Have you ever been lost whilst working, studying, or travelling abroad, and what exactly is it that should you do when you find yourself in that situation? Read Annisa Dyah Lazuardini’s story of surviving in Copenhagen after she had her wallet which contained her student visa stolen and her set of tips on how you can survive or prevent yourself from encountering the same situation in the future.
Pada tenangnya Minggu siang di Kopenhagen, untuk pertama kalinya saya kecopetan.
Sebagai tukang jalan-jalan dan pengguna angkutan umum yang lebih dari dua puluh tahun tinggal di Jakarta dan tiga bulan tinggal di London, belum pernah sekalipun saya menjadi sasaran copet. Barangkali kesan pertama Kopenhagen yang tidak seberapa ramai melunturkan kewaspadaan saya, apalagi saat itu saya tidak sendiri, melainkan berombongan karena sedang field trip kampus.
Keteledoran ini rupanya membawa saya pada masalah yang lebih besar. Bukan sekadar kehilangan uang dan kartu debit, tetapi United Kingdom (UK) Residence Permit saya. Tanpa Residence Permit, saya terancam tidak dapat terbang kembali ke London. Sistem dokumen temporary resident di Inggris memang tidak lagi menggunakan visa, melainkan kartu seperti Electronic-Kartu Tanda Penduduk (E-KTP). Visa hanya berfungsi sebagai entry clearance saat pertama kali tiba di Inggris, dan resident yang kehilangan kartu Residence Permit di luar negeri harus membuat visa baru yang disebut Biometric Residence Permit Replacement Visa, karena petugas imigrasi bandar keberangkatan tidak akan mengizinkan perjalanan masuk ke Inggris tanpa dokumen tersebut.
Kalut, saya berharap menemukan dompet tergeletak di sepanjang jalan yang saya lalui: Nyhavn, Amaliensborg, Design Museum. Ketiganya merupakan lokasi wisata yang semakin mengarahkan saya kepada fakta bahwa saya baru saja kecopetan. Apalagi malam sebelumnya, teman sekelas saya juga baru saja kecurian tas. Namun, menghubungi polisi pada pukul tiga sore di hari Minggu rupanya bukan solusi tercepat. Saya harus menunggu Senin pagi untuk membuat surat kehilangan, karena mereka tutup lebih cepat pada hari Minggu.
Pada titik itu, saya pasrah dan memilih untuk menikmati sisa perjalanan –yang ternyata menjadi awal petualangan saya 10 hari berikutnya.
Senin pagi, saya menghubungi semua pihak yang sepertinya dapat membantu. Polisi, Lost Property, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Kedutaan Inggris, Visa Centre, Student Service kampus, asuransi kampus, course leader, pelajar Indonesia di Kopenhagen, hingga group chat pelajar London. Visa Centre dan Kedutaan Inggris telak-telak menyatakan saya harus membuat BRP Replacement Visa, yang berarti harus menunda kepulangan sekurangnya satu minggu. Sebetulnya saya sudah di penghujung semester, namun ada satu presentasi final pada hari Rabu – satu hari setelah rencana awal kepulangan saya. Dosen saya seperti sudah mengikhlaskan dan menawarkan presentasi via Skype, karena Beliau pun mengetahui bahwa tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menunggu visa.
Senin malam yang dingin, saya mulai merelakan bahwa saya terdampar pada jarak 10.800 kilometer dari tanah air.
Bicara soal tanah air, satu-satunya tempat pulang saya yang tersisa di Kopenhagen adalah orang-orang Indonesia. Saya mendapat kontak koordinator mahasiswa LPDP Kopenhagen, dan beliau menghubungkan saya dengan pihak KBRI Kopenhagen. Dengan sedikit harapan, Selasa pagi saya sudah berdiri di depan pagar KBRI Kopenhagen. Meminta tolong tidak pernah jadi hal mudah bagi saya. Berusaha tegar, saya menjelaskan duduk perkaranya dan menanyakan apakah ada kemungkinan saya bisa dibantu untuk menembus imigrasi di London. Saya dihubungkan ke pihak KBRI London, dan kemudian disarankan untuk mencoba datang ke bandara Kopenhagen. Ditemani staf KBRI, saya diantar ke bandara menemui petugas maskapai. Ternyata, tetap saja penolakan yang saya terima. Sepulangnya ke KBRI, saya segera melakukan aplikasi visa dan mendapat jadwal wawancara di hari berikutnya.
