Melanjutkan artikel Eral yang di publikasikan Januari lalu, Eral berkolaborasi dengan Content Director Indonesia Mengglobal, Aditya Hendrayana, untuk menelaah lebih lanjut implikasi dari perbedaan peradaban timur dan barat, yang dilihat dari kacamata pelajar Universitas Al-Azhar dan beberapa opini mengenai hal yang harus ditindaklanjuti mengenai perbedaan tersebut akan diutarakan.
Oleh: Ignatius Aditya Hendrayana & Eral Katyushantri Zeih
Menganggapi artikelku sebelumnya mengenai Prahara Peradaban Timur dan Barat, kali ini aku akan membahas lebih lanjut implikasi dari perbedaan tersebut dan beberapa hal yang ingin kuutarakan untuk mengkolaborasikan kedua pandangan tersebut. Datang ke Mesir, negeri yang dulunya menjadi sumber peradaban dunia, membuatku merefleksikan tentang sejarah, pola pikir dan filosofi mengenai peradaban. Dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan di utara-timur, Mesir dahulunya merupakan kota pusat peradaban yang populer. Aleksandria di masa jayanya dengan pemerintahan Ptolomeus menjadi ibukota kebudayaan Hellenisme yang merupakan salah satu poros pembentuk kebudayaan barat modern. Tak jauh lama kemudian, dengan lokasinya yang sangat strategis yang mudah dijangkau saudagar Cina, India dan Semenanjung Arab, Halyinah Asy-Syarq mengubah Mesir menjadi mercusuar sastra, seni, dan ilmu pengetahuan – dimana konon dibentuknya perpustakaan yang memuat lebih dari enam ratus jilid buku.
Maju cepat ke masa sekarang, Mesir dikelilingi oleh beberapa isu yang cukup hangat diperbincangkan. Konflik di Mesir yang umumnya terjadi berupa kerusuhan rakyat dan serangan teroris, yang didalangi oleh aktor-aktor kunci di Mesir yang termasuk Angkatan Bersenjata Mesir, serikat pekerja, Ikhwanul Muslimin yang saat ini dilarang, partai-partai Salafi lainnya, dan kedua kelompok ekstremis Salafi dan non-Salafi. Sebagai mahapelajar di kota yang penuh sejarah ini, pendapat yang bisa ku utarakan adalah bahwa “peradaban” merupakan “benang merah” dan kunci dari masalah yang yagn terjadi dan sebagai kaum pelajar, aku ingin menelaah lebih lanjut mengenai alasan adanya perbedaan pendapat dan pola pikir yang disebabkan oleh “peradaban” di tempat yang kutinggali, dan mengutarakan hal-hal apa yang bisa aku, dan sobat Indonesia Mengglobal pelajari dari sini.
Seperti yang diutarakan dalam artikel sebelumnya, di Mesir, muncul 2 pola “peradaban” yang umumnya dianut oleh penduduk Mesir – timur dan barat. Sebagai mahapelajar Ilmu Bahasa yang ingin menelaah lebih lanjut makna dari perbedaan pendapat ini, akupun mengkontemplasi dari manakah buah pikiran peradaban timur dan barat muncul?
Dari 3 perbedaan yang diutarakan sebelumnya – pengetahuan, sikap terhadap alam dan pandangan terhadap individu – perbedaan tersebut menyimpan banyak ketidakcocokan tak hanya dalam kebudayaan, namun juga teologi, yang dimana implikasinya dapat ditelaah sebagai berikut:
- Implikasi 1: Pengetahuan – perbedaan fundamental analisis kritis dan intuitif komprehensif
Pemandangan sepanjang jalan Mesir
Kaum barat cenderung menekan pada analisis pengetahuan yang kritis dengan mencari unsur sebab akibat. Lain halnya kaum timur, yang menekan pada pengetahuan intuitif yang menyeluruh dan melibatkan unsur emosi. Ada perbedaan mencolok antara dua pendekatan tersebut. Akibatnya, masing-masing karakteristik berbeda dari pendidikan timur dan barat sangat penting dalam membentuk kepribadian dan pandangan hidup.
Pelajar yang berkiblatkan budaya timur khususnya memandang pengetahuan upaya semata-mata sebagai cara utama untuk melakukan yang sangat baik di sekolah. Sekolah-sekolah di timur menanamkan keyakinan bahwa disiplin dapat melebihi kesulitan akademik, mendiskreditkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kinerja pelajar. Di timur, setiap pelajar adalah sama; mereka diberi kesempatan yang sama untuk belajar.
Sebaliknya, sekolah-sekolah barat lebih fokus pada partisipasi pelajar dalam diskusi, menumbuhkan keingintahuan manusia bawaan dan mendorong pelajar untuk menantang gagasan. Pelajar melihat peran mereka sebagai kontributor, bukan hanya penerima dari apa pun yang dimuntahkan oleh instruktur di kelas. Konsep utama ditekankan dalam pola pembelajaran analitis, tetapi tidak terlalu banyak pada pengujian standar (standardized tests), seperti pelajar timur.
