Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

0
1284
Ratih in Berkeley, Spring 2023 (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Berapa lamakah waktu yang sepantasnya didedikasikan pada persiapan menempuh Ph.D di luar negeri? Sebelum mempersiapkan diri, apakah masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan? Dalam tulisannya kali ini, Ratih Ayu Apsari membagikan refleksi seputar apa saja yang ia lakukan saat mempersiapkan aplikasi program Ph.D dan juga mengajak pembaca memikirkan lebih lanjut apa arti dari persiapan itu sendiri.

***

Beberapa kali mengisi persiapan studi master dan Ph.D., ke luar negeri, saya sibuk membuat peta jalan persiapan berikut strategi untuk melakukannya dengan baik. Saya akan membagikannya dalam tulisan ini, tapi sebelum itu saya ingin berbagi perasaan di balik layar. Ketika melihat presentasi saya yang tertata dan jelas langkahnya satu per satu, lama-lama saya justru bertanya kepada diri sendiri: apakah semua yang saya sampaikan benar saya lakukan? Jawabannya tidak. Proses yang saya lalui tidak ideal. Saya belajar dari kesalahan, lalu menimbang-nimbang apa yang seharusnya saya lakukan. Berhubung saya tidak suka bermain “bagaimana-jika” pada sesuatu yang telah berlalu, alih-alih menyesali, saya sisipkan pesan kepada yang membaca – atau mendengarkan.

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Salah Satu Halaman Pada Presentasi Ratih yang Menjelaskan Persiapan Ph.D.

Sewaktu saya melamar beasiswa S2, saya tidak banyak mendapat akses informasi tentang studi ke luar negeri. Saya mendaftar beasiswa pun karena ditawarkan rekomendasi oleh dosen dan jurusan, karena saya yang naif waktu itu berpikir mendaftar beasiswa hanya boleh dilakukan jika mendapat rekomendasi. Tidak sampai di sana, saya juga tidak tahu kampus yang menjadi tujuan waktu itu adalah lima puluh besar dunia. Sampai ketika sebulan sebelum keberangkatan salah satu teman satu program menginformasikan – ia pun sama terkejutnya.

Selesai S2, saya menjadi dosen kontrak penuh semangat. Jika teman-teman ingat dosen muda di jurusan yang selalu eksis di segala kegiatan, itu mungkin serupa dengan yang saya lakukan. Selain senang (dan bersyukur pada kesempatan) bekerja, saya juga tidak punya banyak pilihan untuk menolak. Dengan banyaknya pekerjaan dan komitmen penuh untuk melaksanakan yang terbaik, saya jadi mengenal lingkungan yang lebih luas, senior-senior yang menginspirasi, dan atasan-atasan yang mendukung penuh. Tapi tentu tidak mudah mengatur waktu untuk meningkatkan kompetensi personal dan profesional, sementara saya tahu saya butuh itu untuk melanjutkan studi Ph.D. Maka lagi-lagi persiapan tidak ideal menjadi jalan yang saya tempuh.

Waktu Terbaik

Kalau saya membagikan perjalanan beasiswa saya yang sebenarnya, maka jalur ceritanya akan menjadi sebagai berikut. Saya memang ingin melanjutkan S3 sejak lama– tapi tidak tahu kapan waktu terbaik untuk melanjutkan studi. Banyak yang bilang, saya terlalu muda untuk melanjutkan studi. Saya seharusnya menikah, menjadi PNS, dan menduduki jabatan tertentu – baru kemudian S3. Dilalah hidup tidak garis lurus. Akhirnya, saya mendaftar beasiswa pertama kali di tahun 2018– setelah gagal menjawab pertanyaan dosen senior saya: Apa yang membuatmu tidak melanjutkan studi? (pertanyaan ini diperhalus, tapi esensinya sama). Tidak ada alasan khusus mengapa saya mengundur kuliah, selain karena saya menggunakan standar ‘waktu yang tepat’ versi orang lain.

Ternyata, ternyata tidak ada waktu terbaik yang mutlak bagi semua orang. Apalagi saya menempuh Ph.D. di Amerika Serikat yang notabene membuka peluang bagi lulusan S1 untuk langsung lanjut Ph.D. tanpa melalui Master. Tidak ada yang terlalu tua pun terlalu muda.

