Beberapa kali menemui kegagalan dalam mendaftar beasiswa magister ke luar negeri, Anisa Arifin, kontributor Indonesia Mengglobal menceritakan kisah jatuh-bangunnya saat mencoba mendaftar ke berbagai beasiswa, mulai dari LPDP, Chevening, dan AAS. Anisa tidak menyangka bahwa perjuangannya berakhir manis dengan diterimanya ia sebagai mahasiswa MSc Industrial Engineering and Management di Uppsala University, Uppsala, Swedia, dengan beasiswa penuh dari Swedish Institute. Mari kita simak kisahnya!
Saya tidak pernah membayangkan bisa melanjutkan pendidikan S2 di salah satu negara Skandinavia, Swedia.
Saya yakin bahwa Allah SWT tidak pernah meninggalkan saya dan tidak ada yang tidak mungkin sampai kita menyelesaikannya sekali lagi. Memperbesar kapasitas pribadi akan membuat kita siap ketika ada kesempatan datang menghampiri kita. Orang bilang saya beruntung tapi yang saya lihat adalah kesempatan bertemu dengan persiapan dan doa. Mungkin ada cerita orang lain yang mulus dan lurus untuk mendapatkan yang dia inginkan-misalnya beasiswa, tapi di kehidupan saya, itu bisa jadi sebuah perjalanan yang menarik. Karena masing-masing kita itu unik!
Disclaimer: Semua poin yang diceritakan adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Apabila ada perbedaan informasi dimungkinkan karena adanya perubahan informasi pada sumber atau kesalahan ingatan. Apabila ada pertanyaan atau feedback bisa langsung menghubungi saya! Saya berharap semoga minimal ada satu ada dua poin yang bermanfaat untuk Anda ya! Salam semangat! \m/
–
Saya memulai perjalanan mencari beasiswa ke jenjang magister sejak sebelum saya memulai tugas akhir di jenjang S1, sekitar tahun 2013. Dan sejak saat itu, saya merasakan naik dan turunnya roda kehidupan. Walau setiap aplikasi saya ke sekolah hampir selalu diterima (mungkin maksimal 2% yang ditolak karena kurangnya jumlah kredit mata kuliah), saya masih kesulitan menembus aplikasi beasiswa sampai ke tahapan terakhir. Saya pernah mendaftar ke Australia Awards Scholarships, Chevening, dan pastinya, LPDP. Ada beberapa aplikasi beasiswa lainnya juga seperti Monbukagakusho Scholarship, StuNed Scholarships, dan Fulbright yang sudah saya siapkan kelengkapannya, tapi belum sempat saya submit karena kurang yakin pada diri sendiri. Dan dari beasiswa yang saya ikuti, baru LPDP yang memberikan saya kesempatan untuk lanjut dari tahapan administrasi ke tahap berikutnya (wawancara dan Leaderless Group Discussion-LGD). Itu pun saya gagal di percobaan yang pertama pada tahun 2014.
Di tengah perjalanan mencari beasiswa sana-sini, di penghujung tahun 2014, Allah mengirimkan kabar baru, saya mendapatkan penawaran untuk bergabung di laboraturium penelitian di Taiwan dan Korea Selatan dan saya harus memilih. Selain sebagai penggemar K-wave, saya juga melihat etos kerja orang-orang Korea dan hal tersebut yang membuat saya mengambil kesempatan pergi ke Korea Selatan pada tahun 2015-2016. Dan setelah kembali ke Indonesia, saya bergabung dengan sebuah perusahaan konsultan IT sebagai seorang projek manager. Saya masih merasakan nyala api semangat untuk melanjutkan sekolah. Atasan di kantor juga sangat mendukung saya. Jadi, di sela-sela kesibukan di kantor, saya masih punya waktu untuk merancang strategi dan mempersiapkan sekolah.
