3 Hal Penting dalam Menyusun Proposal Riset untuk Calon Supervisor S3

1
7158
Foto oleh Stocknap. Sumber: Pixabay
Foto oleh Stocknap. Sumber: Pixabay

“Menyusun proposal riset untuk studi lanjut S3 memiliki tantangan tersendiri. Namun demikian, penyusunan proposal ini penting guna memulai pencarian calon supervisor/pembimbing studi S3. Bukan hanya itu, proposal riset juga penting bagi para calon mahasiswa S3 dalam mencari beasiswa, yang biasanya memerlukan proposal riset yang berkualitas.

Lavinia Disa, seorang kolumnis Indonesia Mengglobal sekaligus kandidat mahasiswa doktor di Monash University, Australia, membagikan 3 hal penting bagi para calon mahasiswa S3 dalam menyusun proposal riset yang efektif.”

***

Perjalanan aplikasi S3 saya dimulai di tahun 2019. Saya mengawali upaya dengan menyusun proposal riset singkat untuk diajukan pada calon pembimbing potensial di beberapa kampus di Selandia Baru dan Australia. Mengapa ini penting? Karena ikhtisar rencana riset inilah yang akan menjadi penentu apakah calon pembimbing akan tertarik dan memiliki kompetensi yang tepat untuk membimbing kita.

Beberapa pendaftar studi doktoral memang memilih untuk menyebutkan topik secara umum dalam surel perkenalan pada calon pembimbing. Namun, jika tertarik, calon pembimbing biasanya akan meminta kita mengirimkan gambaran singkat rencana riset kita, antara 1.500-3.000 kata saja (di luar daftar pustaka). Maka, penyusunan proposal riset singkat menjadi langkah penting di awal.

Kala itu, saya masih buta sama sekali. Proposal seperti apa yang harus saya tulis? Perlu sedetil apa? Saya hanya punya sebuah gagasan umum di kepala tapi kesulitan menjabarkannya. Oh, ya, jika teman-teman masih bingung mencari ide, silakan baca artikel ini tentang bagaimana menemukan topik riset.

Karena tidak punya rambu-rambu khusus, saya asal saja menuliskan proposal riset mengikuti kisi-kisi dari kampus pertama yang saya daftar. Sesuai dugaan, draft proposal pertama saya tidak terlalu memuaskan. Ketika saya ajukan ke calon pembimbing pun, beliau masih ragu untuk menerima saya. Akhirnya, saya hentikan dulu proses pencarian calon pembimbing agar fokus merombak proposal.

Kebetulan saya sudah punya cadangan topik yang sepertinya bisa ditulis dengan lebih matang. Kebetulan lainnya adalah saya mendapatkan e-book referensi berjudul “Writing a Proposal for Your Dissertation: Guidelines and Examples” oleh Steven R. Terrel. Saya langsung melahap buku tersebut dan merasa sangat terbantu. Dari buku tersebut, saya belajar bahwa terlepas dari formatnya, setiap proposal riset laiknya memiliki tiga elemen penting, yakni problem statement, background, dan significance.

Ebook karya Steven R Terrell. Sumber: Goodreads
Ebook karya Steven R Terrell. Sumber: Goodreads
  1. Problem statement

Setiap riset pada dasarnya bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah. Ini akan berkembangkan menjadi bagian dalam proposal yang berjudul ‘rumusan permasalahan’ atau ‘research questions’. Masalah dalam proposal bisa berdasarkan pengalaman (practical problem) atau teori di literatur (basic research problem). Menurut Terrel, setidaknya ada tiga karakteristik problem statement yang baik.

Pertama, masalah tersebut menarik bagi sang peneliti. Studi doktoral menghabiskan waktu minimal 3 tahun. Tanpa ketertarikan intrinsik akan masalah yang diangkat, kita bisa kesulitan menjaga stamina dan motivasi.