Sistem pendidikan timur dan barat ini juga menghasilkan varian karakter yang berbeda. timur menghasilkan individu-individu yang sangat menghargai hak istimewa mereka untuk mendidik diri mereka sendiri dan dengan demikian memiliki kecenderungan untuk memiliki cinta belajar seumur hidup. Sebaliknya mereka yang berkiblatkan barat mungkin hanya menilai nilai untuk nilai nominal dan tidak terlalu peduli untuk benar-benar mencerna apa yang mereka pelajari di kelas. Pelajar barat sering melihat individu sebagai entitas tunggal untuk penyelidikan, penemuan, dan kesuksesan.
- Implikasi 2: Sikap Terhadap Alam – aktif eksploratif di barat dan pasif eksploratif di timur
Pemandangan salah satu sisi laut di Mesir
Budaya barat menganggap alam sebagai objek yang bisa dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam menyikapi alam, kaum ini tampak aktif dan eksploratif. Sedangkan, budaya timur mendorong penganutnya untuk menghayati diri sebagai bagian dari alam. Kaum ini pun pendiam dan kontemplatif dalam menyikapi alam dunia, dan sebagian orang menyebut kaum ini sebagai peniti hidup yang pasif. Berkenaan dengan sikap terhadap alam, perbedaan mendasar ada antara pandangan timur dan barat. Pandangan timur tentang alam secara tradisional menganggap manusia dan alam semesta sebagai interaksi yang berkelanjutan – manusia adalah bagian integral dari kehidupan. Ini berbeda dengan gagasan dasar barat tentang manusia dan alam yang terdiri dari dua unsur yang berbeda dan saling bertentangan.
- Implikasi 3: Pandangan Terhadap Individu – hak individualis di barat dan hubungan eksternal di timur
Pemandangan salah satu masjid agung di Mesir
Budaya barat sangat memprioritaskan hak-hak individu, dan memberikan jaminan kebebasan pada setiap orang untuk menikmati haknya. Bagi kaum ini, “manusia sejati” adalah manusia yang dapat mencapai puncak dengan kegigihannya sendiri. Di timur, martabat manusia juga diakui, namun hubungan dengan orang lain dan kelompok lebih ditekankan; mengingat betapa pentingnya lingkungan karib bagi budaya timur.
Akibatnya, selama beberapa tahun terakhir, secara umum diyakini bahwa sementara budaya timur cenderung lebih kolektif, barat lebih berfokus pada individualitas. Secara teoritis, pola pikir timur individu tidak dipahami sebagai entitas yang unik tetapi bagian kecil dari masyarakat; garis besar atau gambaran yang lebih besar adalah yang terpenting, dan saling membantu sebagai kelompok adalah cara untuk “berhasil”.
Pola-pola ini cukup terlihat ketika orang timur berperilaku dalam masyarakat barat dan sebaliknya. Pendatang baru dari timur sering tiba di suatu tempat bersama keluarga atau teman mereka; Sesampai di sana, komunitas orang-orang yang sudah menetap dari negara asal mereka atau masyarakat serupa menunggu untuk menyambutnya. Sebaliknya, pendatang baru barat biasanya mendapatkan tempat sendiri dan tidak perlu mencari bantuan dari komunitas mereka; bahkan jika mereka melakukannya, mereka masih bertujuan untuk tujuan pribadi. Tidak aneh untuk mengetahui kedua jenis imigran tersebut mengalami masalah seperti integrasi dan kejutan budaya dengan cara yang sangat berbeda.
Mengkolaborasikan Pola Pikir adalah Kunci untuk Meluluhkan Perbedaan
Dengan ragam budaya dan pemahaman yang saling berseberangan, sebenarnya tidak menutup kemungkinan bagi para pencari ilmu untuk mengkolaborasikan sistem pendidikan kedua peradaban ini. Kedua sistem menghasilkan berbagai jenis hasil; keduanya memiliki kekuatan dan kekurangan mereka. Tapi yakinlah banyak yang bisa dipelajari dari satu sisi ke sisi lain – yang satu tidak pernah bisa terlalu ditentukan atau terlalu ingin tahu untuk dipersiapkan untuk sukses.
Ketika dunia menjadi lebih kecil, kolaborasi adalah kunci untuk perubahan struktural besar yang dapat meluluhkan pertentangan diantara kedua kubu. Namun, perjuangan untuk meluluhkan perbedaan tersebut membutuhkan kerja tim (teamwork), persatuan (unity), saling merawat (compassion), dan memiliki pandangan dalam hal pengembangan (common view). Hal-hal tersebut adalah cara untuk membantu menciptakan hubungan yang lebih baik dan menjaga nilai-nilai peradaban.
Tak kalah pentingnya, instropeksi dan melihat dari dalam juga sangat penting. Menganalisa diri sendiri dan merefleksikan tentang bagaimana sikap kita sendiri terhadap perbedaan peradaban dapat membantu membawa ide-ide yang berbeda ke garis depan, yang sangat penting untuk pengenalan aturan baru yang mengarah pada toleransi dan rasa hormat dalam masyarakat yang homogen. Keseimbangan di antara keduanya sangat penting.