Menyibak Ekspresi Budaya Masyarakat Jepang melalui Seni

0
3512

Semua tugas makalah telah dikumpulkan tepat waktu. Beberapa ujian tertulis juga sukses diikuti.  Selepas itu, apa yang bisa kita lakukan?  Jawabannya adalah liburan. Aktivitas ini sungguh bermanfaat untuk merilekskan badan serta pikiran setelah berkutat dengan perkuliahan yang sangat intens. Namun, sebenarnya, liburan juga merupakan sarana pembelajaran yang efektif dalam bingkai rasa senang. Ketika berada di Jepang dulu, saya menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam apa yang saya pelajari di dalam kelas, khususnya tentang budaya masyarakat Negeri Sakura.

Di antara banyak tempat menarik di Jepang, Kyoto menjadi destinasi utama untuk mengisi libur semester saya. Di kota itu, berbagai peninggalan masa silam masih terpelihara dengan baik. Kuil, istana, jembatan, rumah-rumah tradisional menyuguhkan inspirasi tiada henti. Saya selalu terkesima dengan teknik pembuatan, arsitektur, fungsionalitas, hingga klenik masyarakat Jepang yang melekat pada setiap bangunan kuno.  Mengamatinya, saya pun diajak untuk memahami ide-ide besar masyarakat Jepang yang tersembunyi dalam keanggunan arsitektural. Salah satunya adalah Kiyomizudera yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia versi UNESCO.

Geisha dan Maiko
Geisha dan Maiko

Tidak ada yang lebih mengasyikkan untuk mencapai Kiyomizudera selain dari Distrik Higashiyama. Berjalan kaki menelusuri distrik ini seolah diajak kembali ke masa lalu Jepang. Kedai-kedai kuno yang selama berabad-abad setia melayani setiap kebutuhan para peziarah masih berderet rapi di sepanjang jalan. Di sudut lain, tampak beberapa ryokan atau penginapan khas Jepang yang tetap kokoh berdiri. Di sela-selanya, terselip gang-gang sempit yang membawa pengunjung entah ke mana. Membentang sepanjang 2 km,  Distrik Higashiyama memajang ragam kekhasan Kyoto. Porselin Kiyomizu-yaki, tas tangan cantik, kipas warna-warni, serta kudapan tradisional penggugah selera dijual oleh hampir semua toko.

Berbagai kerajinan tangan cantik tersebut tak terlepas dari dedikasi para shokunin. Shokunin merupakan sebutan dalam bahasa Jepang yang berarti Pengrajin. Di dalam strata sosial masyarakat Jepang, profesi ini tak pernah dipandang sebelah mata. Mereka turut berperan dalam menjaga nilai-nilai berharga. Estetika yang mewarnai setiap karya seni yang dihasilkan membuat kehidupan lebih berjiwa. Sementara itu, prinsip presisi yang melandasi kegiatan berkesenian mengingatkan masyarakat Jepang untuk menaruh perhatian terhadap hal-hal detail. Maka tak heran, para shokunin dituntut tak hanya menguasai kemampuan teknis, tetapi juga perlu memiliki kesadaran sosial. Pekerjaan yang mereka tekuni merupakan bentuk dedikasi sosial untuk kemaslahatan masyarakat.

Kembali ke penelusuran Distrik Higashiyama. Di sana, beberapa rumah teh  juga dapat disinggahi ketika kaki menuntut untuk berhenti. Jalanan ini memang surga bagi penggila belanja. Tinggal pilih saja apa yang dimaui. Asalkan ada uang, semua bisa dibawa pulang. Tetapi, bagi mereka yang ingin menutup dompet rapat-rapat seperti saya, sekadar mengedarkan mata saja sudah sangat menyenangkan. Terlebih lagi bila tak sengaja bertemu dengan Geisha dan Maiko atau Geisha muda yang masih magang,  sedang berjalan-jalan. Jadi semacam kejutan tersendiri. 

Bangunan utama Kiyomizudera
Bangunan utama Kiyomizudera

Seperti pejalan lainnya, Kiyomizudera menjadi ujung dari perjalanan saya. Terletak di kaki Pegunungan Otowa, kuil ini merupakan sebuah kompleks luas yang dibangun pada tahun 778 M, sebelum Kyoto menjadi ibu kota Jepang kuno. Bagian-bagian dari bangunan kuil betebaran di banyak tempat mengikuti setiap lekuk dari kontur bukit. Oleh karena itu, saya mesti meniti ratusan anak tangga agar dapat menyambangi satu per satu bangunan. Tidak boleh lelah berpindah menjadi kuncinya.

 Di bagian depan area kuil, Gerbang Deva, Gerbang Barat, Menara lonceng, dan Pagoda Tiga Tingkat berdiri dengan megah. Semuanya dibangun dengan mengikuti pakem bangunan kuil di Jepang. Okuno-in dan ruang  Amitabha tersembunyi di balik rimbun mekar bunga sakura pada bagian belakang kuil. Bagian terbesar dari Kiyomizudera adalah Hondo atau ruang utama. Ruang ini merupakan singgasana bagi Kannon Bodhisatwa, dewa berkepala 11 dengan ribuan lengan. Menurut kepercayaan masyarakat Jepang, ia memiliki kuasa untuk mengabulkan setiap doa. Tak heran tempat ini selalu penuh sesak dengan para peziarah. Lantaran kondisi ini, saya tak dapat melihat rupa Kannon Bodhisatwa. Suasana Hondo hanya bisa saya tangkap melalui aroma dupa yang dibakar oleh para peziarah. Begitu pekatnya hingga menusuk indra penciuman. 

