tulisannya sangat memotivasi.saya grizelda dari sruabaya..apakah saya bisa dan boleh menghubungi mbak secara personal?ada banyak hal yang ingin saya tanya dan diskusikan ke mbak..terima kasih

  2. Kak Ririiiii bagus banget tulisannya :’) Kalau kakak ga keberatan, boleh ga aku kirim email juga dan (ehem) sedikit curhat biar dapat inspirasi? Coincidently I also want to work in NGO or humanitarian organizations like you have been doing 🙂

Tinggalkan Balasan ke Riri Malikah Nasution Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here