Merayakan ulang tahun Indonesia Mengglobal kelima yang jatuh di bulan Maret ini, Indonesia Mengglobal berbincang dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, salah satu perempuan Indonesia yang memiliki latar belakang tak biasa dan pekerjaan yang unik. Terlahir sebagai puteri keraton, GKR Hayu memiliki minat besar pada IT dan sempat bekerja sebagai game producer.
Bagaimana ceritanya? Simak perbincangan Indonesia Mengglobal dengan GKR Hayu.
Q: Hai GKR Hayu, bisakah Anda memperkenalkan diri pada pembaca Indonesia Mengglobal?
Nama lengkap saya Gusti Kanjeng Ratu Hayu, anak keempat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. Setelah menyelesaikan S2 di Fordham University, New York dengan beasiswa LPDP, sekarang saya fokus menyumbangkan waktu untuk Keraton Yogyakarta. Saat ini saya mengemban tugas sebagai Penghageng (Kepala Divisi) Tepas Tandha Yekti yang bertanggung jawab atas IT dan dokumentasi dalam Keraton Yogyakarta. Sebelumnya saya sempat bekerja sebagai game producer. Oh ya, saya mengambil Master of Business Administration (MBA) dengan double concentration Information Technology & Management Systems untuk S2. Saya kuliah S1 di jurusan Business Information System Management Bournemouth University, Inggris.
Q: Wah, menarik sekali. Mengapa GKR Hayu tertarik dengan dunia IT?
Sewaktu kecil, hobi saya adalah main jigsaw puzzle, model kit, dan Lego. Memang sejak kecil saya suka mencari tahu bagaimana suatu benda bekerja. Saat berusia 6 tahun, saya sempat bercita-cita menjadi ahli komputer supaya bisa merampok bank dari jauh. Barangkali kebanyakan menonton televisi.
Video game sendiri baru jadi hobi setelah saya dewasa. Ketika sempat menjalani S1 di Stevens Institute of Technology di New Jersey, seorang teman meminjamkan Game Boy Advance-nya untuk main Pokemon yang waktu itu baru keluar. Dari situ baru saya menemukan ketertarikan ke dunia game yang berlanjut hingga sekarang.
Q: Jurusan dan profesi yang sebelumnya diambil GKR Hayu tergolong tak biasa. Bagaimana keluarga dan teman-teman GKR Hayu menyikap pilihan ini?
Saya beruntung memiliki orang tua dan keluarga yang sangat mendukung, terutama saat saya tahu persis banyak perempuan di bidang sains dan teknologi yang tidak didukung lebih jauh dengan alasan itu bukan pekerjaan perempuan. Ibu pernah berkomentar, “Anak perempuan kok nyimpennya tang dan obeng gitu,” karena saya menyimpan peralatan untuk membuat model kit. Lucunya, Bapak justru sama sekali tidak pernah menyinggung soal itu.
Yang saya syukuri adalah bagaimana Bapak dan Ibu tidak pernah sekalipun melarang. Ketika membuat model kit misalnya, justru setiap bisa menyelesaikan satu, berikutnya dibelikan yang lebih susah lagi. Jika ingin belajar sesuatu, saya langsung dicarikan kelas tambahan jika diperlukan.
Untuk teman-teman, saya saya waktu sekolah tidak punya teman. Sejak SMP kelas 2 saya sudah sekolah di luar negeri dan berpindah-pindah negara, jadi saya tidak memiliki teman yang cukup dekat untuk komentar soal pilihan hidup saya.
Q: Bisakah GKR Hayu bercerita mengenai keputusan mengambil jurusan IT dan juga kuliah di UK?
Karena ketertarikan pada IT, saya memang memilih jurusan IT untuk S1. Sebelum kuliah di UK, saya sempat kuliah di Stevens Institute of Technology di New Jersey mengambil jurusan Computer Science. Di sana saya dihadapkan pada kenyataan hidup bahwa saya kurang terampil untuk urusan programming. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di tahun kedua. Dari sana, Ibu meminta saya untuk pindah ke negara di sekitar Eropa dan saya memiliki Bournemouth University, yang kebetulan merupakan almamater kakak ipar saya.
Ada beberapa alasan mengapa saya memilih Bournemoth University. Keputusan penentu saya adalah program Business Information System Management-nya yang cukup unik. Jurusan ini mengajarkan semua yang diperlukan dalam software development kecuali dari sisi programming-nya. Jadi di kuliah saya mempelajari project management, system design, testing dan network, mengakomodasi minat saya pada IT yang tak menyentuh programming.
Alasan kedua, tidak banyak orang Indonesia di sana, baik di kota maupun di universitas. Saya pikir kesempatan belajar di luar negeri harus dimanfaatkan dengan bergaul dengan orang dari berbagai negara lain untuk belajar bekerjasama dan bersaing dengan yang beda budaya.
Q: Apa pengalaman yang berkesan untuk GKR Hayu selama kuliah di UK yang bisa diceritakan pada pembaca Indonesia Mengglobal yang ingin kuliah di UK?
Kalau course dan professor, saya terkesan dengan Advanced Networking yang diampu oleh Professor Peter Merchant. Beliau orangnya sangat mengutamakan praktik, dan tugas-tugasnya pun menarik. Untuk kelas ini kami harus menyusun beberapa networked computer di gedung kampus yang berbeda-beda. Project-nya dimulai dari network design, pembuatan panduan, cara testing, juga dokumentasinya. Kami juga sengaja juga diberikan beberapa equipment yang faulty tapi kami harus bisa mencari secara sistemik bagaimana menyelesaikan masalah ini dengan baik dan benar.
