Kehidupan setelah Kuliah Master: Berkarir di Jepang

0
5085

Walau banyak mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di Jepang, mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang melanjutkan masa tinggalnya di Jepang untuk berkarir seperti yang dilakukan oleh Nadhifa Ayunisa. Berikut adalah cerita Nadhifa berkarir di Sysmex Corporation, perusahaan pengembangan dan manufaktur alat medis di Kobe, Jepang.

Perjalanan saya di Jepang dimulai ketika saya berkesempatan untuk menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di Osaka University dengan beasiswa MEXT dari pemerintah Jepang. Pada banyak kasus, penerima beasiswa ini berangkat ke Jepang dengan status sebagai mahasiswa riset (belum tercatat sebagai mahasiswa reguler) selama 6 bulan hingga 1 tahun kemudian melanjutkan sebagai mahasiswa pascasarjana setelah melakukan proses pendaftaran dan/atau ujian di Jepang. Untuk kasus saya, saya melakukan proses pendaftaran dan seleksi ke program pascasarjana Osaka University bersamaan dengan seleksi beasiswa ketika masih berada di Indonesia, sehingga ketika berangkat ke Jepang pada April 2015 pendidikan master saya langsung dimulai.

Pada tahun 2016 – satu tahun sebelum menyelesaikan pendidikan master saya – saya mempersiapkan diri untuk mencari lowongan kerja di Jepang. Proses pencarian dan aplikasi kerja di Jepang memiliki sistem terstruktur yang mungkin sedikit unik dan berbeda dari negara lain. Di sini pada umumnya perusahaan membuka lowongan untuk mahasiswa fresh graduate secara bersamaan di satu periode tertentu tiap tahunnya, dan mahasiswa melakukan pencarian kerja di tahun terakhir pendidikan mereka sambil mengerjakan riset untuk skripsi atau tesis. Jadi mahasiswa akan menempuh proses seleksi di sejumlah perusahaan yang mereka pilih dalam periode yang bersamaan, bersaing dengan seluruh mahasiswa tingkat akhir lain yang juga memilih perusahaan-perusahaan tersebut. Kira-kira serupa dengan proses melanjutkan pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi di Indonesia. Dengan sistem seperti ini, setelah resmi lulus, mahasiswa akan masuk ke perusahaan dalam bentuk angkatan.

Saat wisuda master dari Osaka University
Saat wisuda master dari Osaka University

Proses pendaftaran kerja
Garis besar proses pencarian kerja yang saya alami terdiri dari (1) pre-entry pada Maret 2016, (2) web entry atau pendaftaran resmi ke situs aplikasi kerja perusahaan yang diminati, (3) setsumeikai atau seminar seputar aplikasi kerja di perusahaan tersebut, (4) pengumpulan entry sheet atau dokumen yang selain berisi resume juga mencakup esai tentang analisis diri, (5) ujian, diskusi grup dan beberapa tingkat wawancara. Ujian di sini bentuk dan isinya ada beberapa jenis, contohnya SPI atau tes kepribadian dan bakat lainnya, tes akademik dasar, serta Bahasa Inggris.

Saya tidak menghitung secara detil jumlah perusahaan yang seleksinya saya ikuti selama proses aplikasi kerja di Jepang ini, tapi sebagai gambaran kira-kira saya melakukan pre-entry ke 30-40 perusahaan, dan yang akhirnya saya ikuti ke tahap pengumpulan entry sheetdan ujian mungkin sekitar belasan perusahaan. Saya sendiri mendapatkan surat tawaran dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang sekitar bulan Juni 2016. Sebagian orang mendapatkan perusahaan sejak musim semi (April/Mei), sebagian lainnya masih melakukan pencarian kerja hingga akhir musim panas (Agustus/September).

Di bulan Oktober, perusahaan mengadakan naiteishiki atau upacara penyambutan dan orientasi kepada para penerima tawaran kerja yang akan masuk pada musim semi tahun berikutnya. Setelah menyelesaikan studi pascasarjana di akhir Maret 2017, saya masuk secara resmi di perusahaan pada nyuushashiki atau upacara penerimaan karyawan baru pada April 2017. Oh ya, tahun fiskal di Jepang memang dimulai dari April hingga Maret tahun berikutnya, jadi baik periode masuk sekolah, perguruan tinggi maupun perusahaan, semua dimulai serentak pada April tiap tahunnya.

Masa perkenalan sebagai karyawan di Jepang
Karena saya mengalami masa sebagai mahasiswa dan sebagai karyawan di Jepang, ada perbedaan signifikan namun mendasar ketika status saya berubah: perbedaan pola pikir. Ketika awal masuk perusahaan, saya dan juga seluruh karyawan baru menjalani proses training yang selain berisi orientasi mengenai perusahaan, juga berisi pendidikan hal-hal dasar yang penting diketahui dan diimplementasikan dalam dunia profesional, contohnya etika berbisnis, siklus PDCA (plan, do, check,act), komunikasi, kerjasama, bagaimana menentukan skala prioritas, hingga sesi keragaman budaya.

Salah satu yang ditekankan dari training tersebut adalah pelajar masih merupakan “penerima layanan” dengan peran utama untuk belajar, sedangkan orang yang bekerja tidak cukup sampai hanya belajar dan memahami suatu hal atau menerima input, namun dituntut untuk menjadi pihak “pemberi layanan” yang menghasilkan output atau solusi nyata terhadap topik yang menjadi pekerjaan kita. Di Jepang, orang yang telah lepas dari status sebagai pelajar disebut sebagai shakaijin (shakai berarti masyarakat, jin berarti orang). Sebagai shakaijin, individu dituntut untuk bertanggung jawab dan memberikan dampak nyata di masyarakat, dalam lingkup pekerjaan masing-masing.

