Angga adalah orang pertama di garis keluarganya yang berhasil kuliah hingga sarjana, bahkan akhirnya lulus S2 di Skotlandia! Simak perjuangan Angga dari sudut Boyolali, menggapai beasiswa di ITB, hingga berangkat ke Edinburgh dengan beasiswa LPDP, dan bagaimana usaha, doa, dan mimpi tidak pernah mengkhianati hasil.
Pertama kali aku terpikir akan dunia yang luas adalah ketika banyak berjibaku dengan buku di perpustakaan sekolahku. Saat itu aku masih siswa SMP sekaligus pustakawan yang bertugas mencatat arus keluar masuk buku di perpustakaan sekolah. Tetralogi Laskar Pelangi, Harry Potter serta karya kang Abik punya andil besar dalam memantik semangatku untuk menjelajahi dunia yang luas. Aku benar-benar ingin bisa sekolah sampai ke luar negeri.
Sejak SMA, salah satu hobiku selain ikut organisasi dan kompetisi adalah main ke warnet untuk sekadar melihat pemandangan negara-negara Eropa. Bahkan aku sudah mencetak syarat dan ketentuan masuk kampus Oxford dan membacanya dalam perjalanan 30 kilo meter bolak balik untuk bersekolah. Meski alasanku memilihnya adalah sesederhana ingin bisa berada di kampus yang sama dengan Potter, tapi sensasi dan imaji untuk bisa berada di sana benar-benar menyihirku.
Aku seolah lupa bahwa untuk bisa bersekolah saja membutuhkan perjuangan yang berat. Bayangkan saja, ketika baru mengambil ijazah di SMP, aku langsung diajak orang tuaku menyambangi tempat kursus komputer agar tak perlu lanjut SMA karena keterbatasan dana. Ibuku sendiri berprofesi sebagai pedagang gorengan keliling dan Bapakku hanyalah pengrajin kecil-kecilan. Belum lagi dengan nilai ujian nasional SMA-ku yang jeblok (3.75 untuk matematika) aku sempat dibuat pesimis untuk bisa lanjut berkuliah. Kondisinya, aku tak mampu ikut bimbingan belajar seperti teman-temanku dan ribuan siswa SMA lainnya yang tengah sama-sama berebut kursi masuk ke perguruan tinggi. Beberapa buku bekas adalah satu-satunya senjata pamungkasku untuk belajar menghadapi ujian tulis masuk ITB kala itu. Belum lagi, aku sempat gagal di jalur undangan sebelumnya.
Sejak awal berkuliah, aku mulai serius menyiapkan studi paska sarjanaku dengan belajar bahasa Inggris secara mandiri. Berbagai buku mulai dari grammar, percakapan harian hingga tes TOEFL kubaca berulang kali. Mulai dari wallpaper ponsel dan media sosialku pun banyak dihiasi oleh logo dan pemandangan kampus Oxford untuk menjaga semangat. Sampai pada akhirnya, aku mengikuti mentoring Indonesia Mengglobal di tahun 2016 dan sadar bahwa banyak hal lain yang perlu kupertimbangkan dalam memilih kampus dan jurusan. Semisal, linearitas bidang studi, fokus riset, kondisi kampus dan lingkungan, serta berbagai faktor lainnya. Alhasil, dengan berbagai pencarian dan pendalaman yang aku lakukan, Edinburgh university kutetapkan sebagai tujuanku.
Di sisi lain, demi lebih mematangkan kesiapanku meraih beasiswa, aku rajin mencari dan mengkomparasi berbagai pilihan yang ada. Pada akhirnya, LPDP menjadi pilihan utamaku. Berbagai essay yang digunakan sebagai syarat pendaftaran pun mulai kubuat sebaik mungkin dengan berbagai referensi yang kutemukan di Internet. Selanjutnya, aku mengecek formulir isian CV yang kelak harus diisi oleh para pelamar beasiswa dari kemenkeu RI tersebut. Mulai dari pengalaman organisasi, paper, seminar, bekerja dan sebagainya mulai kucoba untuk isi satu per satu. Hal-hal yang masih kosong pun segera kulengkapi dengan mengikuti berbagai kesempatan. Contohnya, selama tingkat empat, aku membuat empat paper yang diikutsertakan di berbagai seminar ilmiah nasional di Solo, Surabaya dan Jakarta. Tak hanya itu, aku pun menambah pengalaman profesionalku dengan mengikuti magang hingga dua kali selama berkuliah di sebuah agensi di Semarang serta Kemenristekdikti Jakarta.
