Kala berkuliah di luar negeri, apalagi di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti di Eropa Utara, kita dituntut untuk pintar-pintar mengatur pengeluaran. Di artikel ini, kontributor kami Iqbal Fachrurrazie berbagi pengalaman dan tips mengatur pengeluaran sebagai seorang mahasiswa di Stockholm, Swedia. Menurutnya, biaya hidup di Stockholm setara seperti biaya hidup di Bekasi! Menarik bukan? Yuk, kita simak artikel di bawah ini!
***
Ah masa sih? Eits, jangan salah sangka dulu, yang dimaksud biaya hidup di sini konteksnya adalah biaya belanja kebutuhan sehari-hari. Eh, tapi kok bisa ya? Biaya-biaya yang lain bagaimana? Yuk, kita bahas satu per satu, dan mungkin tulisan ini juga bisa berguna untuk kalian yang tinggal di belahan bumi lainnya.
Sebelum berangkat, mendengar nama Stockholm saja sudah terbayang sebagai sebuah kota yang cukup mahal bahkan untuk ukuran Eropa. Tapi jalan takdir memang sudah menuliskan bahwa saya akan datang ke kota Eropa pertama di hidup saya ini untuk menimba ilmu. Setibanya saya di kota ini, selain udara sejuk nan segar yang menjadi penyambutnya, perbedaan mata uang dan kursnya juga menyapa saya dengan sangat hangat bahkan sedikit memberi shock therapy. Untuk bisa mengabari keluarga di Indonesia bahwa saya sudah tiba, saya membeli kartu SIM baru dan kuota sebesar 3GB seharga 115 SEK. By the way, Swedia memiliki Swedish Crown (SEK) sebagai mata uangnya dan kita akan menggunakan kurs 1 SEK = Rp1.700 untuk memudahkan konversinya. Artinya, kuota sekecil 3GB harganya hampir Rp200.000. Bagaimana, sudah cukup tercengang mengelus dada sambil memegangi dompet? Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit saya menemukan cara-cara bertahan hidup paling oke sebagai mahasiswa rantau di Stockholm, dan ternyata banyak hal baru yang mengubah cara pandang saya.
Kunci menghemat biaya hidup: masak sendiri!
Pertama, mari kita bahas biaya hidup untuk makan sehari-hari. Menjadi mahasiswa self-funded tentu memaksa saya untuk mengatur keuangan sepintar mungkin. Untuk urusan makan, kuncinya hanya satu, yaitu masak sendiri. Karena tidak hanya kuota internet, harga makanan jadi di Stockholm pun luar biasa mahalnya, kisaran 80-130 SEK alias Rp221.000 satu porsinya. Bisa dibayangkan kalau setiap makan kita beli makanan jadi di luar. Maka dari itu saya mulai membiasakan diri untuk selalu membuat rencana perihal makanan. Dari mulai apa saja yang harus disiapkan di pagi hari untuk sarapan hingga bekal makan siang untuk dibawa ke kampus. Untungnya microwave tersedia hampir di tiap gedung kelas, jadi kita bisa selalu menikmati makanan hangat untuk makan siang.
Dalam hal berbelanja bahan makanan pun harus rajin-rajin survey dan membandingkan supermarket mana yang harga barangnya paling murah. Sedikit riset dengan katalog masing-masing supermarket akan sangat membantu. Rata-rata mahasiswa di Stockholm berbelanja di Willys, Lidl, atau Hemköp karena tiga supermarket ini relatif lebih murah dibanding supermarket lainnya. Dengan cara ini, saya biasanya hanya menghabiskan 250-300 SEK/minggu atau sekitar Rp500.000. Jika ditotal, dalam sebulan biaya makan saya sekitar Rp1,5-2 juta. Ternyata, tidak banyak berbeda dengan biaya makan ketika saya sempat tinggal di Bekasi.
Oh iya, fun fact, kebanyakan orang Swedia berbelanja di supermarket, tapi untuk kalangan elit, mereka sering berbelanja di toko ”artisan” yang menjual bahan-bahan makanan tertentu dengan kualitas tinggi dan saat berbelanja akan ada pegawai dari toko tersebut yang menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut sesuai permintaan pembeli. Hmm, kok sepertinya konsep ini mirip dengan pasar tradisional di Indonesia ya? Semacam kebalikan dari apa yang ada di Indonesia, pasar tradisionalnya Swedia justru untuk kalangan elit.
Harga kos-kosan setara rumah dua lantai
Tentu kebutuhan manusia bukan hanya perihal pangan. Ketika berbicara perihal papan, barulah kita akan bisa merasakan perbedaannya. Saat ini saya tinggal di KTH Accomodation, student housing milik KTH Royal Institute of Technology. Bisa dibilang inilah kos-kosan termahal seumur hidup saya. Akomodasi berupa kamar tidur dengan kamar mandi dalam dan sharing kitchen yang bergabung dengan 13 penghuni lainnya dalam satu lantai, harus ditebus dengan harga 4.600 SEK atau Rp7,8 juta per bulannya. Kalau di Indonesia mungkin sudah bisa nyicil rumah dua lantai ya di pinggiran Jakarta ya, hehe.
