How Does the United Kingdom Fare Against Japan?

1
3117

Contrary to those who choose to pursue Postgraduate studies in the same country where they pursued their Undergraduate studies, Marcella Dita Armilla went outside of her comfort zone in Japan to venture into the United Kingdom for her Master’s. The two experiences could not have been more different, yet provided her unique learning lessons and insights into the factors people may want to consider before choosing their dream ‘higher education’ destinations. How does the United Kingdom fare against Japan? Which would she recommend more out of the two? Read on for full disclosure of her heterogeneous study abroad experience in both Japan and the United Kingdom. 

Pengalaman 1: S1 di Jepang

Sedari lama, saya ingin melanjutkan studi S1 saya di luar negeri, utamanya Jepang. Banyak orang mengira bahwa Anda harus sudah mahir Bahasa Jepang terlebih dahulu untuk dapat mendaftar disana, namun pada kenyataannya ada beberapa universitas yang sudah menawarkan kuliah dalam Bahasa Inggris. Saat kelas 3 SMA, saya menemukan universitas di Jepang bernama Ritsumeikan Asia Pacific University yang menawarkan jurusan yang saya minati, yaitu bisnis, dalam Bahasa Inggris dan memberikan potongan biaya kuliah (30-100%) berdasarkan prestasi dan nilai selama SMA. Tidak hanya diterima, ternyata saya pun berhasil mendapatkan beasiswa dari Universitas tersebut. Walaupun kemampuan bahasa Jepang saya saat itu masih 0, atau bisa dikatakan ’belum bisa sama sekali’, saya memutuskan untuk kuliah disana.

Sesampainya di Jepang, saya benar-benar bingung karena tidak bisa membaca ataupun berkomunikasi sama sekali dengan orang lokal! Untungnya, saat itu, kampus saya memiliki kantor perwakilan di Jakarta, sehingga saya sudah menemukan beberapa teman Indonesia sebelum berangkat kesana, dan kedatangan kami di Jepang pun disambut oleh perwakilan mahasiswa Indonesia sehingga ada proses adaptasi yang lebih baik. Selama tahun pertama, mahasiswa baru diwajibkan mengikuti kelas intensif bahasa Jepang dari pagi hingga sore setiap hari – suatu hal yang sangat membantu perkembangan Bahasa Jepang kami. Selain itu, kami pun semakin beradaptasi dengan baik dengan budaya dan Bahasa Jepang melalui sejumlah kegiatan volunteer yang ditawarkan oleh student office di kampus, seperti: Mengajarkan Bahasa Inggris kepada siswa SD di Jepang, mengunjungi panti jompo, memperkenalkan budaya Indonesia ke siswa SMA di Jepang, sekaligus homestay.

Terkait tempat tinggal, untuk tahun pertama, pihak universitas mewajibkan mahasiswa baru untuk tinggal di asrama dekat kampus. Asrama tersebut memiliki 2 tipe kamar. Ada yang harus berbagi fasilitas dengan mahasiswa lain, ada yang bisa menikmati kamar dan segala fasilitas di dalamnya itu secara pribadi. Pilihan saya jatuh kepada private room dan kamarnya terbilang cukup kecil, sama seperti kamar-kamar asrama yang biasa didapati di serial drama Jepang.

Foto Kamar Asrama di Jepang
Kamar Asrama Saya di Jepang

Setelah setahun menempati asrama, kami diwajibkan untuk pindah keluar asrama dan mencari tempat tinggal sendiri. Saya dan kedua teman saya lainnya memutuskan untuk tinggal bersama. Memang tidak mudah mendapatkan apartemen di Jepang yang mau menerima orang asing, sampai saya dan teman-teman saya harus mengunjungi empat apartemen dari tiga real estate. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk tinggal di apartemen yang dekat dengan stasiun meskipun cukup jauh dari kampus, yakni sekitar 40 menit dengan bus. Pada akhirnya, kami memilih tempat tersebut karena merupakan unit apartment yang baru direnovasi, pemilik gedung apartemennya yang ramah dengan orang asing, dan lokasi yang cukup strategis karena hanya berjarak 5 menit dari stasiun, halte, pasar, dan supermarket.

Sejak tahun kedua, kelas Bahasa Jepang sudah tidak terlalu intensif seperti tahun pertama. Banyak mata kuliah utama yang sudah bisa saya ambil, dimana saya disibukkan dengan kerja kelompok ataupun kegiatan multicultural week. Pada multicultural week, setiap negara di kampus saya memiliki kesempatan untuk memperkenalkan budayanya selama seminggu. Saya turut serta dalam acara Indonesian Week setiap tahunnya. Selain itu, sesekali saya mengambil kerja paruh waktu saat liburan musim panas untuk mengajarkan Bahasa Inggris kepada kedua siswa SD Jepang.