Kebetulan, orangtua saya kenal salah satu pewawancara LPDP yang merupakan dosen di kampus saya dulu. Saya berkesempatan berdiskusi dengan beliau. Ada dua hal yang sangat mengena dari pertemuan kami, pertama, bahwa kita harus tahu diri kita dan siapa yang sebenarnya dicari oleh beasiswa yang kita kejar. Apakah seorang pemimpin? Apakah orang-orang pemenang perlombaan tingkat nasional atau bahkan olimpiade? Memahami karakter atau ’siapa’ yang dicari akan mempermudah kita menilai dan mempersiapkan diri kita. Dan pesan yang kedua adalah, ”Beasiswa nggak cuma LPDP, Mbak. Tenang aja, kalau rezeki nggak kemana. Lakukan semaksimal yang kamu bisa”. Sayangnya, saya merasa belum siap untuk mendaftar LPDP periode IV tahun itu dan menunggu tahun depan. Oke, artinya, waktu yang cukup untuk bersiap. Saya lebih rajin dan aktif mengikuti kegiatan sukarelawan mengajar anak SD di daerah perbatasan, pelosok, dan daerah tertinggal. Saya juga membuat pekumpulan sukarelawan sendiri bersama rekan kantor, dan juga bergabung dengan kegiatan sukarelawan online milik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada akhir tahun itu juga, saya kebetulan menghadiri sebuah seminar pendidikan Swedia di kampus saya dan mulai berkenalan dengan beasiswa Swedish Institute (SI) dan Swedia, sebuah negara yang belum pernah terbayangkan ada di mana dan ada apa di sana. Dari pertemuan dan diskusi dengan narasumber, saya mendapatkan info lebih lanjut mengenai kampus dan pilihan beasiswa yang feasible untuk saya. Tanpa membuang kesempatan yang ada, dengan percaya diri dan ingin mencoba, saya langsung mendaftar Swedish Institute Study Scholarships (SISS) dan pilihan pertama saya adalah jurusan Ilmu Komputer di KTH Royal Institute of Technology, Swedia. Sebagai lulusan Teknik Informatika dan besar di lingkungan kampus, mengambil jurusan yang linier dan bercita-cita menjadi dosen menjadi bekal untuk menulis esai yang cukup impactful, pikir saya. Itu adalah strategi yang hampir selalu saya pakai saat membuat esai dan itu saya lakukan kembali pada aplikasi SISS 2017. Hasilnya? Yes, another rejection! Ditambah lagi dengan adanya pengurangan kuota awardee SI pada tahun itu sekitar 50% untuk Indonesia.
Saya putar otak, harus ada yang diubah! Saya tidak bisa berputar di lubang yang sama atau saya akan mendapatkan hasil yang sama sekali lagi. Saya masih punya waktu yang cukup sampai pendaftaran LPDP 2017 dibuka. Tujuan saya masih ke Inggris, The University of Manchester (UoM). Sambil menunggu, saya semakin gencar menyelami mesin pencarian, ‘belajar’ dari yang sudah pernah gagal dan berhasil mendapatkan beasiswa. Dari yang saya temukan, sebenarnya tidak banyak hal baru, hanya penerimaan saya saja yang berubah. Ada beberapa hal yang ingin saya garis bawahi seperti (1) lebih baik kalau kita punya daftar beasiswa dan sekolah yang kita incar. Kemudian, (2) kita breakdown persyaratan apa saja yang diperlukan beserta timeline-nya, kemudian (3) ditarik mundur ke hari di saat kita membuat catatan. Jadi akan lebih clear apa saja yang kita butuhkan dan waktu yang kita miliki. (4) lebih mudah apabila kita merangkumnya dalam satu file Excel dan (5) jangan lupa untuk memantau progress kita. (6) pastikan juga kalau kita tidak mepet men-submit kelengkapan data dan dokumen dengan batas akhir pendaftaran misalnya.
Pada satu kesempatan, ketika berkunjung ke kampus lama, saya bertemu seorang senior yang sudah lolos LPDP di tahun sebelumnya. Tentu saya juga mencoba menggali tentang bagaimana pengalaman beliau sampai mendapat funding tersebut dan apa ada saran untuk saya. Cukup lama kami berdiskusi bersama teman-teman yang lain, tapi ada satu hal yang masih terngiang dan cukup membuat saya termenung: ”tujuanmu itu bukan sekolah, tapi mau apa setelah sekolah”.
Oke, di kesempatan kedua mendaftar ke LPDP, saya merasa lebih siap dan saya merasa tahu, ’saya mau apa’. Saya menerapkan semua tips dan trick yang saya dapat. Pekerjaan saya saat itu dan pengalaman saya selama setahun di Korea juga bisa menjadi poin plus, pikir saya. Sambil menyibukkan diri dengan pekerjaan dan klien, saya juga masih les bahasa Inggris. Saya mengantongi conditional LoA dari UoM karena writing skill pada IELTS saya masih 6 walau overall sudah 6,5, sedangkan UoM memberikan syarat writing skill minimal 6,5. LPDP tidak memberikan syarat untuk memiliki full-offer LoA saat pendaftaran, jadi saya masih ada waktu. Pertengahan 2017, pendaftaran dibuka dan seperti yang sudah saya harapkan, saya lolos tahap tes online dan administrasi. Langkah berikutnya adalah wawancara dan LGD.