Beranda Kiyomizudera merupakan bagian tak terpisahkan dari ruang utama. Pada masa pembangunannya, kayu zelkova setinggi 13 meter dipasang di lereng bukit tanpa memakai paku satu pun, dan di atasnya disusun lebih dari 410 papan kayu cemara yang berfungsi sebagai lantai. Metode kuno ini dinamakan kake-zukuri. Meski telah diinjak jutaan kali, beranda ini tetap kuat menampung ribuan pengunjung dalam sekali waktu kunjungan. Dari beranda ini, cantiknya panorama Kota Kyoto dapat dinikmati sepuasnya. Apalagi, saat itu Sakura sedang bermekaran. Semarak warna merah jambu meronai biru angkasa. Indah tanpa cela.

Beranda Kiyomizudera
Beranda Kiyomizudera

Saya tergoda untuk menyambangi Kuil Jishu yang terletak di belakang Hondo. Di depan kuil ini, terdapat dua batu yang dinamakan ”Batu Buta” dan ”Batu Peramal Cinta”. Konon, bila dapat berjalan lurus dalam keadaan mata tertutup sampai di depan ”Batu Buta” dengan tepat, setiap keinginan akan terwujud. Termasuk dalam urusan perjodohan. Lain halnya dengan ”Batu Peramal Cinta”. Justru batu ini dipercaya mampu mengetes kekuatan cinta seseorang. Bila ternyata arah kaki tidak tepat menuju letak batu ini, ia dianggap masih mempunyai hati yang bercabang.

Daya tarik lain dari Kiyomizudera adalah mata air Otowa. Mata air ini dialirkan dari sebuah bukit melalui tiga buah pancuran yang jatuh pada sebuah kolam. Gayung tradisional tersedia bagi pengunjung untuk mengambil air langsung dari pancuran. Konon, setiap keinginan akan terkabul bagi siapa saja yang meneguk kesegarannya. Percaya atau tidak? Ribuan pengunjung tak mau melewatkan kesempatan ini, membentuk rantai manusia yang amat panjang. Alih-alih ikut antrean, saya justru memilih mengabadikan suasana itu dengan sebuah kamera saku.

Pancuran mata air Otowa
Pancuran mata air Otowa

Dalam kepercayaan Shinto, seperti halnya pada agama-agama lainnya, air merupakan media penyucian diri. Sebelum memasuki kuil; apakah untuk beribadah atau pun sekedar berkunjung, pengunjung disarankan untuk membasuh tangan dan berkumur seperlunya. Lebih jauh lagi, air dianggap sebagai elemen esensial dalam kehidupan masyarakat Jepang. Anggapan ini tumbuh di awal perkembangan masyarakat Jepang yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang kehidupan. Tanpa air, berbagai tanaman pangan tak akan tumbuh dengan subur. Dalam sebuah mitologi Jepang, disebutkan pula bahwa dewa pertama meraka lahir dari dalam air. Hubungan spesial dengan air tersebut membuat masyarakat Jepang begitu semangat menjaga sumber daya air. Saya jadi teringat pernah dibuat melongo dengan foto selokan-selokan di Jepang yang direnangi banyak ikan koi karena jernih dan bersihnya air di dalamnya. 

Saya merasa beruntung sekali pernah belajar di Jepang. Banyak hal-hal positif saya dapatkan, baik di dalam maupun di luar kelas. Tak terkecuali tatkala saya melakukan liburan ke suatu tempat. Barangkali belum banyak yang saya adopsi saat ini, tetapi jelas ada perubahan sikap yang saya alami. Terutama rasa apresiasi terhadap perbedaan. Perbedaan merupakan anugerah yang patut disyukuri. Bahkan saya sempat berpikir bila perbedaan terletak pada “kemasannya” saja. Esensi yang terkandung di dalamnya sama. Seperti kearifan lokal dalam menghargai alam baik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Jepang maupun di negeri sendiri. Jepang menyegarkan kembali memori saya bahwa orang Indonesia juga punya prinsip hidup yang tak kalah mulia. Contohnya, kegiatan Merti Kali di Yogyakarta yang bertujuan menumbuhkan rasa kebersamaan, kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam memelihara serta menjaga kelestarian sungai. Atau Tallase Kamase-mase, prinsip hidup Suku Kajang di Sulawesi Selatan yang mengajarkan laku hidup sederhana tanpa banyak mengeksploitasi alam. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak mengejawantahkan ajaran nenek moyang semacam itu dalam kehidupan sehari-hari. Inilah manfaat sesungguhnya dari studi di luar negeri: tak semata-mata peningkatan intelektual namun juga mengubah cara pandang, sikap dan perilaku kita terhadap negara kita sendiri.  Memang ada ribuan alasan untuk kecewa dengan kondisi bangsa kita saat ini. Namun jangan lupa, kita pun punya jutaan alasan untuk tetap optimis akan masa depan Indonesia yang lebih gemilang.

Foto disediakan oleh Penulis

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here