“Pandemi virus COVID-19 secara global mengakibatkan akses antarnegara menjadi sulit karena pengetatan yang dilakukan guna mengurangi penyebaran virus tersebut. Imbasnya, para mahasiswa Indonesia yang memulai perkuliahan di tahun 2020 harus melanjutkan proses belajar melalui daring yang tentu tidaklah mudah.”
“Salah satu mahasiswa yang merasakan imbas pengetatan ini adalah Nisrina Ikbar, penerima beasiswa LPDP tujuan studi Master of TESOL, Monash University, Australia. Namun demikian, resiliensi Nisrina membuatnya tetap berprestasi di masa perkuliahan daring di kampus Australia tersebut. Simak pengalaman dan strategi penting dari Nisrina untuk tetap berprestasi di masa pandemi berikut ini.”
***
Awal perjalanan Nisrina dan beasiswa di kampus Australia
Halo semuanya! Perkenalkan, saya Nisrina dari Malang, Jawa Timur. Saya adalah guru Bahasa Inggris yang berpengalaman mengajar di berbagai institusi formal maupun informal, baik secara luring maupun daring, selama kurang lebih 6 tahun. Sebenarnya, ketertarikan saya dalam bahasa Inggris dimulai sejak saya menempuh pendidikan di SMK Negeri 4 Malang saat saya bergabung dalam ekstrakurikuler bahasa Inggris. Di situ lah saya merasa bahwa belajar bahasa Inggris sangatlah challenging dan seru. Karena itulah, setelah lulus SMK, saya memutuskan untuk melanjutkan studi S1 di Universitas Negeri Malang (UM) jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2015.
Selama berkuliah S1, selain bekerja sebagai guru privat bahasa Inggris, saya juga cukup aktif dalam berbagai organisasi seperti Duta Hijab Radar Malang pada tahun 2016 dan berbagai kegiatan seminar beasiswa kuliah keluar negeri, salah satunya adalah beasiswa LPDP. Setelah lulus dari Universitas Negeri Malang pada tahun 2019, saya pun memutuskan untuk mendaftar seleksi beasiswa LPDP karena ingin sekali melanjutkan studi dengan jurusan Master of TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) di Monash University, Australia.
Sebenarnya, banyak sekali pertimbangan dalam memilih kampus tujuan untuk belajar Master of TESOL ini hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk studi di Monash University Australia. Pertama, karena Education di Monash University Australia adalah yang nomor 1 di Australia berdasarkan ARWU Rankings dan nomor 15 berdasarkan QS Rankings. Berbagai mata kuliah yang ditawarkan di dalam jurusan ini pun melibatkan teori dan praktik mengajar yang kontemporer sehingga saya merasa cocok sekali dengan jurusan dan kampus ini. Selain itu, ketika akan daftar LPDP, saya rajin sekali membaca blog dan melihat video-video YouTube para awardee-awardee beasiswa yang pernah berkuliah Master of TESOL di Monash University Australia, yang mana pada akhirnya membuat saya lebih yakin dan termotivasi untuk melanjutkan studi saya di sini.
Pandemi dan perkuliahan daring
Pada awalnya, saya tidak mempermasalahkan berkuliah secara daring karena sudah bersemangat sekali untuk menimba ilmu di Monash University, Australia. Hari-hari saya berkuliah dipenuhi dengan rasa semangat dan bahagia, diselimuti harapan dan angan akan segera berangkat ke negeri kangguru tersebut. Pemerintah Australia pun pada saat itu berkata bahwa mereka akan segera membuka border-nya sesegera mungkin, termasuk border Internasional.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kekhawatiran kapan ini akan berakhir karena ternyata pemerintah Australia semakin ketat terhadap penanganan dan pencegahan COVID-19. Mereka masih tidak mau membuka border-nya. Sehingga, munculah perasaan sedih, khawatir, dan kecewa karena mungkin merasa bahwa apa yang diusahakan selama ini sia-sia. Tidak jarang saya menangis dan merasa lelah. Akan tetapi, bukan berarti saya menyerah. Saya tetap berusaha bersemangat dan mengingat kembali bahwa sebenarnya motivasi utama saya adalah menuntut ilmu. Jadi, saat ini, saya pun sudah terbiasa dengan keadaan ini. Malah, saya bersyukur masih bisa diberikan kesehatan, berkumpul bersama keluarga, dan bisa melakukan banyak hal positif lainnya.