Pada tahap kedua ini, tes dilakukan terpusat di beberapa wilayah perwakilan, salah satunya Surabaya, dan saya berkesempatan bertemu dengan para pelamar beasiswa lainnya. Ternyata, setelah saya berkenalan dengan teman-teman kelompok LGD, salah satu peserta adalah seorang jurnalis asal Surabaya yang akan melajutkan sekolah ke KTH, Swedia. Sebenarnya saya tidak terlalu ingat atau lebih tepatnya menghapus ingatan tersebut karena, sekali lagi, LPDP menolak saya. Rasanya, harapan saya untuk lanjut sekolah mulai runtuh akhir tahun itu.
Dalam situasi yang cukup terpojok, saya menata dan mengumpulkan kembali niat dan semangat saya. Saya lebih jujur terhadap diri sendiri dan lebih ikhlas menerima hasil apa yang datang. Saya merenung kembali atas serangkaian naik dan turunnya perjuangan mencari beasiswa ini. Saya berkaca bahwa sebenaranya saya lebih suka berdiskusi dan menghadapi klien daripada membuat koding, saya lebih suka berdiskusi dengan tim saya, saya bisa membuat aplikasi tanpa mengoding walau saya juga tetap keep up dengan perkembangan teknologi yang ada. Saya suka pekerjaan saya, saya menemukan passion saya! Saya secara sadar mengetahui bahwa saya perlu belajar ilmu projek managemen, produk, bisnis, agility, dan sebagainya yang selama hampir dua tahun ini saya pelajari secara otodidak saat mengerjakan pekerjaan. Menurut saya, selalu ada yang kurang dari pelayanan terhadap klien atau dalam me-manage tim. Sepertinya saya menemukan kepingan saya yang hilang! Keputusan untuk mendaftar ke SBM ITB dan aplikasi saya untuk SISS 2018 lebih saya fokuskan terhadap ’siapa saya’. Untuk SISS sendiri, saya mengerucutkan pilihan saya ke program magister di bidang industrial management, innovation, dan entrepreneurship.
Setelah merenung dan berdiskusi dengan keluarga, di penghujung 2017, saya memutuskan untuk keluar dari tempat kerja saya. Ada tiga pilihan yang saya miliki saat itu, (1) mencari pekerjaan yang lebih stabil, (2) kalau masih ingin mendapatkan beasiswa, maka kesempatan terakhir saya adalah bersiap mendaftar SISS 2018, atau (3) kalau tidak dapat beasiswa maka saya harus mendaftar ke sekolah bisnis SBM-ITB. Benar, saya resign bukan karena sudah mendapat pekerjaan baru, tapi karena ketidakpuasan diri dengan kondisi. Ayah saya memberi penekanan, “Umurmu sudah nggak muda lagi”. Tapi lebih dari sentilan tentang umur, saya lebih penasaran tentang saya ini sebenarnya mau apa? Apa yang saya perlukan? Untuk mendapatkan yang saya perlukan, saya harus apa? Di sisi lain, aplikasi saya ke beberapa perusahaan IT terkemuka di Indonesia mendapat respon yang baik. Ada angin segar menghampiri saya sepertinya. Mereka memberikan saya kesempatan untuk ikut seleksi pertama sampai dengan wawancara user. Tapi dugaan saya salah, sekali lagi, saya kembali menghadapi email-email penolakan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sembari menerima email tersebut, saya juga ‘membelah diri’ untuk pendaftaran SISS 2018 dan juga menghubungi pihak SBM-ITB hahaha…
Website Swedish Institute
Kriteria yang dicari oleh SI secara umum adalah seseorang yang (1) berasal dari negara yang mereka pilih, (2) memiliki pengalaman kerja minimal 2 tahun, dan (3) memiliki pengalaman kepemimpinan yang kuat. Persyaratan IELTS pun mengikuti persyaratan dari kampus yang kita pilih, dan kabar baiknya adalah saya memiliki cukup nilai karena batas minimal dari kampus yang saya pilih adalah overall band score 5,5-6. Selain itu, ada lima tahapan dalam proses seleksi beasiswa SISS 2018 yang secara detail tertuang di website resmi mereka. Seingat saya proses seleksi 2017 dan 2018 agak berbeda, dan sebagai catatan, terhitung sejak 2019, nama beasiswanya berubah menjadi Swedish Institute Scholarships for Global Professionals (SISGP). Kurang lebih, prosesnya seperti ini:
- Proses pertama adalah pendaftaran program magister yang sudah dimulai sekitar bulan Oktober sampai pertengahan Januari tahun berikutnya. Kalau di Indonesia prosesnya mirip dengan proses masuk perguruan tinggi negeri. Ada formulir yang harus kita isi maksimal empat program master (SISGP memiliki daftar program yang eligible untuk kita pilih) yang bisa dipilih berdasarkan prioritas melalui website University Admissions. Sebagai tambahan informasi, masing-masing program memiliki kuota dan passing-grade. Jadi penting untuk memilih program tersebut dan memastikan kita bisa memenuhi persyaratan masing-masing program. Pilihan pertama saya adalah program master Industrial Management and Innovation di Uppsala University. Nantinya, untuk memvalidasi pilihan kita, pada akhir proses, kita harus membayar 900 SEK (sekitar 1,5 juta rupiah) yang akan diberikan waktu sekitar dua minggu setelah batas akhir submit pilihan program magister. Selama proses pendaftaran ini sampai pengumuman kelulusan program magister (poin 3 di bawah), kita bisa menerima feedback dari jurusan yang dituju, seperti permintaan tambahan dokumen, tambahan informasi, atau bisa juga penolakan. Berita baiknya, sampai tahap ini saya aman.