Saya juga mengamati bahwa secara umum, mata kuliah di UK lebih spesifik dan terfokus. Jika di US ada core classes dan electives, ketika di UK tidak ada pilihan electives yang beda dari jurusan. Jadi yang patut dipertimbangkan saat memilih negara tujuan sekolah, kembali kepada tujuan kita sendiri. Apa yang kita ingin dapat dari kuliah? Kesempatan mengambil kelas out of topic semacam “Social Fundraising” sebagai bagian dari jurusan IT, atau belajar secara fokus? Masing-masing ada plus minusnya. Kalau tujuannya jalan-jalan di akhir pekan mungkin UK lebih menarik karena bisa mengunjungi negara-negara berbeda dalam waktu singkat.
Q: Apa pelajaran yang bisa GKR Hayu dapatkan dari pengalaman sekolah dan belajar di luar negeri?
Saat kuliah rasanya masih biasa-biasa aja, baru terasa setelah bekerja. Cara saya bekerja dan menyampaikan pendapat ternyata sangat berbeda dengan teman-teman yang tidak pernah sekolah di luar negeri. Dari perbincangan dengan rekan-rekan, mungkin yang saya pelajari di kelas tidak sebanyak teman-teman yang kuliah di Indonesia, tapi kebanyakan dari mereka kurang mendapatkan pembekalan perihal personal and professional development yang merupakan kelas wajib selama saya di UK. Kelas tersebut mencakup hal-hal seperti cara menulis e-mail yang benar, membuat presentasi yang efisien, efektif dan tidak membosankan, serta cara menentukan personal target jangka panjang dan menengah.
Bergaul dengan orang dari berbagai negara juga mengajari saya untuk tidak mudah menghakimi budaya orang lain. Cara kerja orang barat dan timur itu berbeda, bagaimana mereka melihat dan menilai orang lain juga berbeda. Masing-masing punya pro dan kontra tapi bukan tempat kita untuk memaksakan apa yang menurut kita benar.
Q: Bagaimana pengamatan GKR Hayu terkait perkembangan dunia IT di Indonesia? Bisakah GKR Hayu juga berbagi pandangan untuk perempuan Indonesia yang ingin bekerja di bidang teknologi?
Di seluruh dunia, sektor IT masih didominasi laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak IT companies yang mementingkan bro-code (memilih laki-laki) daripada women empowerment. Intinya, menjadi perempuan dalam dunia IT maupun sains memang banyak tantangannya.
Sedari kecil, kita sering dinasehati bahwa IPA dan matematika bukan untuk perempuan. “Cewek pintar bakal susah cari jodoh, anak perempuan cukup duduk diam dan keliatan cantik,” katanya. Jika kita melihat video ini, kita tahu bahwa ini hal yang jamak terjadi.
Sewaktu sekolah, mungkin kita sebagai perempuan akan menjadi minoritas di antara sekian banyak laki-laki dalam kelas. Kita juga mungkin akan diremehkan, bahkan sering menjadi objek sexual harassment yang akan berlanjut sampai tempat kerja. Perjalanan kita sebagai perempuan untuk bekerja di sektor sains dan teknologi memang masih panjang.
Dengan semua tantangan itu, kita harus tetap kuat dan menjadikan diri kita terlihat. Jika kita tidak punya role model, maka jadilah role model. Jadilah inspirasi para perempuan, tak peduli berapapun usianya, sehingga mereka akan mengikuti jejak kita ketika dewasa nanti.
Q: Bagaimana GKR Hayu melihat perkembangan diri GKR Hayu sampai sejauh ini?
Saya cukup beruntung mempunyai keluarga yang sangat mendukung women empowerment, kedua orang tua saya merupakan contoh nyata akan hal itu. Ditambah dengan pengalaman belajar di luar negeri di mana kesetaraan gender sudah lebih dihargai dan dilindungi, saya melihat sendiri segala kemungkinan bahwa perempuan tidak bisa dibatasi dengan alasan tradisi.
Saya ingin meneruskan pesan-pesan orang tua saya, bahwa perempuan itu sejajar dengan pria. Mengurus keluarga dan berkarir adalah tanggung jawab dan hak kedua orang tua dalam keluarga, bukan hanya pihak perempuan.
Yang penting adalah bagaimana kita memilah dengan jeli apa yang baik dan buruk dari budaya yang berbeda, kemudian menerjemahkannya ke dalam budaya kita untuk masa depan yang lebih baik.
Q: Bisakah GKR Hayu berbagi pesan untuk pembaca Indonesia Mengglobal?
Jangan takut untuk menempuh pendidikan sampai ke ujung dunia, jangan terlalu banyak memikirkan what-ifs. Apalagi untuk kita sebagai perempuan, beban kita memang masih lebih berat untuk bisa independen, sehingga ketika ada kesempatan, kejarlah.
Orang yang mengeluh dan mencela sudah banyak, namun yang bisa menjadi bagian dari solusi itu masih jarang. Jadilah orang yang berguna untuk keluargamu, lalu masyarakat sekitarmu, lalu berguna untuk bangsa dan negara.
*******
Interviewed by Artricia Rasyid
Edited by Marlistya Citraningrum
Foto disediakan oleh GKR Hayu dan diambil dari blog gkrhayu.com.
Foto Bournemouth University diambil dari laman resmi BU.
[…] foundation); did a major revamp to our website; joined the Instagram bandwagon; invited the Princess of Yogyakarta, Maudy Ayunda, and Tasya Kamila to contribute; and had more than 300 people coming to @America for […]
[…] to connect with awesome individuals (Tasya Kamila, Maudy Ayunda, Alyssa Soebandono, Surya Sahetapy, GKR Hayu, Alanda Kariza, Rizki Syarif ex-ALEXA, and Dimas Muhamad to name a few) and hear firsthand about […]