Photo by Eloise Ambursley on Unsplash
Saya datang ke Jepang pada bulan September 2017, setelah bekerja selama 2.5 tahun di perusahaan data dan sistem keuangan global di Singapura. Saya sedang terdaftar dalam program S2 (Master’s) jurusan International & Public Policy di Universitas Hitotsubashi, Tokyo, dan akan selesai pada bulan Agustus 2019. Setelah menghabiskan hampir 2 tahun di depan saya sudah memutuskan bahwa saya akan mencoba untuk bekerja di Jepang dan membangun hidup baru untuk jangka waktu lama di tempat yang sangat saya sayangi saat ini.
Di Jepang, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara pengalaman mencari kerja sebagai fresh graduate (新卒, “shinsotsu”) dan mid-career (第二新卒、”dainishinsotsu”) untuk pengalaman kurang dari 3-4 tahun). Saya akan menjelaskan pengalaman pribadi saya sebagai orang yang terhitung sebagai mid-career dan sedang berusaha meniti karir baru (転職, “tenshoku”, career change), namun hal ini tentunya juga bisa diikuti oleh para pencari kerja fresh graduate juga.
Jepang tidak sesulit yang orang kira, if you play your cards right
Stereotype yang paling sering digunakan oleh media asing selalu menggambarkan Jepang sebagai negara yang sangat tertutup terhadap peradaban luar. Sebagai negara dengan komposisi etnis dan ras yang seragam, etos kerja khas Jepang juga menitikberatkan harmoni dan kebersamaan antara sesama pekerja, sehingga perilaku individu yang dianggap berbeda—terlepas baik atau buruk, sering terlihat sebagai sesuatu yang dipandang buruk. Hierarki yang cukup kaku dalam perusahaan Jepang juga sering menjadi masalah bagi tidak hanya karyawan asing, namun karyawan Jepang yang harus bisa mengikuti tata aturan tersebut. Terlebih lagi, perbedaan umur, latar belakang, dan bahasa terkadang membuat kita sulit akrab dengan teman sekantor kita.
Saya akui memang saya telah mendengar berbagai komplain serupa dan bahkan mengenal beberapa teman dari Indonesia dan negara asing lainnya yang menceritakan pengalaman serupa. Namun setelah saya mengenal lebih banyak personel kerja dari berbagai macam perusahaan Jepang selama satu tahun belakangan ini, saya merasa banyak sekali contoh-contoh yang diutarakan bukanlah masalah khas Jepang namun masalah dengan bad management in general. Contohnya jika bertemu micromanager (atasan yang terlalu mengatur atau mendikte), masalah ini adalah masalah yang selalu saya dengar contohnya di Indonesia dan Singapura. Seringkali tidak ada acuan cara kepemimpinan yang seragam sehingga pengalaman bekerja di bawah satu manajer bisa jadi sangat berbeda dari manajer lainnya.
Solusinya adalah fleksibilitas – gaji bukanlah faktor terutama
My Newest Friend in the Office! (Photo by author)
Pertama, kita pelamar kerja di Jepang harus sadar betul pengalaman kerja seperti apa yang kita cari. Untuk gaji full-time fresh graduate di Tokyo pada umumnya sekitar 190.000-240.000 yen, tidak menutup kemungkinan jauh lebih tinggi terlepas dari variabel industri/background masing-masing. Maka dari itu, menurut saya gaji bukanlah faktor absolut atau satu-satunya yang harus kita gunakan. Pengalaman seperti apa yang penting? Jadwal kerja teratur atau tidak tentu? Lebih banyak menggunakan kreativitas atau mengikuti prosedur yang sudah ada? Lebih banyak bertemu klien atau seharian di kantor? Tipe orang-orang seperti apa yang kita ingin untuk bekerja sama? Faktor-faktor ini lebih berguna bagi perjalanan kita meniti karir di Jepang, baik di perusahaan yang sama maupun di perusahaan lainnya. Jangan terjebak dengan menganggap seluruh faktor sama pentingnya, karena tidak ada perusahaan atau pekerjaan yang sempurna (jika ada, tolong hire saya). Tanya kepada diri kita sendiri, faktor apa yang termasuk “needs” dan faktor apa yang hanya “good to have”.
Kedua, setelah tahu tujuan utama kita, kita harus tahu betul apakah perusahaan yang kita coba dapat memenuhi ekspektasi kita. Contohnya, bagi saya sangat penting untuk perusahaan di tempat saya akan bekerja nantinya untuk memiliki pengalaman memimpin sebuah tim/divisi yang berorientasi internasional atau terdiri yang orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Hanya karena mereka memiliki satu atau dua staff non-Jepang tidak semerta-merta membuat perusahaan tersebut internasional, namun sayangnya website job bank atau seminar bagi mahasiswa internasional banyak mengikutsertakan perusahaan yang menyebut diri mereka berbudaya internasional tanpa bukti lebih lanjut. Kita bisa cek websitenya, apakah ada informasi dalam bahasa Inggris yang tertulis dengan baik dan benar? Apakah pesan branding dari perusahaan tersebut sesuai dengan tujuan karir kita? Jika mereka sengaja mencari karyawan asing, apa alasan mereka? Kita semua bisa mencari informasi sedetail mungkin di website perusahaan, review pekerja (google search nama perusahaan + 口コミ atau ブラック会社), datang ke job fair, dan berbincang dengan recruiter yang berpengalaman di industri tersebut.
Terakhir dan yang paling penting adalah, jangan patah semangat karena Jepang 20 tahun yang lalu bukanlah negara yang sama dengan Jepang yang sekarang. Dalam jangka panjang, kebutuhan pekerja asing di Jepang tetap menjadi nilai jual utama kita semua. Pada saat saya mempersiapkan interview atau menulis resume dalam bahasa Jepang, saya sempat terbawa suasana dan terlalu fokus dalam memastikan tidak ada kesalahan dalam tata bahasa atau selalu membanding-bandingkan dengan pengalaman orang lain. Namun, jika kita selalu fokus akan kekurangan kita, hal itu malah akan membuat kita mandek dan tidak membuka diri terhadap learning curve yang sebenarnya dapat kita bawa dari pengalaman kita di Jepang.
You’ll never know until you try
Photo by Jason Ortego on Unsplash
Pada satu sesi les privat bahasa Jepang saya dengan seseorang yang berpengalaman melatih karyawan asing untuk mencari kerja di Jepang, saya diberikan evaluasi yang cukup positif karena energi yang saya bawa ke dalam latihan tersebut akan membuat interviewer merasa saya akan membawa pengaruh positif dalam tim. Jika saya fokus dalam membuat nilai positif saya terlihat jelas selama percakapan, interviewer Jepang-pun tidak akan sengaja membesar-besarkan ketidaksempurnaan bahasa Jepang saya. Saya cukup kaget karena di evaluasi tahun pertama saya bekerja di Singapura, saya mendapat komentar yang sama dari manajer saya waktu itu yang berasal dari Prancis. Sebagai refleksi pribadi, saya terkadang tersenyum jika teringat sebelum saya pindah dari Singapura ke Jepang pada tahun 2017. Saat itu saya jujur takut, apakah hal ini nantinya akan jadi kesalahan yang besar di hidup saya, apakah ternyata Jepang yang sebenarnya bukanlah Jepang yang ada di bayangan saya. Funny how I was so focused on what makes people so different, and now I am reminded that no matter where we all come from, we have way more things in common than expected.