- Berikutnya, pendaftaran beasiswa SI dimulai sekitar pertengahan hingga akhir Februari. Waktu yang terbatas sekitar dua minggu hari kerja biasanya cukup menyita hati dan pikiran. Ada beberapa kelengkapan dokumen yang harus kita siapkan. Dan belajar dari pendaftaran SISS 2017, saya sudah bersiap dari akhir tahun sebelumnya. Sebagai catatan, beasiswa SI adalah beasiswa yang mudah dan murah tapi harus teliti dalam prosesnya. Semua dokumen yang diperlukan, keterangan tambahan, kriteria yang dicari ada lengkap di website-nya. Apabila ada yang kurang jelas, pendaftar bisa mengirimkan email ke panitia. Tapi pastikan kita sudah mencari informasi itu di semua halaman termasuk di FAQ–nya, ya. Kita juga tidak perlu menambahkan hal-hal yang tidak diminta atau aplikasi kita gagal. Jadi penting untuk fokus ke hal-hal yang diminta saja. Ada lima dokumen penting yang perlu diperhatikan:
- CV sesuai template yang diminta dan tidak lebih dari tiga halaman
- Dua surat referensi yang salah satunya harus berasal dari tempat bekerja sebelumnya sesuai template, ada tanda tangan dan stampel basah
- Surat Proof of work and leadership experience sesuai template yang diberikan, ada tanda tangan dan stampel basah
- Passport atau KTP, dan
- Surat motivasi sesuai format yang diberikan. Seingat saya, pada aplikasi SISS 2018, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab langsung di pada portal pendaftaran dan yang unik adalah jumlah karakter yang terbatas. Pada surat motivasi ini, biasanya akan ada pertanyaan berhubungan dengan mengapa beasiswa SI, universitas yang dituju, mengapa harus saya, dan apa yang akan dilakukan awardee setelah menyelesaikan S2. Yang menariknya lagi, jawaban tersebut harus dikaitkan dengan salah satu atau dua dari tujuh belas Sustainable Development Goals milik PBB.
- Tahap berikutnya adalah SI screening and evaluation before admissions. Setelah memastikan semua persyaratan yg diminta dan mengirimkan dokumen-dokumen tersebut, awardee hanya bisa menyerahkan sisanya ke Yang Maha Kuasa. Hanya doa yang bisa kita lakukan karena semua usaha sudah kita maksimalkan sebelumnya. Terdengar klise, tapi ’pasrah’ adalah satu-satunya yang bisa dilakukan.
- Sekitar awal April, awardee dan SI akan mendapatkan notifikasi dari University Admissions berkaitan dengan aplikasi program magister kita. Artinya, hanya aplikasi mereka yang mendapatkan kursi (conditionally admitted, bukan berstatus reserves atau placed on the waiting list) yang akan dipertimbangkan oleh pihak SI untuk bersaing memperebutkan kursi beasiswa.
- Finally, evaluasi terakhir berdasarkan persyaratan yang disebutkan di website dan pengumuman.