Selama bisa gratis, kenapa bayar
Tapi terlepas dari itu semua, ada banyak trik lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk hidup di Stockholm. Orang Swedia menerapkan sustainability sebagai cara hidup, bukan hanya slogan untuk marketing saja. Misalnya, ada beberapa restoran di Stockholm yang menyumbangkan produk mereka yang tidak terjual pada hari itu melalui aplikasi bernama Olio. Biasanya jenis makanan yang sering dibagikan adalah roti-rotian dan kita hanya perlu membuat permintaan di Olio untuk kemudian mengambil makanannya secara gratis. Aplikasi ini rasanya sangat bermanfaat buat mahasiswa-mahasiswa seperti saya. Lumayan banget biasanya saya bisa gunakan makanan dari Olio untuk sarapan selama seminggu, jadinya lebih berhemat lagi deh.
Selain menghindari membuang makanan layak konsumsi, orang Swedia juga pantang membuang barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan. Maka dari itu banyak toko-toko barang bekas yang kalau kita tidak jeli bahkan kita akan mengira barang yang dijualnya baru, contohnya toko Myrorna. Bahkan hampir setiap student housing di Stockholm memiliki suatu tempat bernama Kostnix. Kostnix ini adalah recycling station yang memiliki waktu operasi tertentu dan bukanya satu minggu sekali. Seperti di akomodasi saya di daerah Lappkärrsberget, terdapat Kostnix yang bukanya setiap Senin malam jam 20.00-22.00. Di Kostnix ini kita bisa mendonasikan barang apapun yang sudah tidak terpakai lagi tapi masih bisa dimanfaatkan oleh orang lain, dan sebaliknya kita juga bisa mengambil barang apapun yang kita butuhkan dari Kostnix. Dari mulai baju, sepatu, jaket musim dingin, alat masak, alat makan, buku, bahkan bantal hingga selimut semua tersedia di tempat ini, for free!
Ubah pola pikir konsumtif
Tidak terasa cara hidup orang Swedia mempengaruhi saya untuk menerapkan pola yang sama. Selalu ukur dan takar kebutuhan makanan kita, jika memang tidak bisa dihabiskan, daripada dibiarkan hingga kadaluarsa dan kemudian dibuang lebih baik diberikan kepada orang lain. Dengan cara ini lah kita bisa jauh lebih menghargai makanan, mampu membeli makanan tidak berarti kita bisa seenaknya membuang makanan tersebut.
Kemudian jika kita butuh suatu barang, membeli barang baru di toko merupakan hal terakhir yang ada di pikiran, karena kita selalu bisa mencari barang bagus layak pakai di toko barang bekas. Bahkan kita juga bisa mendatangi Kostnix dan kita akan terheran-heran barang apa saja yang bisa didapat dari sana. Terakhir kali saya ke Kostnix, saya bawa pulang sepasang sepatu bola yang masih sangat layak pakai, dan ukurannya pas! Rejeki anak soleh… 😊
Setelah saya pikir-pikir, lebih dari separuh barang yang saya miliki sekarang ini merupakan barang bekas layak pakai atau bahkan pemberian dari orang. Sudah saya alami sendiri semenjak saya tinggal di Stockholm bahwa hasrat untuk belanja barang baru itu hanya keinginan semata, bukan kebutuhan, karena sebetulnya barang bekas pun masih bisa memberikan manfaat yang sama. Untuk dompet bisa lebih hemat, untuk lingkungan jadi lebih bersahabat, dan juga kita merasakan jadi bagian dari komunitas seutuhnya.
Berdasarkan pengalaman baru saya di Stockholm, saya rasa hal yang sama sangat mungkin untuk diterapkan di Indonesia. Bayangkan betapa hemat dan efisiennya hidup kita karena pada dasarnya biaya hidup di Indonesia jauh lebih terjangkau. Juga dengan budaya gotong royong yang kita miliki, harusnya lebih memudahkan dalam berbagi dan menjadi secara utuh sebagai sebuah komunitas.
Jadi, saya sudah buktikan sendiri bahwa mahal itu memang relatif. Dalam beberapa hal, biaya hidup di Stockholm masih bisa mengimbangi biaya hidup saya ketika tinggal di Bekasi. Bahkan saya rasa pola hidup justru menjadi lebih bernilai dan berkualitas. Dari yang sebelumnya tidak pernah memikirkan makanan dan membuangnya begitu saja, selalu membeli barang baru dan membuangnya jika sudah tidak digunakan, kini tidak lagi setelah merasakan tinggal di Stockholm dan turut menerapkan pola hidup yang sustainable.
***
Sumber foto: Jon Flobrant on Unsplash, Wikimedia Commons (link), dan koleksi pribadi penulis.