Cerita keberhasilan selalu menarik. Namun, keberhasilan hanyalah sisi gunung es yang nampak di permukaan. Bongkahan es yang jauh lebih besar justru tak terlihat di bawahnya. Seringkali, di sanalah pelajaran pentingnya -dari kegagalan demi kegagalan, usaha demi usaha-. Kontributor Wahyu Setioko membagikan 15 kegagalan beruntun yang dialami dalam meraih beasiswa beserta pelajarannya. Berikut kisahnya.
***
Akhir dari sesuatu adalah permulaan bagi sesuatu yang lain. Pertengahan tahun 2011, perjalanan akademik saya di Universitas Negeri J**** resmi berakhir dengan selembar kertas bertuliskan “Sarjana Sains”. Sejak saat itu juga, saya memulai perjalanan baru yang terdengar ambisius kala itu: mencari beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri.
Saya memulai perjalanan ini tanpa bekal apapun kecuali tekad dan optimisme.
Berhasil?
Ya, pada akhirnya.
Setelah lima belas kali terjatuh dan kembali bangun, perjalanan itu menemui ujungnya pada tahun keempat. Pada percobaan keenam belas. Segala jerih payah terbayar saat saya menginjakkan kaki di Amerika Serikat pada tahun 2015 untuk kuliah pascasarjana dengan beasiswa penuh.
Saya merangkum keenam belas beasiswa yang pernah saya usahakan selama empat tahun itu pada tabel berikut:
Alih-alih menceritakannya secara kronologis -yang tentunya akan sangat panjang-, dalam tulisan ini saya ingin berbagi pelajaran-pelajaran yang saya peroleh dari lima belas kali kegagalan beruntun dalam empat tahun itu. Mengambil analogi gunung es, saya terkadang mudah saja menampakkan 10% gunung es yang berada di permukaan laut pada media sosial saya, tapi berat rasanya untuk mengungkap 90% bagian lainnya yang tak terlihat di bawah permukaan. Kali ini saya coba membagi sebagian kecilnya di sini.
Pelajaran dari lima belas kegagalan beruntun:
Persiapan yang Matang atau Disiapkan hingga Matang.
Mungkin benar bahwa persiapan adalah kunci keberhasilan. Saya mengaku salah telah memaksakan diri mengejar ambisi tanpa persiapan. Tapi kalau boleh membela diri, kala itu saya tidak memiliki dukungan dari lingkungan atau pihak manapun. Impian seperti itu masih relatif langka pada masa itu, belum menjamur seperti hari ini. Saat itu, tak ada yang mengenalkan saya tentang persiapan melamar beasiswa dan kuliah ke luar negeri. Sama sekali tidak ada. Hingga akhirnya Tuhan yang mengambil alih perihal persiapan ini dengan cara yang tidak saya mengerti.
Selain berusaha, saya -tentu saja- berdoa dengan tekun untuk bisa kuliah ke luar negeri, dan berdoa semakin tekun setiap kali menemui kegagalan. Tapi apa yang Tuhan lakukan? Bukannya ke luar negeri, takdir justru mengantarkan saya ke sebuah pulau kecil di tengah laut. Takdir yang membuat orangtua saya heran bukan main. Katanya mau belajar ke luar negeri, tapi tiba-tiba minta ijin mengajar di daerah terpencil, satu tahun pula. Iya, mereka selalu mempertanyakan impian itu selama empat tahun penuh. Empat tahun penuh. Termasuk ketika saya memutuskan untuk bekerja sepulang dari mengajar di pulau itu. Juga ketika saya meminta restu untuk meminang seorang gadis. Katanya mau kuliah ke luar negeri?
Empat tahun, lima belas kegagalan, runtunan depresi berganti optimisme, berulang-ulang. Saya sama sekali tidak mengerti rencana Tuhan saat itu.
Hari ini, jika melihat ke belakang, saya baru menyadarinya. Selama empat tahun itu sesungguhnya Tuhan sedang mempersiapkan saya hingga matang melalui kegagalan demi kegagalan. Di setiap kegagalan, saya belajar hal baru tentang aplikasi beasiswa, menulis esai, dan lain sebagainya hingga aplikasi saya menjadi semakin baik pada percobaan berikutnya -yang masih gagal juga sehingga saya harus belajar lagi-. Saya juga baru menyadari maksud Tuhan memberikan saya kesempatan menjadi guru di pulau kecil, berjejaring dengan relawan, bekerja di perusahaan multinasional, dan berkutat di sekolah internasional dalam periode empat tahun itu. Tuhan tengah menyiapkan kemampuan bahasa Inggris saya melalui pekerjaan sehari-hari di perusahaan multinasional dan sekolah internasional; menanamkan nilai-nilai penting dari aktivitas dan jejaring relawan yang inspiratif; beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru, bahkan harus belajar bahasa daerah yang sama sekali baru; dan mendalami bidang studi yang akan saya tempuh dari beragam peran pekerjaan yang saya jalani dalam empat tahun. Belum selesai di situ kebaikan-Nya, saya juga diberikan dukungan seumur hidup: seorang istri. Anugerah yang tak terbayangkan.
