Things I Wish I Knew before Getting a Master’s in the Pandemic

0
2713

Sebagai penerima beasiswa Chevening untuk studi MBA di University of Sheffield, UK, Angelina Arini mengalami beberapa gegar budaya, terlebih studinya dimulai saat pandemi Covid-19 tengah merebak. Dalam artikel ini, Angel membagikan beberapa tips yang sangat berguna untuk menjalani hari-hari sebagai mahasiswa S2 di Inggris.

 

Tulisan ini merupakan buah refleksi dari pengalaman saya selama tinggal di Sheffield, UK, selama hampir sembilan bulan di tengah pandemi. Ada banyak momen suka dan duka, campuran dari berbagai “what-ifs”, penyesalan, maupun juga keseruan dan hal baru yang saya alami.

Tulisan ini merupakan catatan dari pengalaman pribadi, jadi pastinya tidak berlaku secara universal. Tapi semoga tetap bermanfaat untuk teman-teman yang ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri di tengah pandemi.

 

Health and Well-being

Yang pertama jadi perhatian utama tentunya adalah kesehatan dan well-being. Tidak hanya kesehatan fisik, tetapi juga mental karena pandemi ini sungguh melelahkan.

 

Weston Park dan Norfolk Park: Senangnya di UK banyak taman kota yang cantik sebagai selingan
Weston Park dan Norfolk Park: Senangnya di UK banyak taman kota yang cantik sebagai selingan

 

Kelola Ekspektasi

Hal yang pertama ingin saya tekankan adalah mengelola ekspektasi kita sendiri. Sadari bahwa menempuh studi lanjut di luar negeri di tengah pandemi pasti akan sangat berbeda dari sebelumnya. Banyak hal yang akan membuat kecewa apalagi jika kita sudah punya ekspektasi tinggi untuk yang belum pernah tinggal di luar negeri. Saya baru bisa berdamai dengan kenyataan hampir enam bulan setelah tinggal di sini.

 

Winter Blues Is Real

Jauh dari keluarga, mengalami gegar budaya, ditambah musim dingin benar-benar membuat saya kewalahan. Selama musim dingin, saya benar-benar merasakan apa yang dinamakan winter blues. Tidak bisa tidur (padahal sebelumnya saya bisa tidur kapan pun dan di mana pun), tidak bersemangat melakukan apa pun, sampai berdampak buruk ke studi saya.

 

Bersama teman-teman di Sheffield, si penguat imun tubuh saya karena mereka selalu bikin hepi
Bersama teman-teman kesayangan di Sheffield, Mba Agatha dan Mas Fauzan, si penguat imun tubuh saya karena mereka selalu bikin hepi

 

Tip saya adalah: Pahami dan patuhi protokol kesehatan (prokes) di negara tujuan, kelola ekspektasi, minum vitamin C dan D untuk menjaga imun tubuh, gunakan aplikasi seperti “Calm” atau “Headspace” untuk membantu pola tidur, dan konsultasi dengan Well-being Advisor tentang kondisi kita. Jadi, penting banget untuk cari tahu di mana kita bisa akses Well-being Advisor di kampus. Buat saya, buku “Filosofi Teras” juga sangat membantu untuk mengatur ekspektasi.

 

Life in the UK

Saya jumawa karena sudah pernah hidup mandiri di Jakarta sejak umur 19 tahun, dari hidup susah sampai mendingan. Tapi, tinggal di luar negeri sendirian itu adalah a whole new level of independency. Saya harus membiasakan diri hidup tanpa segala kenyamanan yang dulu saya dapatkan di Jakarta. Awalnya terasa berat semua dilakukan sendirian: memasak, mencuci baju, berbelanja, dan bebersih kamar pun harus diimbangi dengan waktu belajar yang sangat intensif. Oleh karena itu, saya membuat rutinitas dan melakukan time blocking supaya semua urusan bisa berjalan lancar.

 

Academic Life

Ini tiga poin penting saya dari menjalani studi Master di UK:

Baca, baca, baca

Studi Master di UK sangat menitikberatkan pada seberapa banyak kita melakukan studi mandiri di luar kelas. Biasanya, di awal modul perkuliahan kita akan diberikan daftar bacaan yang seabrek sebagai referensi di modul tersebut. Dosen saya pernah bilang bahwa lectures yang didapatkan di kuliah hanya memiliki bobot sebesar 10% dari pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu, penting banget untuk banyak membaca.

Tip saya adalah lihat reading list dengan lebih strategis. Setelah itu praktikkan strategi membaca yang efektif. Sadari juga bahwa karena bahasa Inggris bukan bahasa ibu kita, pasti kita akan butuh waktu lebih lama untuk memahami jurnal dan artikel ilmiah. So, don’t beat yourself up. Selain itu, membuat catatan dari bahan bacaan juga sangat membantu ketika menulis referensi untuk tugas. Saya menggunakan Mendeley sebagai reference management tool supaya referencing bisa dilakukan dengan lebih efektif. Untuk tip membaca akademis juga banyak dikupas di Indonesia Mengglobal, salah satunya di artikel ini.

 

Menulis esai dan berpikir kritis

Selama mengenyam pendidikan di Indonesia, saya tidak terbiasa dengan menulis dan berpikir kritis, karena pembelajaran lebih ditekankan pada kemampuan menghapal mata pelajaran. Maka, bulan-bulan awal di UK terasa sangat sulit, apalagi rata-rata tiap modul dinilai 100% dari satu tugas akhir (coursework) yang berkisar antara 2.000-4.000 kata. There’s no turning back.

