Dengan latar belakang pendidikan S1 akuntansi, ditambah dengan karir yang saya miliki di panggung hiburan Indonesia, saya sering mendapatkan pertanyaan tentang keputusan saya menempuh gelar Master of Public Administration (MPA) di Amerika Serikat. Mengapa seorang artis yang sudah merintis karir sejak kecil mau menempuh pendidikan S2? Lantas, mengapa MPA? Belajar administrasi publik, larinya ke mana, tuh?
Tentunya keputusan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister bukanlah keputusan yang dibuat dalam satu malam. Keinginan untuk menempuh gelar master sudah ada sejak awal perkuliahan S1, yang kemudian dimantapkan ketika masuk semester terakhir perkuliahan. Saya menyadari bahwa terdapat opportunity cost dari keputusan saya ini, seperti tawaran pekerjaan shooting yang mungkin tidak bisa diterima selama dua tahun perkuliahan di Amerika Serikat. Namun, saya sudah memperkirakan bahwa benefit yang diperoleh, apalagi untuk jangka panjang, akan lebih besar. Saya pun selalu ingat dengan wejangan Almarhum ayah saya bahwa “uang bisa saja habis, namun ilmu tidak akan ada habisnya.”
Mengapa MPA?
Sejak tahun 2006, saya dipercaya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI sebagai Duta Lingkungan Hidup. Sebagai Duta Lingkungan Hidup, saya terlibat dalam sosialisasi lingkungan hidup dan bertugas mendampingi Menteri ke berbagai acara. Dari situlah saya banyak berdiskusi dengan para Menteri tentang bagaimana kebijakan yang diterbitkan dapat berpengaruh pada dinamika suatu sektor, bahkan bisa menentukan hajat hidup rakyat Indonesia. Akhirnya, saya terinspirasi dan bercita-cita untuk jadi menteri. Berangkat dari obsesi untuk jadi menteri, saya menjadi tertarik untuk belajar mengenai kebijkan publik.
Sebenarnya tidak ada yang bisa menjamin bahwa belajar administrasi publik akan mencetak seseorang menjadi menteri. Namun, saya tertarik sekali untuk belajar bagaimana kebijakan publik diformulasikan dan diimplementasikan, serta menemukan solusi untuk menjawab tantangan negara. Menurut saya, setidaknya memiliki skill dan menguasai ilmu administrasi publik merupakan sebuah langkah untuk meraih cita-cita. Apalagi program MPA, khususnya yang ditawarkan oleh sekolah saya, School of International and Public Affairs (SIPA) Columbia University, bertujuan untuk melatih para mahasiswanya agar dapat melayani, memimpin, dan berbagi pengetahuan baru mengenai tantangan kebijakan publik yang dihadapi masyarakat global.
Di samping itu, ilmu administrasi publik merupakan ilmu interdisipliner sehingga pengetahuan yang sebelumnya saya dapatkan saat S1 tidak akan sia-sia. Selama menempuh gelar MPA, saya menyadari bahwa ilmu yang dipelajari saat S1 seperti ekonomi, akuntansi, manajemen keuangan, dan statistik malah berguna. Bahkan, dijadikan mata kuliah wajib di SIPA karena ilmu tersebut dibutuhkan dalam proses formulasi dan analisis kebijakan publik. Tetapi, tentu banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapatkan saat berkuliah di SIPA. Bagi saya, MPA adalah gabungan dari ilmu politik, ekonomi, hukum, manajemen, keuangan, dan pengetahuan lain yang spesifik pada industri-industri tertentu. Intinya, ilmu interdisipliner dibutuhkan untuk bisa membentuk dan mengimplementasikan kebijakan yang efektif.
Kehidupan Perkuliahan
Ilmu yang didapat ketika berkuliah di luar negeri tidak sebatas pada bidang studi yang digeluti, namun juga ilmu tentang kehidupan. Bagi saya pribadi, banyak sekali pelajaran yang saya dapat selama berkuliah di Columbia University. Bukan hanya mendapat pelajaran di kelas, namun banyak pula nilai penting yang didapat di luar kelas. Ini merupakan kali pertama saya kuliah di luar negeri dan hidup jauh dari keluarga. Ternyata, tantangannya luar biasa.
