Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial diselenggarakan pada bulan Maret oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan semangat tersebut, artikel-artikel yang dimuat di wilayah Australia, New Zealand, dan Pacific Islands akan membahas kisah-kisah orang Indonesia yang studi dan berkarir di wilayah tersebut.
Kali ini, Yogi Saputra Mahmud (Content Director Indonesia Mengglobal untuk wilayah Australia, New Zealand dan Pacific Islands) berkesempatan untuk berbincang dengan Egia Arga Varhana mengenai pengalamannya dalam berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, serta kesempatan kerja yang setara saat mengikuti program Work and Holiday Visa (WHV) di Australia.
***
Hai Egi, boleh deskripsikan diri kamu secara singkat dong dan alasan kamu dalam mengikuti program Work and Holiday Visa (WHV) di Australia?
Halo, Indonesia Mengglobal. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang program WHV di Australia. Perkenalkan, aku Egi, asal Bandung yang sekarang tengah berada di Australia untuk mengikuti program Work and Holiday Visa (WHV, subclass 462). Aktualisasi diri adalah alasanku mengikuti program ini. Setelah berkarir selama tujuh tahun di sekolah sebagai staf dan pengajar, timbul perasaan ‘jalan di tempat’ dan stagnan. Ibarat sumur yang diambil airnya setiap hari, lalu kering, keinginan untuk menambah ilmu serta meraih kebebasan finansial menjadi tambahan motivasi untuk hijrah ke luar negeri.
Untuk saat ini, di mana kamu tinggal dan bekerja?
Saat ini aku tinggal di negara bagian Queensland, Somerset Regional Council, tepatnya di kota kecil bernama Kilcoy (sekitar 1,5 jam dari Brisbane CBD). Kota ini identik dengan abattoir (rumah potong hewan/pabrik pengolahan daging sapi) yang bernama Kilcoy Pastoral Company (KPC).
Di halal abattoir ini, aku bekerja sebagai staf slaughter floor dan packing. Sebelumnya, aku kerja dan liburan di wilayah Caboolture, sekitar 40 menit dari wilayah Kilcoy. Di sana, aku bekerja di perkebunan raspberries dan blueberries bernama Paradise Fruits sebagai pemetik buah.
Apa saja sih persiapan yang kamu lakukan untuk mendaftar program WHV di Australia?
Karena satu dan lain hal, aku mengalami proses yang panjang dan lama dalam tahap persiapan ini. Sejak 2016, aku mengumpulkan berbagai informasi tentang program WHV di Australia. Pada umumnya, terdapat tiga persyaratan utama, yaitu:
- Pendaftar di bawah usia 31 tahun;
- Memiliki Surat Rekomendasi Pemerintah Indonesia (SRPI)
- serta visa dari Kedutaan Australia.
Untuk SRPI sendiri, Direktorat Jenderal Imigrasi membuka pendaftaran daring di bulan tertentu saja. Untuk tahun 2020 ini, kemungkinan akan dibuka di bulan September. Di tahap ini, kamu harus mengunggah beberapa dokumen di situs web Imigrasi berupa:
- Kartu Tanda Penduduk (KTP);
- Paspor;
- Ijazah minimal Diploma III;
- Sertifikat IELTS minimal band score 4.5;
- Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK);
- Surat kepemilikan dana sejumlah AUD5000 atau setara 46 juta rupiah dari bank; serta pas foto.
Setelah lolos di tahap ini, kamu akan masuk ke tahap wawancara dan tahap pemeriksaan keaslian dokumen di Imigrasi Jakarta. Baru deh dapat SRPI alias si surat sakti.
Tahap selanjutnya kamu akan melakukan pemeriksaan medis atau medical check up di rumah sakit yang ditunjuk Kedutaan Australia dan mengunggah dokumen-dokumen di situs Kedutaan Australia berupa:
- Aplikasi daring terisi lengkap;
- Bukti biaya aplikasi visa sejumlah AUD485;
- Paspor;
- Pas foto;
- SRPI;
- Bukti kepemilikan dana;
- Ijazah;
- Sertifikat IELTS;
- serta hasil medical check up.
Selebihnya, tinggal menunggu email dari Kedutaan Australia. Apabila diterima, siap-siap menuju Straya dalam kurun waktu satu tahun setelah surat keputusan diterima!
Selain pengalaman berkarir secara profesional, apa saja pengalaman yang paling mengesankan di sana?
Selama kurang lebih 10 bulan di sini hingga sekarang, transformasi kepribadian menurutku menjadi hal yang paling berkesan hehe… Bukannya lebay, tapi sejak awal berkarir di perkebunan dengan sistem piece rate (dihitung berdasarkan buah yang kita petik) dan sekarang berkarir di abattoir dengan sistem hourly, membentuk ritme hidup tersendiri.