Selain mengalami pergantian pola pikir karena dari mahasiswa kini sudah menjadi shakaijin, pada masa awal bekerja di kantor saya juga sempat mengalami kesulitan bahasa. Meskipun saya telah terbiasa berkomunikasi bahasa Jepang dengan orang lokal selama 2 tahun menjadi mahasiswa master, komunikasi dalam dunia kerja memiliki tingkat kesulitan yang jauh berbeda dengan percakapan sehari-hari. Hal ini merupakan tantangan besar, terutama karena terdapat perbedaan generasi dengan jarak yang cukup signifikan dalam divisi saya. Namun menurut saya, kesulitan akan tidak terlalu terasa ketika kita sudah mampu beradaptasi dengan situasi tertentu. Cara saya untuk beradaptasi adalah dengan memperbanyak komunikasi untuk membuat diri saya nyaman dengan lingkungan tersebut serta sebaliknya orang lain juga nyaman terhadap saya. Untungnya, penduduk kansai atau Jepang bagian barat tempat saya tinggal dan bekerja selama ini memiliki karakter yang humoris dan ramah, sehingga berbagai percakapan mulai dari yang ringan hingga konsultasi kesulitan dalam pekerjaan lebih mudah dilakukan.

Salah satu kegiatan dalam training karyawan baru (lomba memasak)
Salah satu kegiatan dalam training karyawan baru (lomba memasak)

Budaya kerja di Jepang
Di Jepang, dalam bekerja sebagai karyawan sangat dituntut integritas dan etos kerja yang tinggi. Selain kedisiplinan, kesopanan dan kebersihan yang mungkin sudah umum diketahui sebagai budaya Jepang, saya ingin menyoroti 4 dari banyak hal yang khas dalam budaya kerja di Jepang. Pertama, pola pikir bahwa “konsumen adalah raja” sangat kuat. Kedua, budaya hourensou dalam bekerja. Hourensou adalah singkatan dari houkokurenraku, soudan yang artinya dalam setiap pekerjaan, jangan lupa untuk melaporkan situasi dan perkembangan yang terjadi, menyampaikan informasi yang benar secara tepat, serta konsultasikan masalah yang ada beserta solusinya sebelum diimplementasikan. Terlihat sederhana, tapi proses hourensou ini merupakan salah satu bagian inti training di awal masuk perusahaan lho. Yang ketiga, pengambilan keputusan dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan mempertimbangkan berbagai hal. Bijak memang, namun terkadang diskusi dan pertimbangan menjadi terlalu panjang dan luas sehingga proses hingga keputusan diambil memakan waktu yang cukup lama. Lalu yang keempat, budaya senioritas dalam arti yang baik. Tidak terbatas di bangku sekolah, dalam dunia kerja di Jepang juga sangat lumrah bagi senior untuk membimbing dan mengayomi junior. Sering dikatakan pula bahwa “tidak apa-apa untuk berbuat kesalahan saat muda, dan hanya selagi muda-lah kesalahan dapat dimaafkan”, yang bertujuan untuk mendorong setiap junior untuk belajar sebanyak-banyaknya dari pengalaman dan kesalahan, sehingga dapat menjadi senior yang mumpuni dan dapat diandalkan oleh junior generasi berikutnya.

Menjadi muslim di perusahaan Jepang
Sama seperti muslim yang tinggal di Jepang pada umumnya, tentu ada keterbatasan tertentu yang saya alami seperti makanan halal, tempat ibadah, ketidaktahuan orang di sekitar mengenai Islam serta apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan seorang muslim. Namun saya bersyukur bahwa tempat saya bekerja bukanlah lingkungan yang menyulitkan saya untuk menjalani hidup sebagai muslim. Perusahaan saya tergolong cukup global dan memiliki pengertian yang baik akan keragaman budaya dan nilai tiap individu dari latar belakang yang berbeda. Bahkan ketika wawancara terakhir pada proses aplikasi kerja, sebelum saya bertanya untuk memastikan perihal ibadah, pihak HR-lah yang lebih dulu menanyakan kebutuhan saya sebagai muslim dan menjelaskan apa yang dapat mereka bantu untuk saya. Pada akhirnya, tantangan dalam menjalani keseharian sebagai muslim di Jepang kembali kepada diri sendiri, bagaimana saya harus mengatur waktu dan menyuarakan hal-hal yang harus saya jaga.

Pelajaran berharga dari kuliah dan bekerja di Jepang
Bagi saya, dibanding ilmu akademis dan hal bersifat profesional yang saya pelajari saat kuliah dan bekerja, hal lebih berharga yang saya dapatkan selama di Jepang adalah pelajaran hidup. Didukung dengan lingkungan kehidupan di Jepang, saya belajar menjadi manusia yang lebih mandiri, teratur, memiliki ketahanan mental dan berusaha untuk tidak egois. Profesor saya pernah memberikan petuah kepada mahasiswa di laboratorium kami, bahwa “your common sense is not common sense of the world”, yang maknanya baru saya resapi lebih mendalam ketika berada di dunia luar. Dengan memahami bahwa di setiap lingkungan kehidupan terdapat sisi positif dan negatifnya, saya belajar untuk menghadapi tantangan dengan lebih bijaksana tanpa kehilangan karakter dan nilai-nilai yang saya miliki.

Musim gugur di Jepang
Musim gugur di Jepang

Foto disediakan oleh penulis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here