Ketika menjalani hari-hari perkuliahan di Amerika, saya merasakan manfaat nyata dari semua pengalaman yang saya peroleh pada masa empat tahun itu. Komunikasi bahasa Inggris minim kendala, pengetahuan terhadap bidang studi tak kalah dari kolega internasional lainnya, adaptasi lingkungan baru berjalan lancar, nilai-nilai kebaikan dan nasionalisme tak luntur oleh pengaruh kultur, dan kebahagiaan saya jauh lebih lengkap karena didampingi oleh istri -dan kemudian anak saya-.
Mungkin sudah banyak yang tahu, Tuhan menjawab doa-doa dengan tiga cara berbeda.
- Iya, dikabulkan.
- Iya, tapi nanti, tidak sekarang.
- Iya, tapi yang lain, yang lebih baik.
Jawabannya selalu “iya”.
Saya baru mengerti setelah lima belas kegagalan. Doa saya dijawab dengan cara kedua dan ketiga. Impian saya untuk segera kuliah ke luar negeri pada tahun 2011 dijawab empat tahun kemudian dengan yang lebih baik: kuliah di luar negeri dengan modal personal dan akademik yang matang serta dukungan keluarga. Hingga hari ini, saya selalu bersyukur mengingatnya dan tak pernah menyesalinya. Alhamdulillah.
Jadi, silakan pilih sendiri: punya persiapan yang matang, atau disiapkan hingga matang?
Yang manapun pilihanmu, insya Allah berakhir pada keberhasilan.
Menemukan Renjana (passion)
Takdir teraneh bagi saya: hidup di pulau terpencil sebagai guru bantu, rupanya adalah rencana terbaik yang Tuhan pernah berikan. Sebagaimana tulisan ini bermula, saya mengantongi ijazah sebagai Sarjana Sains, khususnya bidang Kimia. Pada masanya, saya sangat antusias melakukan penelitian di laboratorium. Molekul kristal cair dan senyawa organik pernah begitu dekat dengan keseharian saya. Bidang inilah yang ingin saya tekuni dengan kuliah di Eropa atau di Jepang kala itu. Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain.
Menjalani satu tahun sebagai guru di daerah terpencil adalah titik balik dalam kehidupan saya. Pikiran saya berubah. Saya menemukan renjana -perasaan yang kuat- ketika menjadi guru. Perasaan yang tidak saya dapatkan dalam penelitian ilmiah di laboratorium, dengan para senyawa itu. Saya sumringah sekali ketika melihat murid-murid saya berubah perilakunya, bertambah pengetahuan dan kemampuannya, serta berkembang pola pikirnya. Kebahagian yang tidak saya temukan di laboratorium. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk beralih ke dunia pendidikan. Saya memilih berkontribusi di bidang Sains dan Teknologi pada masa yang akan datang. Caranya dengan mempersiapkan generasi-generasi yang mencintai bidang ini sejak dini di Sekolah Dasar dan Menengah.
Kembali dari pulau itu, saya melanjutkan karir saya di bidang pendidikan, juga mulai fokus untuk melamar beasiswa dengan bidang studi pendidikan alih-alih kimia.
Kegagalan-kegagalan yang terasa aneh dan menyakitkan itu justru mengantarkan saya menemukan renjana yang saya hidupi hingga hari ini.
Jadi, tak perlu takut untuk berbeda rencana dengan Tuhan. Percayalah, rencana-Nya selalu yang terbaik.
Man Jadda Wajada
Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.
Saya tak pernah membayangkan sebelumnya bagaimana rasanya mati rasa karena berkali-kali gagal. Salah satu modal saya pun, optimisme, perlahan mulai memudar. Tinggal tekad yang tersisa. Hanya dengan itu saya bertahan selama empat tahun. Belajar bahasa Inggris dari nol secara otodidak. Lima kali saya menguji kemampuan saya dengan TOEFL ITP hingga mendapat skor yang cukup. Dua kali mengambil tes IELTS, dan dua kali menjalani tes TOEFL IBT. Belum lagi dengan tes tambahan seperti GRE yang menjadi syarat khusus universitas di Amerika. Mungkin sudah belasan hingga puluhan juta rupiah saya habiskan untuk membeli buku, belajar mandiri, dan mendaftar tes-tes itu. Tak satupun tes yang berhasil tanpa mengulang. Lagi-lagi kegagalan menghinggapi saya.