Apalagi, evaluasi pertama-tama yang saya dapatkan dari dosen adalah saya masih kurang kritis dalam esainya. Jika bisa diulang, saya akan benar-benar mempelajari buku “Academic Writing: A Handbook for International Students” oleh Stephen Bailey sebelum memulai perkuliahan. Setelah berkonsultasi dengan dosen, ekspektasinya adalah kita menulis dengan singkat, padat, dan jelas. Untuk berpikir kritis, gambaran sederhananya adalah susun argumen, aplikasikan teori ke dalam isu yang kita bahas, sertakan kutipan dari jurnal sebelumnya (baik yang mendukung maupun kontra), setelah itu evaluasi dan berikan justifikasi mengapa kesimpulan itu yang kita ambil.

 

Studi daring sangat melelahkan

Berkuliah di tengah pandemi memang membawa tantangan tersendiri. Khususnya untuk kehidupan akademik. Hampir 80% perkuliahan saya dilakukan melalui daring. Menurut saya, kuliah daring itu jauh lebih menantang. Yang pertama, screen time yang tinggi lebih cepat menguras energi. Yang kedua, godaan untuk tidak menyimak pelajaran jauh lebih besar, apalagi saya tidak diwajibkan untuk menyalakan kamera. Yang ketiga, minim interaksi dengan teman sekelas.

Untuk saya yang mengambil jurusan MBA, ini sangat melelahkan karena selain studi yang sangat padat (kuliah Senin-Jumat dari pukul 09.00-17.00 dan dilanjutkan dengan studi kelompok), banyak modul yang membutuhkan partisipasi aktif dari mahasiswa. Ditambah lagi, rekreasi saya biasanya lagi-lagi melihat layar (baik scrolling media sosial maupun binge-watching Netflix). Tip saya adalah melakukan time blocking dan melakukan kegiatan selingan seperti jalan-jalan di taman, membaca buku, olahraga, atau ngobrol dengan teman seapartemen.

 

Merayakan selesainya tugas kelompok dengan makan di luar
Merayakan selesainya tugas kelompok dengan makan di luar

 

Money

Ketika sedang berbelanja di UK, secara tidak sadar pasti pikiran saya akan melakukan konversi dari poundsterling ke rupiah secara otomatis. Dulu di Jakarta, saya tidak pernah berpikir panjang untuk memesan layanan ojek online, baik untuk mengantar ke kantor jika sedang bangun kesiangan, maupun memesan makanan di akhir pekan.

Berbeda dengan di UK. Seumur-umur tinggal di Sheffield, baru satu kali saya pernah memesan pesan antar untuk makanan. Itupun bareng teman dan memakai voucher diskon. Saya pernah hanya melihat menu pesan antar selama satu jam, namun berakhir dengan ke Tesco terdekat untuk membeli bahan makanan dan masak sendiri. Di sini, sekali makan + ongkos kirim + tip (opsional) setara dengan belanja groceries selama satu minggu. Itu masih di UK. Kalau dikonversi ke rupiah, sekali pesan di UberEats atau Deliveroo, setara dengan menu makan mewah untuk satu orang.

Apalagi jika kita punya rencana untuk berlibur ke beberapa kota atau menabung untuk hidup setelah kembali dari studi, jadi harus buat anggaran dari awal nanti uang bulanannya mau dialokasikan ke mana saja.

 

Senyum lebar karena berhasil mengunjungi Edinburgh, kota tercantik di UK
Senyum lebar karena berhasil mengunjungi Edinburgh, kota tercantik di UK

 

Ini beberapa tip saya supaya keuangan lebih sehat dan berbelanja atau hedon sedikit bisa lebih tenteram:

  1. Jika mau konversi, konversilah dengan UMR di masing-masing negara. Jika ingin lebih relatable, coba konversi dengan gaji waktu di Indonesia dan uang bulanan selama di negara tujuan
  2. Cari tahu kisaran biaya hidup di negara yang dituju, kalau di UK ada UKCISA atau bisa juga pakai situs seperti Numbeo
  3. Buat budget berdasarkan referensi biaya hidup yang disesuaikan dengan gaya hidup kita seperti apa
  4. Evaluasi anggaran dan sesuaikan
  5. Cari pekerjaan part-time untuk tambahan penghasilan
  6. Baca atau dengar cerita teman tentang tip mereka untuk berhemat di negara tujuan. Salah satu yang saya suka banget adalah artikel Indonesia Mengglobal yang ini.

 

General Takeaway

Berkaca dari pengalaman saya di atas, membuat rencana untuk kehidupan perkuliahan sebelum memulai kuliah itu akan sangat membantu supaya kita lebih fokus dan puas dengan hasilnya.

  1. Pikirkan dulu apa yang mau didapat dari studi lanjut (apakah pengalaman baru, koneksi, menabung yang banyak, atau lainnya)
  2. Setelah itu, bangun rencana dengan fokus dari hasil yang mau kita dapatkan
  3. Pahami bahwa untuk mencapai rencana tersebut, ada trade-off atau pengorbanan yang harus kita lakukan (misalnya saya mau fokus nabung dan aktif di kegiatan mahasiswa, maka saya sadar bahwa jalan-jalannya tidak akan seheboh dengan teman-teman yang tidak punya prioritas yang sama)
  4. Set your boundaries and don’t bite more than you can chew
  5. Realistis dan tidak membandingkan dengan pencapaian teman-teman yang lain, karena sejatinya we are work in progress. Selama ada progress-nya, jangan lupa berterimakasih juga ke diri sendiri

Semoga refleksi saya bisa bermanfaat dan teman-teman bisa mendapatkan pengalaman yang jauh lebih maksimal ketika studi lanjut di luar negeri ya. Meskipun memang jauh dari harapan awal, kuliah S2 di UK itu tetap merupakan pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup.

 

*All photos are provided by the author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here