Kedua, ruang lingkup masalah yang akan diteliti harus cukup spesifik dan dalam jangkauan kemampuan peneliti. Misalnya, di proposal singkat saya, saya menjadikan akademisi di Indonesia sebagai partisipan target. Rupanya hal ini dianggap terlalu luas. Calon pembimbing di Australia menyarankan untuk fokus pada akademisi dengan latar ilmu TESOL dan Linguistik Terapan, sedangkan calon pembimbing di NZ merekomendasikan untuk mempersempit cakupan geografis partisipan.

Ketiga, masalah tersebut bisa diteliti dengan pengumpulan dan analisis data tertentu. Saat menyusun proposal, kita juga harus bisa membayangkan bagaimana cara kita dalam menginvestigasi masalah yang kita angkat. Biasanya ini akan ditulis sebagai ‘Metode Penelitian’. Metode ini tidak mesti final karena calon pembimbing akan memberi saran-saran penting. Hanya saja kita perlu punya gambaran awal tentangnya.

The literature. Sumber: ElasticCompute Farm from Pixabay
The literature. Sumber: ElasticCompute Farm from Pixabay
  1. Background

Latar belakang penelitian menyoroti bagaimana problem yang kita angkat diidentifikasi dan mengapa hal tersebut layak disebut sebagai sebuah ‘masalah’ penelitian. Ketika menulis bagian ini, saya memastikan bahwa alur berpikir saya runtut dan logis sehingga calon pembimbing percaya bahwa masalah yang saya bahas memang penting.

Yang saya lakukan adalah melakukan tinjauan pustaka. Sebagaimana saat menulis tesis S2, walau proposal ini relatif singkat, saya tetap meninjau literatur secara komprehensif. Hal ini saya lakukan karena di tahun 2018, saya sempat mendatangi Monash Doctoral Day di Jakarta dan seorang dosen Applied Linguistics, Dr. Howard Manns, membagikan observasinya bahwa tinjauan pustaka dalam proposal riset yang ditulis oleh calon mahasiswa S3 dari Indonesia umumnya kurang menyeluruh dan hanya mengutip artikel atau buku yang itu-itu saja, lalu diulang sepanjang proposal, bukannya melakukan sintesis.

Untuk menghindari kesalahan di atas, saya membaca pedoman singkat di situs Monash University tentang penulisan proposal riset. Saya belajar bahwa saat membaca sejumlah artikel ilmiah, saya harus bisa menemukan apakah peneliti lain sudah pernah menelaah masalah yang saya angkat. Jika sudah, saya juga perlu membandingkan studi-studi tersebut berdasarkan kerangka teori, sumber data, dan metode penelitian.

  1. Significance

Melalui proposal riset singkat, calon pembimbing juga ingin tahu apa manfaat dari meneliti masalah yang kita angkat. Umumnya, kebermanfaatan riset dilihat dari segi teoritis. Kita bisa mulai dengan pertanyaan, “Kalau sudah diteliti, bagaimana hasilnya dapat memperluas cakrawala pengetahuan di bidang ilmu kita?”. Selain itu, kebermanfaatan riset bisa bersifat praktis. Contohnya, hasil studi kita bisa dijadikan basis rekomendasi bagi pemangku kebijakan. Dalam pengalaman saya, saya tidak memerlukan referensi apapun saat menulis bagian ini. Saya tinggal mengelaborasinya dari background dan problem statement saya.

Kesimpulan

Berbekal rambu-rambu di atas, saya kembali menyusun proposal dengan topik baru dengan lebih yakin dan matang. Alhamdulillah, proposal riset saya langsung diterima dengan tangan terbuka oleh dua calon pembimbing di dua universitas yang berbeda.

Meski demikian, perlu diingat bahwa formula yang saya jabarkan mungkin tidak selalu bisa diaplikasikan untuk semua bidang ilmu, tapi setidaknya ada ‘arahan’ tentang bagaimana sebaiknya kita menyusun sebuah proposal riset untuk melamar calon pembimbing. Semoga artikel ini bermanfaat.

***

Editor: Yogi Saputra Mahmud

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here