Apabila ingin berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), maka siswa/i SMA di Indonesia harus mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan juga berbagai tes lainnya. Seperti yang diketahui, tes-tes tersebut sangat kompetitif dan menentukan nasib para siswa tersebut, di manakah mereka akan menempuh pendidikan tinggi untuk beberapa tahun ke depan. Pada artikel kali ini, kolumnis Alvin Qobulsyah akan berbagi cerita mengenai “suneung”, tes yang harus dijalani oleh siswa/i di Korea Selatan untuk masuk ke perguruan tinggi Korea Selatan. Apa yang berbeda dari suneung dan berbagai tes di Indonesia? Mari simak cerita berikut.
***
“Kami tak punya banyak kekayaan alam untuk jadi negara kaya. Itu kenapa hanya manusia, dan hanya manusia yang dapat membawa nama Korea Selatan ke muka dunia.”
-AA-
Ada yang berbeda di Korea Selatan setiap Kamis minggu kedua bulan November. Di hari itu pesawat terbang tak diizinkan mengudara seperti biasa. Beberapa penerbangan bahkan sengaja menunda jadwal terbangnya. Truk-truk besar nan bising pun dilarang melintasi jalan-jalan utama. Di hari itu juga jam kerja bisnis dan pelayanan publik dimulai lebih siang. Tujuannya? Agar pelajar tak terlambat tiba ke tempat tujuan yang istimewa. Para polisi pun bahkan menjalankan tugas ekstra mengantarkan siswa yang terlambat sampai di destinasi.
Ya, pada hari Kamis yang tak biasa itu sekitar 700 ribu pelajar Korea Selatan menjalani ujian “hidup mati” seleksi perguruan tinggi. Setiap tahunnya, selama kurang lebih sembilan jam maraton, para pelajar bertarung dengan ujian yang menentukan jalan hidupnya. Dalam ujian skolastik bertajuk suneung ini, kemampuan matematika, bahasa Korea, bahasa Inggris, sejarah, ilmu sosial serta bahasa asing kedua di luar bahasa Inggris diuji sampai level maksimal. Meraih nilai sempurna di masing-masing mata ujian, menjadi tiket emas menuju bangku kampus terbaik di negeri ginseng.
Adalah perguruan tinggi prestisius Korea Selatan yang menjadi tujuan para siswa ini. Tiga almamater ini adalah Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University yang populer dalam abreviasi “SKY”. Jajaran kampus elit di Seoul dengan passing grade tertinggi di Korea Selatan dan menjadi sumber utama pegawai konglomerasi Korea Selatan semisal Samsung, Lotte, dan lainnya. Di samping itu, SKY juga menjadi asal almamater para birokrat, menteri, hingga Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) asal Korea Selatan, Ban Ki-Moon. Ilustrasi situasi ini dapat disimak dalam drama seri “SKY Castle” yang sempat amat populer pada akhir 2018 hingga awal 2019 di Korsel.
Pelajar Korea Selatan terkenal sebagai pekerja keras dalam usahanya menduduki kursi pendidikan tinggi terbaik. Misalnya saja meskipun sekolah telah usai pukul empat sore, para pelajar di Korea Selatan akan melanjutkan studinya di pusat-pusat lembaga bimbingan belajar (hagwon) hingga pukul 11 malam. Dalam sehari rata-rata pelajar di Korea Selatan menghabiskan waktu 14 jam di ruang kelas dan tidur hanya 5,5 jam setiap malamnya.
Hasrat pelajar Korea Selatan untuk menempuh pendidikan tinggi adalah salah satu yang terkuat di dunia. Buktinya? Hingga tahun 2015, 83% pelajar di Korea Selatan berhasil melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di dalam negeri. Ini belum menghitung jumlah pelajar Korea Selatan di luar negeri untuk jenjang sarjananya. Di Amerika Serikat, mahasiswa asal Korea Selatan menduduki peringkat ketiga dalam hal jumlah mahasiswa asing terbanyak. Hanya kalah dari Cina dan India yang memang unggul jauh dalam hal populasi penduduk secara umum.
Tak seperti Indonesia, Korea Selatan tak diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah. Hampir seluruh sumber energi dan komoditi mentah industri dalam negeri harus diimpor dari luar Semenanjung Korea. Itu kenapa Korea Selatan dan masyarakatnya mafhum bahwa sumber daya manusia-lah yang harus diutamakan apabila ingin terus bertahan dan bergerak maju sebagai sebuah bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi salah satu instrumen utama mobilitas sosial warga Korea Selatan.
