Sampai hari ini, masyarakat Indonesia memiliki stigma tersendiri mengenai wanita yang berkarya di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Dari wanita yang tidak seharusnya “bekerja di lapangan” dan masih didominasinya bidang ini oleh laki-laki merupakan beberapa dari sekian banyak stigma yang berkembang di masyarakat yang kadang membuat wanita berpikir dua kali untuk memutuskan berkecimpung di bidang STEM. Kali ini, Yulina akan berbagi kisahnya selama berkarya di bidang STEM di Perancis dan bagaimana insight-nya bahwa stigma itu 100% salah.
———-
Halo Yulina! Perkenalkan diri kamu yuk ke para pembaca Indonesia Mengglobal!
Hai-hai! Nama saya Yulina Putriani Pranoto, saat ini sedang menjalani tahun kedua master jurusan Ocean, Atmosphere and Climate Science, Université Toulouse III – Paul Sabatier, Toulouse, Perancis, dengan fokus penelitian oceanography di wilayah ekuator (Pasifik – Indonesia – Hindia). Sebelumnya saya menempuh studi S1 jurusan Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus di tahun 2018 dengan topik skripsi dan peminatan yang sama.
Boleh diceritakan tidak bagaimana awal kisah ketertarikan kamu melanjutkan studi S2 hingga akhirnya berhasil melanjutkan studi di Perancis?
Jadi, keinginan untuk melanjutkan studi S2 sudah ada di diri saya sejak saya masih kecil.
Namun, sejujurnya saya tidak pernah sama sekali terpikir untuk melanjutkan studi S2 di luar benua Asia, apalagi Perancis! Sampai satu momentum di mana saya menghadiri salah satu kuliah dari Pak Agus, salah satu dosen saya, yang menjadi “aha moment” dan turning point saya untuk mencintai bidang peminatan saya ini. Kala itu, saya, mahasiswa semester 6 yang sedang mencari topik skripsi, mendengarkan pak Agus yang menjelaskan arus dari Laut Pasifik ke Samudra Hindia melewati Indonesia yang memegang peranan penting sirkulasi iklim dunia. “Wow, sepenting itu ternyata lokasi geografis Indonesia dalam memegang peranan penting iklim dunia! Menarik dan impactful sekali topik ini,” kata saya dalam hati. Selesai presentasi itu, saya langsung mendatangi pak Agus, menyampaikan keinginan saya untuk mengambil topik tersebut untuk skripsi saya dan keinginan saya untuk mendalami topik tersebut hingga S2 dan S3. Tidak disangka, pak Agus menyambut keinginan saya dengan penuh semangat dan serius, hingga akhirnya beliau membantu saya untuk melanjutkan S2 dengan topik yang sama di Université Toulouse III – Paul Sabatier di bawah bimbingan salah satu kolega beliau.
Wah, keren! Lalu, ada tidak struggle selama persiapan sebelum keberangkatan dan selama studi?
Salah satu struggle terbesar saya saat itu adalah persiapan sertifikat bahasa Perancis dan . Di momen saya sudah menerima LoA (Letter of Acceptance) dari calon pembimbing masaya, saya belum memiliki setifikat bahasa baik bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Walaupun saya sudah diterima, saya tetap harus memiliki sertifikat ini sebagai syarat administratif universitas. Bisa dibilang pengetahuan bahasa Perancis saya nol saat itu dan dengan persiapan satu tahun yang cukup singkat, Puji Tuhan saya berhasil memperoleh sertifikasi bahasa Perancis dan bahasa Inggris 2 minggu sebelum keberangkatan. Di awal studi, saya cukup struggle untuk beradaptasi dengan kalender akademik kuliah Perancis yang berbeda sekali dengan kalender akademik Indonesia, serta pengurusan berkas-berkas administratif lainnya. Selama studi, saya juga harus beradaptasi dengan perbedaan approach dari studi S1 saya yang lebih kualitatif ke studi S2 saya yang lebih kuantitatif.
Setelah menempuh studi selama 1,5 tahun di sini, apa sih perbedaan yang kamu rasakan ketika menjalani studi di Perancis dengan di Indonesia?
Salah satu yang saya rasa paling berbeda di Indonesia dan Perancis adalah hubungan dosen dan mahasiswa dan suasana perkuliahan. Di Perancis, dosen sangat baik, welcome, friendly, terbuka pada berbagai pertanyaan dan willing to help. Bahkan dosen di sini seringkali menawarkan bantuan lebih seperti konsultasi tambahan atau diskusi terpisah di luar kelas, ketika kita tidak paham suatu materi.