Menurut pengalaman saya, sebulan pertama perkuliahan adalah yang paling menantang karena disaat itulah kita keluar dari zona nyaman dan mencoba beradaptasi. Pertama, karena saya sudah bekerja sebelum memulai kuliah S2, saya perlu beradaptasi kembali ke sekolah dan mengatur ritme untuk mengikuti perkuliahan, mempelajari bahan pelajaran, mengerjakan tugas, dan melakukan aktivitas di luar kampus. Untuk dapat berpartisipasi di kelas, saya harus sudah membaca materi bacaan sebelum masuk kelas, membuat poin-poin tentang hal apa saja yang ingin dibahas di kelas, dan memberanikan diri untuk mengutarakan pendapat di kelas. Mengutarakan pendapat adalah suatu hal yang wajib dilakukan di kelas untuk membuktikan keterlibatan kita dalam diskusi dan dalam proses belajar mengajar. Jadi, ketika diberikan kesempatan, mahasiswa di kelas akan berlomba untuk mengutarakan pendapat. Jika dibandingkan dengan perkuliahan S1 saya di Indonesia, saya merasa hal ini adalah salah satu yang menjadi pembeda antara kuliah S1 dan S2, juga kuliah di Indonesia dan di luar negeri.
Kedua, beradaptasi untuk hidup mandiri di New York City. Tanpa fasilitas yang sebelumnya dimiliki di Indonesia, saya menjadi banyak belajar untuk hidup mandiri, termasuk mengurus urusan domestik. Tadinya selalu dibantu untuk urusan rumah, tetapi di New York, saya mengerjakan semuanya sendiri mulai dari memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Ketika kangen dengan masakan rumah, saya sering video call dengan ibu saya di Indonesia dan belajar resep masakan nusantara yang sering dihidangkan di rumah. Selain itu, untuk bepergian, yang sebelumnya tidak pernah naik kendaraan umum, saya menjadi lihai untuk bepergian dengan transportasi umum. Berbeda dengan di Indonesia, di New York saya adalah seorang anonim; tidak ada yang mengenal sosok Tasya. Sehingga, ini menjadi keistimewaan bagi saya untuk bepergian tanpa harus menjaga penampilan dan diperhatikan orang sekitar.
Ketiga, beradaptasi dengan lingkungan dan pertemanan yang baru. Serunya kuliah di luar negeri adalah bisa berteman dengan banyak orang dari berbagai negara, melihat suatu isu dari perspektif yang berbeda, dan mengenal budaya baru. Meski kadang sulit rasanya untuk bisa membagi waktu antara mengerjakan tugas, bersosialisasi, dan beristirahat, saya tetap sisihkan energi untuk memperluas jejaring dengan bergabung dalam klub mahasiswa dan organisasi pemuda internasional. Pertemanan memang penting untuk memperluas jaringan, namun pertemanan juga penting bagi saya untuk merasakan memiliki keluarga yang utuh ketika jauh dari keluarga di tanah air. Hal ini saya rasakan betul ketika saya kehilangan ayah saya dan tidak bisa kembali ke Indonesia untuk menghadiri pemakaman ayah saya sendiri. Teman-temanlah yang dapat menghibur saya dan memberikan dukungan untuk terus menjalani kehidupan perkuliahan.
Pilihan Karir
Kembali lagi ke bidang studi yang saya geluti, yaitu administrasi publik. MPA memang identik dengan karir di arena pemerintahan, namun sebenarnya tidak hanya sebatas itu. Berdasarkan pengalaman saya berkuliah di SIPA, kami tidak hanya diajarkan tentang birokrasi dan pembentukan kebijakan, namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, kombinasi antar beberapa disiplin ilmu. Yang menarik bagi saya adalah kami diajarkan untuk mengambil keputusan berdasarkan kebijakan publik, dilihat dari berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, dari sudut pandang bisnis, jika terdapat kebijakan tentang insentif perpajakan untuk energi terbarukan, kami diajarkan pula bagaimana pengaruhnya terhadap profitability proyek dan pengembangan suatu teknologi. Perspektif mana yang kami gunakan dalam menganalisis suatu kebijakan publik tergantung dari pilihan konsentrasi dan kelas yang diambil selama berkuliah.