Ada alasan sejarah mengapa masyarakat Korea Selatan menghargai kemampuan akademik dalam menempuh ujian. Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), keberhasilan seorang anak menembus ujian seleksi pegawai kerajaan adalah kebanggaan besar bagi keluarga. Selain kebanggaan, posisi menjadi pegawai kerajaan juga berarti menjamin status sosial dan kesejahteraan bagi keluarga sang anak yang berhasil.
Meski pada masa itu sistem pendidikan modern belum ditemukan, para anak yang berjuang menjadi pegawai kerajaan juga telah mempersiapkan diri jauh-jauh tahun bersama tutor privat dengan berlatih mengerjakan ribuan soal ujian. Kultur ini bertahan hingga kini, dan secara umum warga Korea Selatan menghabiskan 25-30 tahun usianya untuk tekun belajar menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Dalam menyiapkan anak-anaknya menghadapi ujian seleksi masuk perguruan tinggi, orang tua pelajar di Korea Selatan tak pernah setengah-setengah. Dengan segala daya upaya, para orang tua memacu anak-anaknya untuk mengejar pendidikan tinggi. Misalnya, para orang tua bersedia membiayai lembaga bimbingan belajar seusai sekolah yang tersebar di sekitar 100 ribu lokasi seantero Korea Selatan.
Pada skala makro, budaya belajar ini memang mendorong kualitas kemampuan akademik pelajar Korea Selatan. Dalam Tes PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kualitas sistem pendidikan suatu negara dengan kemampuan daya skolastik pelajar usia 15 tahun, kualitas pelajar Korea Selatan menduduki peringkat satu dalam matematika, peringkat tiga dalam kemampuan membaca, serta peringkat lima dalam sains pada tahun 2015 sebelum akhirnya disalip Singapura. Adapun peringkat Indonesia sendiri ada di posisi ke-63 dalam matematika, ke-62 dalam sains, dan ke-64 dalam kemampuan membaca dari 70 negara yang diukur.
Sistem pendidikan ini juga jadi alasan bagaimana Korea Selatan yang merdeka di tahun yang sama dengan Indonesia dan sempat dilanda Perang Saudara mampu berlari mengejar kemajuan dalam percaturan kekuatan global. Meskipun sistem pendidikan ini dianggap menekan para pelajar, namun sistem inilah yang mengakomodasi keterbatasan fasilitas pendidikan Korea Selatan. Dalam sebuah ruang kelas Korea Selatan, seorang guru harus mengampu sekitar 40 siswa, jauh melebihi rasio ideal kelas-kelas di Eropa yang menjadi rujukan rasio ideal jumlah guru dan murid, yakni sepuluh siswa per ruang kelas.
Sistem pendidikan Korea Selatan yang berbasis hafalan memang bukan jaminan kesuksesan seorang pelajar dalam hidupnya. Masih ada beberapa aspek yang kini tengah dibenahi pemerintah Korea Selatan dalam sistem pendidikannya termasuk diantaranya kemampuan komunikasi, kolaborasi kerja tim, serta daya kreativitas yang kelak akan semakin menjadi tulang punggung revolusi industri generasi keempat.
Memang adalah sebuah tragedi bahwa Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri remaja akibat stres paling tinggi di dunia dalam perbandingannya dengan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Bunuh diri masih menjadi penyebab utama kematian remaja Korea Selatan berusia 9-24 tahun. Adapun penyebab bunuh diri ini dalam urutannya adalah kegagalan dalam ujian, masalah keluarga, kesulitan keuangan, dan kesepian. Setengah dari seluruh populasi muda Korsel berusia 11-15 tahun mengalami stres dan frustasi dalam usahanya meraih pendidikan tinggi sebaik-baiknya.
Tapi lagi-lagi ini adalah takdir sebuah bangsa, bahwa saat tak diberkahi kekayaan alam, maka sumber daya manusia harus diperkuat. Entah apa yang ada dalam hati pelajar Korea Selatan apabila melihat pelajar Indonesia tak bersungguh-sungguh menempuh pendidikan tinggi. Mungkin ada bisikan dalam hati kecil pelajar Korea Selatan, apa yang dapat diraih Korea Selatan apabila diberkahi kekayaan alam luar biasa seperti Indonesia dengan tekad belajar yang juga luar biasa, dan di sana seharusnya pelajar Indonesia dapat berkaca.