Pelangi Sehabis Perang: Dari Pengungsi Timor Timur ke Professorship di Austria

1
3466

Sepuluh tahun yang lalu, Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Mereka yang memilih bergabung dengan Indonesia terpaksa menjadi pengungsi di masa krisis tesebut. Hidup di masa krisis dan harus memulai hidup baru di tempat baru tidaklah mudah. Namun, tantangan ini bukan berarti mimpi besar harus dikorbankan. Kontributor kami, Sherly, membuktikan itu. Eks-pengungsi Timor Timur ini kini tengah menjalani studi post-doktoratnya di Eropa. Pelangi sehabis perang, ia mengilustrasikan perjalanannya. Simak potongan pertama kisah Sherly di bawah ini.

Penetapan Dekrit Presiden, oleh Presiden BJ Habibie membingkai masa depan baru bagi anak anak Timor Timur, khususnya mereka yang memilih bergabung di NKRI dan harus eksodus ke wilayah Timor Barat dan Wilayah lainnya di Indonesia.

Sherly menyelesaikan kelas 6 nya di masa referendum 1999, di tiga SD berbeda di tiga pulau berbeda. Pada saat itu, situasi di Timor-Timur tidak begitu aman, termasuk Distrik Baucau dimana Sherly dan keluarganya bertempat tinggal. Sherly, bersama ibunya yang baru habis melahirkan, adiknya yang masih berusia 40 hari, 2 tahun, dan 8 tahun, bersama para sepupu, tante-tante, dan paman-pamanyanya, harus bermalam di rumah seorang lurah distrik Lospalos dua hari dua malam karena terlambat menumpangi kapal tujuan Ambon.

Ayah Sherly saat itu merupakan Ketua DPRD Distrik Baucau dan harus menyelesaikan proses perhitungan suara sampai selesai.

Perjalanan perahu motor ‘Lakoda’ pun berlaju dengan suasana hening tanpa airmata. Harta benda tidak dibawa kala itu, hanya baju dibadan, 2 potong baju, satu boneka, satu buku tulis dan pena. Sherly dan keluarga hanya bisaberusaha untuk tetap tenang, tersenyum, dan berdoa walau keadaan genting, tembakan berbunyi dimana mana, dan kalut dalam peperangan yang belum henti.

Setelah empat jam menyeberangi laut, sampailah mereka di pelabuhan pantai Nama, Kisar, Maluku Tenggara, untuk melanjutkan perjalanan dengan truk ke rumah sanak keluarga di Desa Oerata yang terletak di tengah pulau. Namun, perjalanan tidak berhenti di situ. Setelah menetap selama seminggu, Sherly, ibu, dan adik-adiknya melanjutkan perjalanan dengan perahu motor ke Pulau Roma, Maluku. Adik laki-laki Sherly dititipkan di kerabat di Desa Oerata untuk melanjutkan sekolah di sana.

2 April 2015, Sherly memenangkan the Medal of the Alltech Graduate Young Scientist`s Competition di Kentucky-Lexington, Amerika. Foto oleh penulis.
2 April 2015, Sherly memenangkan the Medal of the Alltech Graduate Young Scientist`s Competition di Kentucky-Lexington, Amerika. Foto oleh penulis.

Perjalanan dipenuhi hujan kencang dan gelombang dahsyat, air laut menggenangi perahu hingga selutut. Mendekati Pulau Roma pun tak mudah. Semakin dekat pesisir, teriakan p pun kian terdengar, menentang ada pelayar asing bersama penumpang memasuki Pulau Roma. Saat perahu berhenti 150 meter dari bibir pasir, penduduk dengan obor dan panahnya terlihat siap melawan. Penduduk mengira penumpang perahu ialah “Acang – saat itu, masih terjadi perang agama antara “Acang” (penganut agama Islam) dan “Obet” (pemeluk agama Kristen).

Para penduduk tidak ingin, jika para penumpang perahu adalah Acang, terjadi perang agama di Pulau Roma. Paman Sherly dan penumpang perahu akhirnya meneriaki kembali penduduk dengan Bahasa Roma bahwa mereka adalah Obet dan berasal dari dekat, akhirnya para penduduk pun, menurunkan sigapan panah mereka, dan membiarkan perahu berlabuh.

Kerabat di Pulau Roma sudah mempersiapkan tempat, salah satu rumah guru honorer, bagi Sherly dan keluarga. Rumah tersebut tanpa jendela, hanya kain tipis yang dipasang untuk melindungi dari percikan hujan dan angin malam, dan hanya berhias lampu minyak tanah, namun sudah cukup menenangkan bagi mereka.

Di pagi harinya, tanpa sarapan, mereka bergegas berjalan kaki 7 km melewati lembah, gunung, agar bisa sampai di Jerusu, pusat desa Pulau Roma. Mereka bergiliran menaiki kuda yang dibawa dan sesekali meminta kelapa muda dari penduduk sekitar untuk dimakan, hingga akhirnya bertemu dengan nenek dan kakek di Jerusu yang sudah lama menanti kedatangan Sherly dan keluarga.

Bersama dosen di Eropa. Foto oleh penulis.
Bersama dosen di Eropa. Foto oleh penulis.

Seminggu kemudian, Sherly dan adik-adiknya mencoba kembali melanjutkan kehidupan, dimulai dari kembali ke sekolah di Jerusu.  Setelah menyelesaikan Caturwulan 2, Sherly, ibu, dan kedua adiknya kembali ke Pulau Kisar untuk berkumpul kembali dengan ayah.

Ayah Sherly datang dengan berita bahwa Timor Timur memilih lepas dari Indonesia dan memutuskan Sherly dan adik laki-lakinya, Thony, sementara menetap di Desa Oerata untuk menyelesaikan studi caturwulan terakhir di tahun itu. Sementara, orang tua Sherly dan dua anak terkecilnya menuju Kota Kupang, mencari rumah dan mengurus SK Pemerintah Indonesia untuk bekerja sebagai PNS di pemerintahan dan sebagai guru, seperti karir mereka sebelum krisis.

Akan bersambung di bagian kedua pekan depan. Stay tuned!


BAGIKAN
Berita sebelumyaChasing Volunteering Hours in the USA
Berita berikutnyaMenaklukan Rasa Takut Lewat Organisasi
Sherly adalah dosen Magister Programme Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Sherly menyelesaikan studi doktoral di umur 29 tahun dengan durasi singkat 2.5 tahun di Institute for Geography, Friedrich Schiller Universität Jena Germany. Saat ini, Sherly sedang mengejar Professorship-nya di Eropa Barat dan Eropa Selatan melalui program post-doctorate di Departemen Geography dan Regional Sciences, Karl-Franzens Universität Graz, Austria dengan Awards, Österreischer Austauschdienst (OeAD) sponsor Austria. Sebelumnya, Sherly lulus dari program S2 Studi Lingkungan Universitas Gajah Mada.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here