Setelah lulus, aku bekerja di Bekraf RI dengan jam kerja yang super padat dari pagi hingga hampir tengah malam. Tiap sebelum berangkat dan sepulang kerja, selalu kusempatkan diri untuk mempelajari ratusan soal TOEFL selama berulang kali dan mengikuti tesnya setiap bulan. Total empat kali aku ikut tes tersebut namun hasil yang keluar tidaklah cukup untukku mendaftar LPDP. Aku pun sempat nekat mendaftar LPDP gelombang keempat di akhir 2016 dengan jalur prestasi tetapi gagal. Percobaan pertamaku untuk mendaftar ke Edinburgh university pun ditolak pada tahun yang sama.
Untuk menyiapkan diri lebih matang, aku pun memutuskan untuk mengambil kelas intensif IELTS selama sebulan di kampung Inggris, Pare. Dalam satu hari, aku bisa berlatih speaking sekitar empat jam dengan kawan di sana serta mengerjakan beberapa paket soal IELTS. Hasilnya ujicoba ku pun cukup memuaskan, khususnya untuk bagian Listening dan Reading yang terus meningkat hingga mencapai angka 8. Seminggu setelah aku selesai belajar di sana, kuikuti tes IELTS dan beruntung hasilnya memuaskan.
Dengan essay yang lebih matang berkat revisi yang tak terhitung jumlahnya dari berbagai kawan-kawanku, sertifikat IELTS yang mumpuni serta kesiapan yang lebih oke, aku mulai mendaftar lagi ke Edinburgh University. Aku juga sempat mencoba mendaftar ke beberapa kampus lain sebagai perbandingan atas kapabilitas diriku. Sekitar sebulan lebih berselang, akhirnya aku diterima di kampus tujaunku tersebut serta tiga kampus lainnya. Dengan LoA yang sudah ditangan, maka targetku tinggal satu lagi yakni mendapatkan LPDP.
Aku mengikuti seleksi LPDP pada pertengahan 2017 dengan dokumen yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Seleksi administrasi dan online assessment berhasil kulewati hingga tinggal tahap terakhir yakni tes substansi. Aku memiliki tandem yang bersama membuat ratusan daftar pertanyaan dan jawabannya sebagai persiapan wawancara, serta mindmap mengenai berbagai isu untuk tes LGD dan Essay. Selain itu, aku pernah mencatat dalam satu hari berlatih wawancara dengan lima orang di tempat yang berbeda demi mematangkan persiapanku. Tes terakhir tersebut pun aku lalui dan akhirnya lolos beasiswa LPDP dan berkesempatan untuk berangkat S2 pada September 2018. Sesuatu yang benar-benar aku impikan sejak bertahun-tahun lamanya.
Lulus dari LPDP, aku dipercaya menjadi ketua angkatan dari PK-124 Arsa Candradimuka. Kemudian, aku pun berangkat ke UK saat kakiku luka lecet dan bengkak selama sebulan awal sehingga membuatku sangat kesulitan untuk berjalan. Beruntung, aku punya beberapa kawan baik dari Indonesia yang rajin menjenguk dan masak untukku di penginapan. Dari situ aku belajar bahwa kekeluargaan antar putra bangsa menjadi penting bagi siapa saja yang hendak belajar ke luar negeri.
Selain itu, aku pun sempat mendaftar sebagai salah satu kandidat PPI hingga sudah diminta foto untuk poster kandidatnya. Tapi, ketika para kandidat diumumkan, malah namaku tak ada. Jawaban dari panitia yang kudapatkan hanyalah rupanya panitia mengadakan seleksi internal dan tertutup mengenai ketokohan dan personal resilience dari para kandidat. Aku pun heran dari mana hal psikologi klinis tersebut dinilai jika yang kukumpulkan hanyalah video, cv dan essay. Entahlah. Tapi setidaknya aku bersyukur masih bisa membantu PPI tersebut di salah satu proker terbesarnya yang berupa konferensi internasional sebagai koordinator eksternal. Hasilnya, pendaftar untuk kegiatan tersebut meningkat dua hingga tiga kali lipat dari 17 negara, mendapat coveragedari puluhan media, serta surplus keuangan yang cukup besar. Selain itu, aku juga aktif di UN House Scotland sebagai volunteer graphic design dan membantu menyelenggarakan beberapa event seperti festival dan MUN.