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Ratih dan Beberapa Teman Sejawat: Tidak Pernah Terlalu Tua atau Terlalu Muda Untuk Kuliah Lagi

Lalu kapan waktu terbaik itu? Bagi saya, waktu yang terbaik adalah ketika saya siap secara akademik dan emosional. Ketika saya tahu apa yang saya ingin pelajari dan bagaimana saya ingin mempelajarinya. Ketika saya tahu bahwa pengalaman saya selama ini, baik yang berasal dari pengalaman kerja profesional, lingkungan sosial, maupun hasil belajar formal, non-formal, dan informal membentuk saya menjadi seorang akademisi yang berkarakter. Ketika saya tahu nilai dan kebermanfaatan yang bisa saya lakukan bagi bidang yang saya tekuni dan kemanusiaan pada umumnya. Ketika saya tahu bahwa tidak ada alasan tertentu yang menghalangi saya untuk melakukannya saat ini.

Persiapan Semalam vs Seumur Hidup

Saya tidak pernah merekomendasikan persiapan sistem kebut semalam. Bukannya apa, saya tahu rasanya. Baik menulis proposal, menyiapkan essai, mendaftar beasiswa hingga mengikuti tes terkait beasiswa, saya pernah lalui dengan persiapan tidak ideal. Faktornya beraneka ragam, mayoritas urusan pribadi dan bukan sengaja saya lakukan. Jika mendengar cerita asli persiapan studi saya, ada kesan seolah saya melakukannya dengan sihir – selesai dalam satu malam. Tapi sama halnya dengan legenda, tergantung bagaimana cerita itu diceritakan dari masa ke masa. Pada beberapa teman, saya sampaikan ceritanya dengan penuh, dengan harapan tidak ada kesalahan tafsir. Berhubung tidak bisa saya lakukan dalam media publik, saya akan ceritakan bagian lain yang luput dari simpulan: menulis berkasnya mungkin satu malam, tapi mempersiapkan apa yang ditulis sudah saya lakukan dalam beribu malam. Katanya, Roma tidak dibangun dalam semalam – sementara konon Candi Prambanan iya. Tapi kita lupa, bagaimana legenda selalu jadi bagian dari cerita rakyat. Mungkin ada kearifan yang tidak kita sadari untuk menjelaskan makna “satu malam”. Seperti halnya bagaimana saya yang terlihat menyiapkan studi dengan sekali jentik.

Membangun Pengalaman

Persiapan saya yang paling lama adalah membangun pengalaman. Siapa saya dan bagaimana saya ingin mendefinisikan keilmuan saya. Saya berprofesi sebagai dosen dan terlibat dalam berbagai tugas yang tidak semuanya relevan dengan apa yang menjadi tujuan personal saya. Untuk itu, saya terlibat dan menginisiasi program-program yang sifatnya sukarela dan sesuai dengan portofolio yang ingin saya bangun. Ibaratnya, tidak ada kegiatan yang saya lakukan tanpa bertanya apa yang saya bisa pelajari dari prosesnya. Contohnya adalah bagaimana partisipasi saya sebagai tim manajemen Indonesia Mengglobal membantu saya untuk mempersiapkan studi, atau bagaimana kegiatan mengajar gratis yang saya inisiasi dengan melibatkan mahasiswa membantu berkontribusi pada penyelesaian masalah pendidikan secara langsung yang kemudian menginspirasi tema proposal riset saya.

Beberapa tahun lalu ketika saya baru selesai S2 dan mengajar di jurusan pendidikan, banyak yang skeptis, bagaimana inovasi di bidang pendidikan, khususnya matematika, tidak relevan digunakan karena perubahan itu sulit. Meskipun mendapat penolakan, secara konsisten saya membagikan pengalaman mengajar dan ide pembelajaran. Secara perlahan, saya mulai dikenal sebagai seorang pendidik dan peneliti pendidikan. Beragam undangan untuk mengisi materi datang, di mana saya berinteraksi dengan guru-guru dan calon guru yang memiliki visi pembangunan pendidikan yang sejalan. Walaupun dengan kemampuan yang masih terbatas, tunjukkan apa yang menjadi mimpi kita tidak muluk-muluk untuk diwujudkan. Butuh waktu, tapi bukan mustahil. Sering kali kita terjebak dalam upaya menemukan lingkungan sistem pendukung yang baik, hingga kita tidak memulainya dari diri sendiri. Kondisi di luar sana tidak akan pernah ideal. Belajar dari bunga teratai, bahkan di lumpur pun tetap tumbuh dan justru menjernihkan airnya.

