Banyak orang mengira bahwa jika kita gagal masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, kita sudah kehilangan pilihan untuk mendaftar ulang dan mencoba lagi. Di sini, Judan mencoba untuk mematahkan mitos itu dan dia berhasil masuk Nanyang Technological University (NTU) walaupun tidak diterima pertama kalinya dan sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri favorit di Indonesia. Judan di sini juga mengingatkan sobat Indonesia Mengglobal lainya bahwa dibalik kesuksesan, terdapat juga kegagalan, tangis, dilemma, dan frustasi yang harus dihadapi demi mencapai cita-cita. Selamat membaca!
Hai pembaca Indonesia Mengglobal (IM), nama saya Julius Daniel, kebanyakan teman saya memanggil saya Judan. Tahun ini saya mengambil keputusan yang cukup besar dalam hidup saya yaitu meninggalkan kampus tercinta, ITB, untuk melanjutkan pendidikan di salah satu universitas negeri di Singapore, Nanyang Technological University (NTU). Di NTU, saya akan mengambil program Bachelor of Business with a minor in Strategic Communication berdurasi 3 tahun. Kuliah di luar negeri sudah menjadi impian saya sejak kecil. Saya besar di Purwokerto, sebuah kota kecil di kaki Gn. Slamet, kemudian merantau untuk melanjutkan pendidikan SMA di SMA Berasrama PL Van Lith Magelang. Sejak kecil saya selalu bertanya-tanya “Apakah kesempatan kuliah di luar negeri hanya bisa dimiliki mereka yang berasal dari SMA unggulan atau yang dekat dengan ibukota?” Berikut adalah sedikit kilas baik tentang kisah saya pribadi untuk diterima di NTU.
Kilas balik pengalaman diterima di NTU
Tahun lalu saya beruntung bisa masuk ke salah satu PTN bergengsi di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB), tepatnya di Fakultas Teknologi Industri melalui jalur SNMPTN. Di semester 1 saya di ITB, saya berhasil mendapatkan 2 beasiswa penuh: Sea Ltd. (Shopee, Garena, and Airpay) Undergraduate Scholarship dan TELADAN Tanoto Foundation Leadership & Scholarship. Saya menjalin banyak relasi dan aktif berorganisasi bahkan di tahun pertama saya. Namun semua itu tidak menghentikan impian saya untuk pergi ke luar negeri. Sekitar bulan Oktober saya mencoba peruntungan saya di beasiswa Monbukagakusho (MEXT) Jepang, sayang sekali saya tidak lolos. Kemudian saya memutuskan untuk membayar rasa penasaran saya dengan mendaftarkan diri ke NTU dengan harapan yang sangat kecil untuk sekedar diundang tes University Entrance Examination (UEE). Saya memasukkan baik nilai rapot dan nilai UN (Ujian Nasional), seharusnya boleh memasukkan nilai perkuliahan tahun pertama namun saat masa pendaftaran transkrip semester 1 belum dirilis. Saat itu saya memilih jurusan non-engineering sehingga keperluan tes yang diminta hanya Math, English, dan admission interview untuk beberapa fakultas.
Perkuliahan di ITB sangatlah padat, sehingga saya tidak bisa menyempatkan waktu untuk mengambil bimbel/kursus persiapan UEE. Selain itu yang saya tahu, kebanyakan bimbel/kursus persiapan UEE berlokasi di Jakarta atau Surabaya. Untuk tes Math, saya meminjam buku A Level Cambridge teman fakultas saya yang SMA-nya international school. Saya juga banyak bertanya dan mentoring dengan kating-kating tahun ke-4 dari jurusan Matematika. Saya mencari kenalan mereka yang sudah berkuliah di NTU dari Indonesia Mengglobal (IM) dan PINTU (Pelajar Indonesia NTU) untuk menanyakan referensi belajar/textbook A Level H2 Singapore. Selain itu, di TPB (Tahap Persiapan Bersama) ITB sudah melingkupi materi kalkulus secara mendalam. Untuk tes English, saya membiasakan diri saya untuk menulis 5-6 essay 400 kata per harinya karena writing essay adalah persentase nilai terbesar di tes English. Saya juga mempelajari materi TOEFL iBT dan IELTS untuk mematangkan skill bahasa Inggris saya. Semua itu saya lakukan sejak bulan November dan mulai intensif di bulan Januari setelah mendapat notifikasi bahwa saya diundang tes UEE di BSD (Jakarta). Sebenarnya waktu itu saya sempat berpikir untuk mengambil kursus/bimbel di Jakarta saat libur semester, namun almarhum kakek saya saat itu divonis kanker, sehingga saya harus menemani kakek saya berangkat pengobatan ke Guangzhou, Cina.