Kalau saat sistem piece rate, ya, kerja terserah kita, bisa santai atau bisa cepat. Kalau laid back, dapat uang untuk liburannya terbatas, sementara kalau sistem hourly, kita dituntut untuk kerja cepat dan tepat, tapi hasilnya setimpal. Di abattoir tempatku bekerja, kami dalam waktu 7.6 jam harus potong dan packing kurang lebih hingga 500 ekor sapi! Bahkan bisa lebih kalau sedang high season. Selebihnya, selain mendapatkan penghasilan dan liburan, program WHV bisa melatih kita untuk hidup lebih sehat, mandiri, hemat, dan disiplin.
Bagaimana dengan kehidupan sosial dan kultural di sana?
Di samping untuk pengembangan dan aktualisasi diri, selama di sini aku coba niatkan untuk melakukan pelayanan sosial pada masyarakat. Aku pun aktif di yayasan kanker yang bernama Cancer Council Queensland. Pada bulan Agustus tahun lalu, kami mengadakan acara Daffodil Day; semacam acara santunan dana serempak di seluruh Queensland. Kita menyebar di area publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kanker.
Dalam konteks komunitas diaspora Indonesia yang tinggal di Brisbane dan sekitarnya, bulan Februari lalu aku mengikuti acara dari The Indonesian Diaspora of Queensland dan Rotary Archerfield untuk malam dana kebakaran lahan di Australia. Acara ini dihadiri Pak Heru Subolo, sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Australia dan perwakilan Lord Mayor of Brisbane.
Pada kesempatan-kesempatan tersebut dan pada umumnya selama tinggal di sini, aku belajar bagaimana menghadapi banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, ras dan bahasa. Terlebih lagi, selama di sini aku tinggal berpindah-pindah tempat, seperti di kediaman diaspora Indonesia, Australia, Malaysia, dan terakhir ini di kediaman seorang muslim asal Bangladesh. Tinggal nomaden seperti itu membuatku percaya diri juga lebih mencintai dan menghargai diri sendiri.
Sebagai seorang minoritas dalam hal agama dan ras, apakah kamu pernah mengalami hal-hal diskriminatif selama di sana?
Hmmm… Aku enggak tahu apakah ini bentuk diskriminasi atau bukan, tapi pernah di suatu hari ada seorang warga Australia yang tampak tersesat dan bertanya kepadaku “CAN you speak English?” Duh… Hehe kesal campur lucu juga sih jadinya.
Tapi memang banyak orang bukan penutur Bahasa Inggris yang ‘terdampar’ di sini. Mungkin jadinya lumrah apabila timbul stereotip bahwa ras non-Kaukasia tidak mahir berbahasa Inggris. Oya, orang Kaukasia yang tinggal di Australia sebagian (sekali lagi, enggak semua ya) ada yang disebut bogans. Dalam beberapa kesempatan, beberapa dari mereka terkadang suka berkelakuan enggak wajar; misalnya swearing dan semau gue. Suatu saat, aku pernah tiba-tiba diteriaki oleh orang yang sedang menyetir tanpa alasan yang jelas. Bahkan, salah satu temanku ada yang dilempar botol bir, padahal temanku lagi hamil lho… Aku pun enggak paham juga alasannya apa.
Tapi, syukurnya di tempat kerjaku sekarang ada kebijakan Equal Employment Opportunity (EEO) yang mendukung gerakan kesempatan yang setara. Kebijakan di perusahaanku bekerja menjamin 18 keberagaman diantaranya gender, ras, dan agama. Jadi, perbedaan itu bukanlah masalah untuk berkarir di Australia. Yang penting kita bisa menunjukkan hal-hal baik dan tidak mempermalukan bangsa dan negara Indonesia.
Apa tips utama dari kamu untuk orang-orang yang berencana mendaftar program WHV?
Menurutku, selain doa orang tua, yang tak kalah penting adalah niat dan nyali hehehe… Bagi sebagian orang, tidak mudah untuk meninggalkan keluarga, pertemanan dan kehidupan yang relatif aman, serta zona nyaman pekerjaan di Tanah Air, untuk kemudian pergi ke tempat yang sama sekali baru dan asing. Nah, kalau dirasa mantap dan siap, bisa mulai mencicil kelengkapan dokumen-dokumen dan, kalau bisa, sudah dapat pekerjaan di Australia sebelum kita sampai di sana.
Berani? Best of luck, mates!
***
Egi is now preparing his Certificate in Teaching English to Speakers of Other Languages (CELTA) at University of Queensland (UQ), Australia. He graduated from English Department of UIN Sunan Gunung Djati, Bandung majoring in Literature. Teaching, cooking, and travelling will always be his raison d’être. Drop by to say ‘hi’ at id.paegi@gmail.com.
***
Foto-foto disediakan oleh Egia Arga Varhana.