33 Marditar
Bersama Murid-murid Kelas Bahasa Inggris di Jepang

Pengalaman 2: S2 di Inggris 

Waktu berlalu begitu cepat, hingga pada tahun 2015, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan program Pascasarjana di Inggris, utamanya karena saya ingin menimba ilmu di negara yang bisa dikatakan berbeda 180 derajat dengan Jepang. Pada akhirnya, saya mengambil jurusan Innovation and Entrepreneurship di University of Warwick, meskipun Universitas ini masih cukup asing bagi saya kala itu.

Sesampainya di Inggris, saya cukup terkejut. Situasi dan kondisi di Inggris sangat berbeda dengan di Jepang! Kampus saya terletak di kota yang bernama Coventry, atau sekitar 50 menit dengan kereta dari London. Kota nya cukup kecil, tidak terlalu bersih, terminal bus nya tua dan gelap.

Berbeda dari proses orientasi sebelumnya di Jepang, proses orientasi di Inggris terasa menuntut saya untuk lebih mandiri. Ini semakin berat untuk saya, terutama karena saya belum memiliki kenalan ataupun teman yang juga mengenyam pendidikan di Warwick University. Dari segi tempat tinggal, kamar asrama di Inggris terbilang lebih besar dibandingkan asrama saya saat di Jepang.

Foto Kamar Asrama Saya di Inggris
Kamar Asrama Saya di Inggris

Namun, banyak hal yang membingungkan disini. Begitu banyak informasi yang tidak disampaikan kepada mahasiswa baru, misalnya tempat pembuangan sampah ataupun tempat mencuci baju. Harus saya akui, beberapa minggu pertama adaptasi saya di Inggris terasa cukup melelahkan.

Sistem edukasi di jurusan saya pun cukup berbeda dengan sistem pendidikan di Jepang. Misalnya saja, banyak kelas saya di Jepang yang menampung banyak mahasiswa hingga 120 mahasiswa. Selain itu, di Jepang, sistem penilaiannya banyak diambil dari ujian atau kerja kelompok. Sementara itu, di jurusan saya di Inggris, kebanyakan kelas hanya diikuti oleh 20-25 orang mahasiswa saja dan tugas essay yang harus dikumpulkan selambat- lambatnya 1 bulan setelah kelas berakhir adalah yang saya temukan sebagai pengganti sistem Ujian Tulis. Biasanya, tugas essay adalah rangkaian 3000 hingga 4000 kata yang menjawab pertanyaan yang Dosen berikan. Selain nilai essay, beberapa mata kuliah saya di Warwick mengambil nilai dari performa selama di kelas dan juga presentasi kelompok.

Pada mulanya, saya mengira essay lebih mudah dibandingkan dengan Ujian Tulis saat S1. Tadinya saya berpikir bahwa saya lebih bisa mengatur waktu untuk mengerjakan Essay sehingga tidak terburu-buru. Pada kenyataannya, saya justru menemukan bahwa essay lebih sulit daripada sistem ujian. Apalagi, tugas akhir, tugas essay kelas dan tugas dosen pembimbing Disertasi terkadang memiliki tenggat waktu yang bersamaan sehingga menuntut saya untuk sangat bijak dalam merencanakan plan kerja saya. Hal ini mungkin juga ada hubungannya dengan sistem kuliah Pascasarjana di UK yang umumnya hanya 1 tahun sehingga semua memang dipadatkan dan menjadi sangat intens.

Japan vs. the UK: Lebih Baik yang Mana?

Banyak orang yang bertanya: apakah saya lebih memilih kuliah di Jepang atau Inggris?

Menurut saya, setiap negara memiliki positif dan negatifnya. Perpaduan melanjutkan pendidikan di Jepang dan Inggris banyak memberi pengaruh dan perkembangan dalam kehidupan saya sehari-hari. Namun, dari apa yang sudah saya lalui, saya sarankan bagi teman-teman yang akan melanjutkan pendidikan nya keluar negeri untuk memilih kampus berdasarkan beberapa indikator, seperti:

  1. Biaya kuliah dan peluang beasiswa
  2. Jurusan yang diminati dan peringkat universitas tersebut
  3. Fasilitas yang ditawarkan oleh kampus
  4. Kehidupan sosial di negara tersebut

Selamat mencari kampus yang sesuai ya!

 

All photos are courtesy of the author. 

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here