Untuk itu, pilihan karir untuk seseorang yang memiliki gelar MPA bisa beragam. Selain karir sebagai birokrat, pilihan karir lainnya adalah di bidang consulting, organisasi nirlaba, organisasi internasional, dan tentunya di sektor swasta. Saat berkuliah kita tidak hanya dibekali ilmu untuk menganalisis kebijakan publik, namun juga diberikan platform untuk berjejaring dengan para industry players agar dapat meniti karir secara profesional.
Lalu, bagaimana dengan saya? Dengan beragam pilihan yang tersedia, jujur, saya belum menentukan. Berbekal ilmu dari Columbia University, saya bisa saja meneruskan mengembangkan yayasan saya yang bergerak di bidang lingkungan hidup, atau menjadi konsultan di bidang energi terbarukan, atau mungkin mencoba terjun ke dunia politik. Saya pun belum siap untuk silam dari panggung hiburan. Jadi, untuk saat ini, yang bisa saya lakukan adalah menimba ilmu, memperluas jaringan, memperbanyak kolaborasi, dan terus mencoba mengamalkan ilmu yang telah dituai di negeri Paman Sam.
Photos are provided by the author.
Luar biasa kak, sangat menginspirasi
Hebat kak.
Inspirasi generasi muda nih❤
#inspired!!
1. Why did you choose LPDP? As a “public figure”, you must be able to afford the cost of study there in NY, so why should a wealth person like you must use scholarship that is obtained from Indonesian tax payers’ money?
2. Is “public figure” a career? And, how can you define yourself as one? It’s in the eye of the beholder.
Hi, Rizki. I’m really interested with your question, and willing to give my perspective about one of the questions.
1. I guess LPDP or scholarship in general should not be restricted for only people in need of certain requirements. Scholarship should be for all, by that means not only for need-based, but also achievement-based. Or, in other cases several rich parents don’t really spoil their children with money for master/doctoral degree abroad or in short, a way showing ‘tough love’ to their children.
Hi Hilmi. I’m partly agree with your comment.
Let’s take a look what dictionary.com says: “achievement: something accomplished, especially by superior ability, special effort, great courage, etc.; a great or heroic deed. Achievement connotes final accomplishment of something noteworthy, after much effort and often in spite of obstacles and discouragements.”
Then, let’s compare the achievements / accomplishments of this 2 LPDP awardees despite of their financial backgrounds (for an apple to apple comparison).
– Andhyta Firselly Utami: https://www.linkedin.com/in/afutami/
– Tasya Kamila:
https://www.linkedin.com/in/tasyakamila/
Now, after seeing their accomplishments and considering the “public figure’s” financial background, what achievements has Tasya obtained that implies her to deserve the scholarship?
I’m not against LPDP I assure you. I support this scholarship 100%. But, I’m against the fact that this scholarship isn’t correctly allocated in which using the Indonesian taxpayers’ money, in this case for those who are able to self-subsidy like Tasya. If she self-finances her study like other Indonesian celebrities, in which I won’t call as public figures, I will never comment at all. That’s my point.
Hi, Rizki. It’s Hilmi, again.
I guess your questions should pretty much be addressed to LPDP’s selection committee, to ask why this scholarship could also be allocated to Indonesian Celebrities.
I mean, from the selection perspective itself doesn’t really require you to have sort-of economy status such as “Surat Keterangan Tidak Mampu”-or what so ever. So, I assume it’s pretty fair that everyone can apply, including celebrities. And, from what I see from LPDP’s applicants article & youtube video, I can make a short-conclusion that the committee really see your competencies rather than your economy status or such.
And to think that LPDP has given a lot of money to its awardees, you also have to remember that after their study finished, they have to go home and ‘give a positive impact’ to society and Indonesia. Or, in other way it’s also an investment, that we as Indonesian Tax Payers will eventually get the ‘RoI’ from this program.
Nonetheless, this opinion only comes from my personal perspective in which only a public university undergraduate student with abundant source of information from Internet + network. So, I really suggest you to ask to more people for informations regarding this matter.
[…] since IM’s inception in 2012. We also have published articles from inspiring figures such as Tasya Kamila, Maudy Ayunda, GKR Hayu (The Princess of Yogyakarta), Alanda Kariza, and the most recent one from […]
[…] you ever yearned to connect with awesome individuals (Tasya Kamila, Maudy Ayunda, Alyssa Soebandono, Surya Sahetapy, GKR Hayu, Alanda Kariza, Rizki Syarif ex-ALEXA, […]