Selama di Kopenhagen, saya diizinkan untuk menginap di salah satu kamar di KBRI. Saya dipersilakan menggunakan dapur, bahkan seringkali diberikan makanan dari Wisma Indonesia ataupun ikut makan prasmanan bila ada acara. Setahu saya, bukan suatu hal yang lazim Kedutaan memberikan tempat tinggal sementara bagi penduduknya, sehingga tidak terbayang seandainya saya bukan orang Indonesia. Betapa frustasinya, dengan uang seadanya menggelandang dari satu tempat ke tempat lain untuk sekedar bernaung dari dinginnya belahan bumi utara di penghujung tahun.
Hal yang saya syukuri dari perjalanan ini adalah, biaya tambahan yang saya keluarkan ditanggung asuransi kampus. Bila dipikirkan kembali, saya seakan mendapat kesempatan liburan. Pada akhirnya, saya benar-benar memanfaatkan sisa waktu untuk berjalan-jalan menikmati Denmark, dan sedikit berkontribusi membuat gambar kerja untuk extension KBRI, berhubung saya memiliki latar belakang arsitektur.
Harus diakui, saya memang pernah bermimpi untuk solo traveling di negara asing, menikmati bentang alam dan arsitektur yang sama sekali baru. Ternyata Tuhan menjawab mimpi itu lewat serangkaian kejadian yang seperti kopi; barangkali pahit, namun harum dan menghangatkan. Pengalaman ini membuat saya belajar bagaimana harus sigap dan berani mengambil keputusan, legowo, dan yang lebih penting, bahwa meminta tolong bukanlah sebuah hal yang memalukan. Ada batas kemampuan individu, serta hak-hak yang bisa kita pergunakan. Saya adalah orang yang sangat tidak menyukai persoalan administratif, tetapi dalam perjalanan ini, tak terhitung jumlah dokumen dan prosedur administratif yang telah saya urus dan lalui sekedar untuk bertahan hidup. Saya mengutuki sekaligus mensyukuri segala peraturan yang akhirnya saya baca dengan seksama pada lembar-lembar aplikasi visa dan asuransi.
Satu hari sebelum pulang, saya ditelepon Kedutaan Inggris bahwa ada yang menemukan dompet saya, namun uang cash dan memory card handphone yang tersimpan di dalamnya sudah tidak ada. Memang lazim di Eropa apabila para pencopet mengembalikan atau membuang barang yang tidak mereka butuhkan. Sebenarnya Residence Permit saya juga ada, namun karena sudah diblokir dan digantikan dengan visa baru, kartu tersebut diambil Kedutaan Inggris dan saya tetap harus membuat kartu baru setibanya di London.
Dua bulan setelah kembali ke London, entah mengapa saya tergerak untuk membuka pesan Facebook dari orang-orang tidak dikenal, yang sebelumnya tidak pernah saya buka. Mata saya tertuju pada pesan dengan keterangan lokasi Denmark. Sedikit tercekat, saya membuka pesan tersebut dan ternyata ia menemukan dompet saya tergeletak di jalan, tanpa uang cash. Tepat satu jam setelah saya kehilangan. Ternyata saya bisa pulang sesuai jadwal pada saat itu. Ternyata saya tidak perlu terdampar. Ternyata….
Sudah jalannya saya belajar lewat pengalaman, dan memahami makna syukur.
—
Catalan kaki: Sedikit tips untuk pelajar yang sering bepergian keluar negeri, pisahkan dokumen penting dengan uang dan kartu transaksi. Negara maju tidak sama dengan aman dari kriminalitas, tetaplah waspada. Sebaiknya menggunakan asuransi saat bepergian, karena kita tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi dalam perjalanan. Terakhir, apabila mendapat musibah, jangan ragu untuk menghubungi KBRI, setidaknya untuk mendapat saran atas langkah-langkah yang harus dilakukan.
Serta, buka semua pesan, barangkali ada yang menghubungimu.
Photos provided by author.