Bagi kebanyakan pelajar Indonesia, Swedia memang tidak sepopuler Inggris, Amerika, atau Jepang sebagai negara tujuan studi. Tapi, bukan berarti pendidikan di Swedia kualitasnya di bawah negara-negara tersebut, lho! Kontributor kami, Nurina, bercerita mengapa Swedia dan kampusnya, Chalmers University of Technology, merupakan pilihan tepat bagi kalian yang ingin pendidikan terbaik namun tetap ingin menjaga keseimbangan antara hidup, kerja, dan belajar.
Halo! Nama saya Nurina Heratri. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S2 jurusan International Project Management di Chalmers University of Technology, Swedia. Bagi kebanyakan pelajar Indonesia, Swedia memang tidak sepopuler Inggris ataupun Jepang sebagai tujuan studi, bahkan masih banyak yang tertukar Swedia dengan Swiss, seperti halnya teman-teman saya yang mengira saya kuliah di Swiss. Tapi untungnya sekarang masyarakat Indonesia kini sudah familiar dengan Swedia berkat IKEA, Volvo, dan Scania, hehe, siapa yang tidak tahu produk rumah tangga yang sangat terkenal dengan desain indah nan sederhana dan harga terjangkau, apalagiswedish meatballs-nya? Dan juga bus gagah yang sekarang dipakai sebagai moda transportasi TransJakarta?
Kualitas hidup dan gaya hidup ramah lingkungan
Saya ingin bercerita alasan saya kuliah di tempat tujuan yang tidak mainstream inibagi orang-orang Indonesia. Pertimbangan utama saya memilih kuliah di Swedia ada 2 hal: budayanya dan tentu saja kampusnya, Chalmers! Ada banyak budaya Swedia yang menarik, salah satu yang paling saya sukai adalah ‘work-life balance’. Sebagai tiga besar negara paling inovatif di dunia, menurut saya Swedia sangat mengagumkan untuk tetap produktif tanpa harus bekerja siang dan malam, intinya produktif tapi tidak ter-forsir. Bisa dibilang, masyarakat Swedia itu efektif dan efisien, dan menurut saya budaya ini sangat berhubungan dengan jurusan yang ingin saya ambil saat itu: manajemen proyek, di mana efisiensi sangat diperlukan baik dari segi waktu dan biaya. Ngga cuma itu lho, di Swedia juga ada jatah cuti mengurus anak bagi ibu dan ayah (papa-ledig) — dan bukan hanya ‘diperbolehkan’, melainkan ‘diwajibkan’ untuk kedua orang tua mengambil cuti mengurus anaknya (dan tetap digaji!). Jadi, tugas mengurus anak bukan hanya tanggung jawab ibu saja. Buat saya, ini menunjukkan bagaimana pemerintah Swedia sangat menghargai kualitas hidup penduduknya. Terlebih lagi, sebagai individu saya juga ingin ‘bekerja untuk hidup’ bukan sebaliknya, dan akhirnya prinsip ini membawa saya ke Swedia untuk melihat bagaimana ia dipraktikkan.
Selain work-life balance, Swedia juga dikenal sebagai salah satu negara paling sustainable dan ramah lingkungan. Meskipun sustainability bukan jurusan yang saya ambil, namun saya merasa tertarik untuk melihat langsung bagaimana Swedia menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Bahkan universitas saya saat ini, Chalmers, bercita-cita untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan (sustainable future). Hal ini menunjukkan bahwa sustainability sudah menjadi bagian dari seluruh elemen masyarakat di Swedia.
Chalmers University of Technology
Sebenarnya masih ada banyak lagi budaya Swedia yang menarik, tapi kali ini saya mengganti topik ke alasan kedua saya: kampusnya!
Ya, pertama-tama tentunya karena jurusan yang saya cari ada di Chalmers. Kemudian, bahasa pengantar kuliah yang disediakan: semua pendidikan S2 di Chalmers diselenggarakan dalam bahasa Inggris sehingga sangat membantu bagi pelajar internasional. Nggaperlu takut jika belum bisa bahasa Swedia, karena semua orang bisa bahasa Inggris, dan semua kegiatan di kampus pun menggunakan bahasa Inggris! Reputasi kampus juga sangat penting. Selain ranking universitas yang baik di level internasional, Chalmers merupakan universitas dengan reputasi tertinggi di Swedia selama 6 tahun berturut-turut.
Selain itu, saya juga mencari universitas yang memiliki hubungan yang erat dengan industri, karena selama ini saya merasa dunia akademik memiliki jarak yang sangat besar dengan industri sehingga banyak lulusan universitas yang tidak bisa mengikuti cara kerja di dunia nyata.
Chalmers memiliki hubungan yang erat dengan industri dengan adanya berbagai kolaborasi riset dan perkuliahan dari universitas dengan industri. Ada banyak industri yang ingin bekerja sama bahkan merekrut lulusan dari Chalmers untuk bekerja full-timedan mahasiswa tahun kedua untuk melakukan master’s thesisyang menyerupai magang. Misalnya saja perusahaan Volvo yang berpusat di Gothenburg, kota di mana saya dan kampus saya berada. Perusahaan lainnya seperti IKEA, juga pernah datang ke Chalmers untuk mengadakan workshop dan wawancara untuk merekrut pegawai baru. Saat itu saya menghadiri acara tersebut, bahkan berkesempatan berkenalan, mengikuti workshop dan diwawancari oleh pegawai IKEA. Kolaborasi dengan industri dan lembaga pemerintah juga dilaksanakan dan merupakan upaya Chalmers mewujudkan sustainable future yang menyeluruh.