Hubungan dosen dan mahasiswa juga casual. Di sini, mahasiswa bisa dengan santai mengobrol dan mengajak dosen makan siang atau ngopi. Hal yang sama sekali berbeda dengan Indonesia di mana hubungan dosen-mahasiswa lebih formal, penuh hormat, dan rasa sungkan. Suasana kelas juga sangat berbeda. Di Perancis, kolega sangat open dengan diskusi dan pertanyaan di kelas.
Selain itu, sistem dan kalender akademik sangat berbeda. Di Perancis, ada beberapa kelas yang terkadang mulai lebih dahulu dan melaksanakan ujian akhir bahkan di tengah semester, sedangkan kelas lain baru dimulai di tengah semester. Berbeda dengan kalender akademik di Indonesia yang umumnya seluruh kelas dan ujian berlangsung di periode yang bersamaan dalam satu semester.
Berbicara soal topik Women in STEM, boleh donk cerita, bagaimana kira-kira perbedaan pandangan masyarakat Indonesia dan Perancis akan wanita yang berkecimpung di bidang ini?
Mengenai topik ini, banyak stigma yang berkembang di masyarakat Indonesia bahwa bidang ini banyak melibatkan aktivitas lapangan dan fisik sehingga selalu dihubungkan dengan pria. Padahal kenyataannya, banyak sekali lho aktivitas kunci dari ilmu ini yang dikerjakan di laboratorium! Sehingga kekuatan fisik (yang pada umumnya dikaitkan dengan pria) bukanlah suatu keharusan.
Selain itu, perbandingan siswa perempuan dan pria di bidang ini bisa dibilang hampir sama di Perancis, berbeda dengan di Indonesia yang masih didominasi pria. Bahkan di laboratorium saya di Université Toulouse III – Paul Sabatier, kebanyakan dosen yang bertanggung jawab adalah wanita. Selain itu, di Perancis juga tidak ada stigma di masyarakat seperti stigma yang ada di Indonesia.
Menarik! Nah, selama kamu berkarya dan mendalami bidang studi ini, pernah tidak kamu menerima discouragement dan bagaimana kamu mengatasinya?
Discouragement tentu saya ada. Bahkan, salah satunya datang dari ayah saya sendiri! Ini kembali ke stigma mengenai ilmu kelautan yang identik dengan pria, berkembang di masyarakat Indonesia. Well, ini salah satu hal yang juga membuat ayah saya khawatir mengenai aktivitas studi saya dan pekerjaan yang akan saya lakukan di masa depan.
Selain itu, juga adanya stigma bahwa S2 tidak penting dalam karir, atau perkataan bahwa saya tidak cukup baik untuk melanjutkan studi, lebih baik bekerja dulu dsb. Namun, saya tidak dengan mudah “termakan” stigma tersebut karena saya tahu betul mengenai bidang ini dan keinginan saya untuk melanjutkan studi. Sebaliknya, saya tetap percaya tentang apa yang saya ketahui mengenai bidang ini dan mendengarkan berbagai dukungan yang saya dapatkan dari orang terdekat saya.
Impressive! Sebagai penutup, share yuk kata-kata penyemangat kamu untuk wanita di luar sana yang sedang mempertimbangkan berkecimpung di dunia STEM!
Jangan pernah berkecil hati karena kamu perempuan! Percaya dengan diri kamu sendiri! Khusus untuk bidang saya, ilmu ini sangat luas dan sangat besar aplikasi serta dampaknya di Indonesia. Terus eksplorasi dan gali ilmu yang kamu minati, karena kamu pasti akan menemukan hal-hal menarik yang belum pernah kamu sadari atau ketahui sebelumnya. Dalami, hingga kamu memukan sesuatu yang menumbuhkan rasa cinta dan menjadi driving force kamu untuk terus berkarya di bidang tersebut. Dan ketika kamu menghadapi kesulitan, do not quit! Selama kamu mau dan selama kamu masih mampu, teruslah perjuangkan apa yang kamu percayai. Gender bukanlah batasan dalam berkarya di suatu ilmu, karakterlah yang membuat itu berbeda.
———-
Artikel ini ditulis oleh Ivone Marselina Nugraha, columnist IM Europe & UK, dan diedit oleh Haryanto, content director IM Europe & UK, hasil wawancara dengan Yulina Putriani Pranoto dengan profil:
Yulina merupakan Sarjana Ilmu Kelautan dari Institut Pertanian Bogor dan sedang menjalani tahun kedua dalam memperoleh Master of Science of Ocean, Atmosphere and Climate fokus disiplin oseanografi fisik (Pasifik, Indonesia, Hindia) di Université Toulouse III – Paul Sabatier, Toulouse, Perancis. Dia merupakan penerima beasiswa IFI Excellence dan saat ini sedang melakukan magang di LEGOS-OMP (Laboratory of Studies in Space Geophysics and Oceanography).
———-