Pengumuman beasiswa SI biasanya dilakukan di akhir bulan April. Sesuai timeline yang diberikan, seharusnya saya mendpatkan info ini sekitar tanggal 26 April 2018. Tapi sampai tengah malam saya cek email masih belum ada informasi apapun. Saya sudah pasrahkan apa yang akan terjadi, toh kalau rencana ini tidak berhasil, saya sudah bersiap melanjutkan diskusi saya dengan pihak SBM-ITB di Jakarta. Tapi Allah berkehendak lain. 27 April 2018 sore sebelum adzan maghrib, ada sebuah notifikasi di HP. Sebuah email berjudul ”SI Scholarship Offer 2018” masuk dari nama pengirim yang terlihat agak asing, dengan ejaan yang tidak biasa dan ekstra titik di huruf vokalnya. Saya masih membaca sekilas email tersebut tanpa ekspektasi berlebih. Saya buka laptop untuk membaca lebih jelas. Saya tunjukkan ke kedua orang tua saya, dan jatuhlah kami ke lantai, sujud syukur atas jawaban yang kami minta beberapa bulan terakhir, atau lebih tepatnya beberapa tahun terakhir itu.
Beasiswa SI ini menanggung semua kebutuhan kita sebagai mahasiswa internasional (atau istilahnya non-EU citizen dan fee-paying student) mulai dari uang semesteran dan biaya bulanan sebesar 10.000 SEK. SI juga akan memberikan biaya transportasi sebesar 15.000 SEK yang dapat digunakan untuk perjalanan dari dan ke Indonesia ke Swedia. Tapi perlu dicatat bahwa kita harus membayar semua tiket kita dari Indonesia ke Swedia terlebih dahulu. Setelah sampai di Swedia kita bisa datang ke perwakilan SI di masing-masing kampus untuk mengambil kartu debit dari SI yang sudah berisikan uang transportasi dan dua kali uang bulanan. Kaya mendadak hehehe…
Lantas apa yang terjadi setelah email pemberitahuan dari SI tadi? Pertama-tama saya diminta untuk mengonfirmasi keputusan saya untuk menerima beasiswa tersebut dengan syarat dan ketentuan yang terlampir di surat kontrak, maksimal satu minggu setelah email dikirimkan. Selain itu, pihak kampus mulai mengirim email dan memperkenalkan diri. Secara exclusive, kepala program magister saya menyapa semua mahasiswa baru melalui email. Pihak kedutaan Swedia di Jakarta bersama dengan Study in Sweden juga secara aktif mengundang para penerima beasiswa SI dan yang mendapatkan kursi di salah satu program magister di Swedia tahun itu untuk hadir ke acara persiapan keberangkatan. Di sana, kami mendapatkan semua info tentang apa saja yang perlu dibawa, persyaratan residence permit, dan bertemu teman-teman yang akan menjadi keluarga baru nantinya. Di kesempatan itu saya juga baru sadar bahwa H&M, Skype, Spotify, Electrolux, Scania, IKEA, dan beberapa perusahaan lainnya adalah perusahaan asli Swedia!
Foto bersama teman-teman penerima beasiswa SISS 2018 saat mengikuti persiapan keberangkatan oleh pihak Study in Sweden dan Kedutaan Swedia di Jakarta
Saya berangkat ke Swedia tanggal 24 Agustus 2018 sore dan sampai di Bandara Udara Arlanda, Stockholm keesokan paginya waktu setempat. dan petualangan baru pun di mulai! Seperti apa sih? Pastinya nggak selamanya indah seperti update mahasiswa yang kuliah di luar negeri yang di-posting di sosial media karena ada banyak deadline tugas, review paper, dan ujian, apalagi perbedaan iklim yang cukup extreme. Posisi Swedia yang ada di bagian utara bumi membuat perbedaan panjang waktu siang dan malam yang sangat jauh pada musim panas dan musim dingin. Tapi, akan selalu lebih banyak yang disyukuri karena saya juga mendapat teman, keluarga, dan pengalaman baru di Swedia, termasuk melihat Aurora borealis di balik jendela kosan dan magang di Spotify!
Jadi pesan untuk saya dan siapa saja yang membaca, jangan takut untuk mencoba dan jangan mudah putus asa. Selama kita mau berusaha dan belajar dari kesalahan, Allah SWT pasti akan kasih jalan. Seperti pengalaman saya kemarin, saya minta ke Inggris tapi ternyata Allah kirim saya ke Swedia dulu. Apa yang akan terjadi nanti? Caba saja dulu! Sekali lagi, salam semangat!
–
Jangan lupa, pendaftaran beasiswa Swedish Institute 2022 sudah dibuka ya! Langsung cek website mereka di Swedish Institute Scholarships for Global Professionals 2022!