Sekarang saya telah belajar di Swedia selama 1 tahun, tentu ada banyak hal baru yang saya dapatkan dan hampir semuanya membuat saya benar-benar betah.
Equality and the celebration of life!
Saya suka bagaimana Chalmers memperlakukan mahasiswanya, tidak ada jarak antara dosen, staff, dan pelajar (flat-hierarchy). Semua orang adalah setara dan hal ini salah satunya diterapkan dengan memanggil semua orang dengan nama depan saja. Ada beberapa mata kuliah saya yang harus membawa pengajar dari Inggris, meskipun biasanya mereka dipanggil dengan gelar seperti Professor, atau setidaknya Mr., di Swedia mereka harus terbiasa dipanggil dengan nama depan saja. Chalmers juga menerapkan equality yang dapat dilihat dari bagaimana kampus memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap penghuni kampus. Tidak ada diskriminasi dan bahkan sudah ada lembaga yang siap menindak dengan tegas jikalau terjadi diskriminasi. Misalnya, meskipun muslim adalah kelompok minoritas di Swedia, tetapi Chalmers menyediakan ruang beribadah (praying room) beserta perlengkapan sholat. Ruang ini tentunya bisa digunakan sebagai ruang meditasi bagi siapa saja, tidak harus dari kelompok agama tertentu. Setiap Jumat, ruang olahraga di Chalmers pun disulap menjadi tempat sholat jumat berjamaah. Toleransi sangat terasa bahkan di dalam kampus.
Meskipun kadang jadwal kuliah bisa terasa begitu padat, tapi selalu ada waktu untuk bersenang-senang di Chalmers. Saya terkejut pertama kali ke Chalmers karena banyaknya pesta dan gatheringyang diselenggarakan mahasiswanya di area kampus, bahkan Chalmers punya gerbong kereta yang biasa digunakan untuk pesta kecil-kecilan. Kepala jurusan saya pun menganjurkan murid-muridnya untuk bersenang-senang bersama! Akhirnya saya dan teman-teman sekelas pergi menginap bersama di cottage milik Chalmers yang terletak di dekat danau di mana kami bisa menikmati sauna dan membuat barbequebersama-sama.
Bisa keliling dunia karena Chalmers
Selain itu, yang saya sukai dari Chalmers adalah kesempatan untuk ‘go international’. Eits, bukan hanya artis yang bisa go international, tapi juga pelajar Indonesia tentu saja. Salah satu hal yang saya syukuri dari kampus saya adalah kesempatan untuk ‘keliling dunia’. Bagi saya, Chalmers telah membuka pintu baru ke negara-negara lainnya. Misalnya saja melalui program Summer School dan Erasmus+ Exchange. Chalmers merupakan bagian dari universitas teknologi unggulan di Eropa yang disebut IDEA League, bersama dengan RWTH Aachen, ETH Zurich, TU Delft, dan Politecnico di Milano. IDEA League juga memiliki kerja sama dengan universitas teknologi terkemuka di Asia yang disebut ASPIRE League, salah satu kerja sama mereka adalah summer school. Karena itulah, beberapa bulan lalu saya pergi mewakili Chalmers dalam summer school di NTU Singapore. Peserta bahkan tidak perlu membayar apapun untuk acara ini. Tidak hanya itu, pada tahun kedua ini saya juga bersama beberapa mahasiswa lainnya mewakili Chalmers sebagai murid pertukaran pelajar di Politecnico di Milanodi Italia selama 6 bulan. Yang menarik dari program ini adalah meskipun saya adalah pelajar internasional, tapi European Union menganggap saya seperti pelajar asli Eropa lainnya dan memberikan tunjangan hidup selama pertukaran berlangsung.
Saya kuliah dengan beasiswa parsial, yaitu mendapat beasiswa dari kampus untuk uang sekolah dan sisanya ditanggung dengan biaya sendiri. Awalnya saya berpikir akan mustahil kalau saya kuliah ke luar negeri dengan biaya sendiri, karena pasti membutuhkan biaya yang sangat besar. Tapi setelah membuat perencanaan biaya secara detail untuk kehidupan kuliah saya, saya meyakinkan diri saya untuk kuliah karena ternyata tidak jauh berbeda dengan biaya kuliah S2 di Indonesia. Dan kenyatannya, harga ini setimpal dengan semua pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan di Chalmers, justru melebihi ekspektasi yang saya bayangkan. Banyak teman kuliah saya dari berbagai negara yang mengakui kualitas Chalmers. Ditambah lagi, ada banyak peluang beasiswa yang ditawarkan dari Chalmers, misalnya saja beasiswa Adlerbert yang dianugerahkan setiap tahun bagi seluruh pelajar internasional di Chalmers. Tidak ada seleksi khusus, kita hanya perlu mengisi form online dan akan menerima uang sekitar 5000SEK (sekitar Rp 8 juta). Ada juga berbagai alternatif beasiswa lainnya yang diperuntukkan untuk pelajar internasional. Jadi, meskipun secara teknis pelajar internasional diharuskan membayar uang kuliah, Chalmers berupaya untuk mendukung pelajarnya dengan berbagai bantuan biaya. Selain itu, pekerjaan paruh waktu juga menjadi pilihan bagi saya. Umumnya pekerjaan di Swedia menggunakan bahasa Swedia, namun di Chalmers ada beberapa pilihan kerja paruh waktu dalam bahasa inggris, misalnya sebagai tutor untuk guru SMA, konsultan, ataupun sebagai duta kampus (Student Ambassador), seperti saya saat ini.
Jadi, percaya kan, kalau Swedia dan Chalmers bisa jadi tempat yang sempurna untuk studimu?