Tantangan yang dihadapi serta resiliensi Nisrina untuk tetap berprestasi
Selama kuliah daring ini, banyak sekali tantangan yang saya hadapi. Pertama, tantangan dari dalam diri. Karena saya merasa kecewa dan sedih, terkadang saya tidak bisa fokus dan kritis dalam mengerjakan tugas. Banyak sekali pikiran-pikiran negatif dan aneh yang terus berdatangan. Saat hal-hal itu terjadi, saya banyak-banyak berdoa dan percaya bahwa “there is always a rainbow after every storm,” meski entah kapan itu. Saya pun juga mencoba menyibukkan diri dengan cara bergabung dalam berbagai organisasi, seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) dan PPIA Victoria, serta ikut serta dalam berbagai kegiatan online yang disediakan oleh kampus, seperti English Connect dan Trivia Night dari Monash Graduate Association dan lain sebagainya. Saya berusaha untuk menyalurkan energi dalam diri saya ke hal-hal yang positif dan terus berkarya, dibandingkan dengan terus merasa sedih.
Kemudian, tantangan kedua adalah kesulitan bekerja kelompok dengan teman-teman sekelas. Sebenarnya, Monash University sendiri sudah memiliki fasilitas yang lengkap. Sehingga, saya tidak kesulitan untuk belajar online, berkonsultasi dengan dosen dan academic advisor, serta mencari bahan-bahan untuk tugas. Namun, perbedaan waktu antara Indonesia, Australia, dan negara-negara lain, membuat saya cukup kesulitan untuk memilih waktu yang tepat untuk berdiskusi kelompok dengan teman-teman sekelas. Selain itu, karena tidak dapat berkumpul di Australia, kami hanya bisa berdiskusi via Zoom dan Google Docs. Namun, lambat laun, rasanya, hal tersebut tidak menjadi masalah karena selain Monash sendiri sudah menyediakan akun Zoom premium untuk semua mahasiswanya, saya dan teman-teman pun sudah memahami satu sama lain dan dengan efektif berdiskusi walau hanya via daring.
Prinsip saya adalah saya harus selalu berusaha melakukan yang terbaik walau dalam situasi yang kurang baik. Ketika dihadapkan dengan kondisi ini, saya pun tidak mau jika malah malas-malasan atau mengerjakan tugas seadanya. Saya ingin ada sesuatu yang bisa saya banggakan walau saya tidak dapat berangkat ke Australia, meskipun hal itu sulit sekali untuk dilakukan.
Pada awalnya, saya tidak menyangka akan mendapatkan nilai sempurna pada saat studi di Monash University ini karena memang sudah bertaraf Internasional dan materinya jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Awal-awal semester satu dahulu, saya pun pernah mendapatkan nilai D (Distinction) dengan banyak komentar dosen di dalamnya. Namun, justru saya banyak belajar dari komentar-komentar dan feedback para dosen pada saat itu sehingga saya mampu mengerjakan tugas yang Insya Allah lebih baik lagi di setiap semesternya. Memang ketika mendapatkan banyak komentar dan kritik dari dosen, rasanya sedih sekali. Padahal merasa sudah mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Saya pun waktu itu menangis dan takut mengecewakan LPDP, tapi setelah saya pikir-pikir kembali, saya masih bisa berusaha lebih keras agar hasil akhir saya memuaskan.
Pesan Nisrina untuk para pembaca tentang #CelebratingResilience
“Try to see the good in every situation even though it is difficult.”
Memang lebih mudah untuk melihat kebaikan atas sesuatu ketika kita sedang bahagia. Berkuliah secara daring bukanlah sesuatu yang buruk. Bukan juga jika berkuliah daring membuat kita dicap sebagai orang yang tidak beruntung. Coba ingat-ingat lagi, bukankah dapat menimba ilmu di sekolah/ universitas impian adalah suatu keberuntungan dan keberkahan? Tidak semua orang dapat menimba ilmu di sekolah/ universitas.
Bukankah berkuliah dari rumah tidak membatasi kita untuk terus belajar dan berkarya? Banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dapat kita ikuti secara daring, bahkan secara gratis. Jadi, gunakan waktu dan tenaga yang kita miliki sekarang dan salurkan mereka untuk hal-hal positif. Jangan fokuskan diri kita kepada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Usahakan apa yang masih bisa diusahakan. Jangan lupa berdoa, karena Allah Maha Kuasa, bisa mengubah situasi buruk menjadi baik kapan saja.
***
Editor: Yogi Saputra Mahmud