Sejujurnya saya sendiri tidak berharap banyak ke penerimaan NTU ini, andaikan saya gagal pun saya sangat siap untuk meneruskan pendidikan saya ITB. Prinsip yang selalu saya pegang adalah lebih baik saya gagal dalam perjuangan meraih cita-cita daripada saya gagal tanpa pernah tahu rasanya berjuang (Novel; Merry Riana). Saya tidak mau 4 atau 5 tahun lagi saya bertanya kepada diri saya sendiri “Dulu kenapa aku tidak mencoba daftar ke NTU ya?”. Dengan mengikuti UEE NTU, rasa penasaran saya akan terbayarkan.
Awal Maret 2019, saya mendapat email dari NBS (Nanyang Business School) untuk melakukan interview dengan salah satu professor mereka melalui Skype video call. Saya tidak merasakan banyak masalah terkait interview karena saya sudah membiasakan diri saya dengan mengikuti berbagai macam interview beasiswa dan organisasi. Seminggu kemudian, saya mendapat email yang menyatakan bahwa saya lolos di pilihan pertama, Business with a minor in Strategic Communication. Saya yang susah sekali menangis dan terbawa suasana, saat itu, langsung menitihkan air mata bahagia bercampur sedih. Saya bahagia karena saya sendiri bahkan merasa tidak layak untuk mendapatkan kesempatan ini. Saya sedih karena itu artinya saya harus berpisah dengan semua yang telah saya bangun selama 7 bulan di ITB dan Bandung, semua pertemanan itu akan berakhir dengan perpisahan jarak. Saya tidak langsung memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut, saya langsung menelpon orang tua saya, pihak sekolah, dan pihak pemberi beasiswa (di ITB) untuk meminta pertimbangan. Mereka mendukung saya untuk mengambil kesempatan emas ini, saya masuk di kategori subsidi dan berhak mengambil tuition grant.
Dalam menjalani pengalaman tersebut, ada beberapa values yang saya pertahankan.
Value: Konsepsi HIGHLIGHT dan LOWLIGHT
Salah satu prinsip yang terus saya pegang dalam hidup saya adalah konsepsi highlight dan lowlight. Saya percaya bahwa setiap manusia memiliki kedua sisi tersebut, namun biasanya yang mereka ekspos di sosial cenderung sisi highlight mereka. Highlight adalah keberhasilan, pencapaian, kesuksesan, dan kebanggaan yang kamu raih selama ini.
Sementara, lowlight adalah kegagalan, tangis, dilemma, dan frustasi yang kalian alami juga selama ini. Saya sempat mengalami kegagalan di beasiswa MEXT sebelum akhirnya diterima di NTU.
Awalnya berat untuk menerima kegagalan apalagi kalau kegagalan itu terjadi terus-menerus. However the fact is: we grow in lowlight and influence others under the highlight. Teman-teman akan belajar banyak ketika teman-teman mengalami fase lowlight tersebut dan akan memberi dampak baik ke lingkungan teman-teman ketika mengalami fase hightlight. Keduanya perlu dilalui dan itulah yang saya pegang sampai saat ini.
Value: Bertujuan vs Berambisi
Sebelum teman-teman memutuskan untuk mengambil suatu tindakan, dalam hal ini apply ke suatu univ, pastikan bahwa teman-teman sudah memiliki tujuan. Sejak kecil, saya memiliki cita-cita untuk bisa studi di luar negeri dan itu yang terus saya pegang teguh hingga saat ini. Saya punya sesuatu yang kita sebut ‘purpose’ atau tujuan. Everyone knows what they are doing, some know how they do it, but very, very few know why they do what they are doing. In which, it refers to purpose; the cause that makes you believe you have to do it.
Purpose gives me the strength that ambition cannot provide.
Pemaknaan
Banyak sekali hal yang harus dikorbankan ketika kita berusaha meraih impian terbesar kita. Berat bagi saya pribadi untuk melepas yang telah saya bangun selama ini, tapi bagi saya ini adalah tantangan baru dan langkah baru dalam hidup saya yang patut saya coba.
Melepaskan kuliah untuk berpindah di NTU adalah keputusan yang berat. Bagi saya, ini semua kembali lagi ke target kalian masing-masing, apakah kalian mempunyai impian seperti itu? Apabila iya, kejarlah mimpi kamu tanpa keraguan apapun, dan percayalah Tuhan akan mendukung kamu.
“Doubt kills more dreams than failure ever will.” – Suzy Kaseem