Di tengah kegagalan -yang entah keberapa-, saya dipertemukan dengan Ahmad Fuadi, novelis trilogi Negeri 5 Menara (N5M). Saya mengikuti seleksi terbuka untuk berguru padanya soal menulis -sebagai pelampiasan atas kebosanan berkawan dengan kegagalan- dan akhirnya terpilih untuk menjadi anggota Akademi Menulis 5 Menara. Selain mendapat ilmu teknis tentang menulis, saya merasa kembali tercerahkan dengan semangat Man Jadda Wajada. Banyak pembaca N5M yang telah membuktikan dengan kisah-kisah uniknya masing-masing. Menyaksikan itu semua, optimisme saya kembali menguat, tekad saya semakin bulat. Saya harus bisa kuliah ke luar negeri.
Rutinitas melengkapi aplikasi beasiswa, menulis esai, meminta rekomendasi, dan menjalani tes kembali saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam pikiran saya kala itu: berapa kali pun saya gagal, saya akan perbaiki, dan coba lagi. Sampai berhasil. Entah kapan. Sampai berhasil.
Satu tahun setelahnya, saya akhirnya berhasil mendapat beasiswa penuh ke Amerika.
Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.
Pay It Forward
Suatu ketika, saya berbicang dengan salah satu pemberi rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya, Bu EH, sembari menyantap siomay di pinggiran jalan komplek perumahan. Beliau tahu ini bukan permintaan saya yang pertama, kedua, atau ketiga untuk memberikan rekomendasi. Yang berbeda saat itu, saya mengutarakan rencana untuk menikah dalam waktu dekat. Tentu bersambut raut berseri dan lontaran “selamat” dari beliau. Setelah berterima kasih, nada bicara saya jadi serius.
“Kayanya ini aplikasi beasiswa yang terakhir deh Bu. Kalau gagal, sudah lah. Saya juga kan harus menafkahi keluarga setelah menikah. Bakalan fokus kerja aja mungkin, sambil ngurus beasiswa kalau udah settled.”
Balasan Bu EH saat itu masih saya ingat.
“Emang menantang sih ya setelah menikah. Tapi Ko, tantangan itu akan selalu ada. Abis nikah, punya anak, udah tua, dst. Kalau lu tunda nanti nanti, bisa-bisa lu ga jadi berangkat karena udah males. Menurut gw sih hajar aja. Lu kan juga udah sejauh ini. Kalau lu butuh rekomendasi lagi, gw siap ngasih sampe lu berhasil. Udah deket nih menurut gw.”
Entah makhluk seperti apa para pemberi rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya ini. Sampai hari ini, saya masih menduga mereka setengah malaikat. Selain Bu EH, ada juga Pak AR -seorang PNS kepala instansi penelitian-, Bu M, Pak H, dan Ms IN dari organisasi yang berbeda-beda. Bukan satu dua kali masing-masing mereka memberikan surat rekomendasi untuk aplikasi beasiswa saya. Saya selalu merasa merepotkan karena mereka harus merangkai kata, mencetak dengan kop surat atau amplop instansi, dan kadang harus mengirimkannya melalui pos atau surel. Tapi tetap mereka lakukan tiap kali saya meminta rekomendasi yang baru sambil memberitahukan bahwa yang kemarin gagal lagi.
Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Entah, apakah mereka pun ikut lelah dan pesimis?
Ketika saya memberitahukan bahwa saya akhirnya berhasil, sebuah balasan surel dari Pak AR menjawab pertanyaan saya.
Sebuah Catatan Terima Kasih yang ditulis dengan sungguh-sungguh dan dirangkai dengan baik rasanya masih belum cukup untuk membalas kebaikan orang-orang yang telah sangat membantu saya. Begitu pun dengan cendera mata. Selain pemberi rekomendasi, ada banyak lagi orang-orang lain yang membantu saya menyusun resume, memeriksa esai, menganalisis aplikasi dan masih banyak lagi bentuk bantuan lainnya. Kebaikan mereka terlalu besar untuk dibalas dan terlalu banyak untuk diingat satu per satu. Memang, tak satupun dari mereka menginginkan saya membalas budi baik mereka.
Just pay it forward. Balaslah kebaikan yang kamu terima dengan kebaikan lain kepada orang lain. Begitu caramu membalas budi mereka.
Impian itu memang tercapai, pada akhirnya. Tapi sekali lagi, akhir dari sesuatu adalah permulaan bagi sesuatu yang lain. Menempuh studi di luar negeri hanyalah permulaan bagi impian yang lebih besar.
***
Sumber foto: Wahyu Setioko