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Contoh Hasil Karya Ratih Untuk Buku Belajar Dari Rumah Semasa Pandemi

Tips: Kegiatan sukarelawan tidak semuanya bisa dimasukkan ke kegiatan terkait pekerjaan profesional, (misalnya Angka Kredit bagi dosen). Akan tetapi, tidak ada salahnya jika publikasi kegiatannya digunakan untuk belajar menulis dan bicara, misalnya pada jurnal terakreditasi SINTA atau mempresentasikannya dalam seminar nasional.

Meluruskan Niat

Ketika menelaah esai atau menjadi pasangan latihan wawancara bagi teman-teman yang sedang dalam proses mendaftar studi ataupun beasiswa, ada dua kesan yang sering kali muncul: (1) posisi tertentu yang diharapkan sebagai hasil akhir studi, (2) upaya untuk “terkesan” unggul atau membuat impresi baik. Alih-alih ingin terlihat atau terkesan baik, dari awal niatkan pada sesuatu yang memang untuk kebajikan. Riwayat diri atau CV, Personal Statement, Motivation Letter, dan Proposal Penelitian harus saling mengkonfirmasi siapa kita, apa yang pernah kita lakukan, dan apa yang kita ingin lakukan. Bagaimana kita melihat nilai dan kebermanfaatan kita tanpa harus ada di posisi tertentu? Contohnya, jika ingin melanjutkan studi di bidang pendidikan, apa yang kita bisa kontribusikan tanpa harus hanya menjadi Menteri Pendidikan? Bagaimana kita menunjukkan pola kepemimpinan tanpa harus menjadi Presiden? Pertanyaan “siapa saya” ini sangat mendasar jawabannya tentu tidak final. Pengalaman dan interaksi kita dengan lingkungan mungkin akan membawa perubahan. Tapi paling tidak, ada gambaran diri di masa kini dan proyeksi pada masa depan.

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Refleksi Diri Selayaknya Bercermin

Sering kali, pelamar bersikeras untuk melihat contoh– apa yang orang lain tulis. Dari semuanya, saya paling tidak merekomendasikan melihat contoh sebelum siap dengan draft sendiri. Pertanyaan “siapa saya” sangatlah personal. Kita tidak ingin gambaran diri kita terpengaruh oleh gambaran diri orang lain, apalagi jika yang bersangkutan punya persona yang kuat sehingga kita ingin menjadi seperti dia. Sering kali, kualitas unggulan kita akan tertutupi karena kita ingin mencari kualitas diri yang menyerupai keunggulan orang lain. 

Tips: Jika sulit rasanya mengenali kelebihan diri sendiri, bisa coba tanyakan ke orang-orang terdekat apa yang membuat mereka betah menjadi bagian dari perjalanan kita. Saya pernah coba lakukan, atas saran konselor, karena saya banyak mengkritik diri dan cenderung lupa nilai-nilai baik saya.

Nama Baik dan Jejaring

Terakhir dan terpenting: selalu jaga nama baik. Banyak pilihan dalam hidup yang mungkin lebih mudah, hasilnya lebih cepat, tapi pada prosesnya mengorbankan citra diri. Jejaring yang kita temui dari hasil interaksi personal dan profesional tentunya akan cenderung percaya pada kita jika sepak terjang dan latar belakang kita baik. Surat rekomendasi atasan dan dosen misalnya, akan mudah diperoleh jika selama bekerja dengan beliau kita melakukan yang terbaik. Senior dan sejawat akan membuka diri untuk memberi saran dan informasi peluang di tempat studinya jika kita dikenal jujur dan tidak suka menjatuhkan teman.

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Ratih dan Filosofi Bunga Kenanga dalam lagu “Bungan Sandat” ciptaan alm. A.A. Made Cakra: seuripe melaksana becik – seumur hidup berlaku baik 

(Gambar diambil dari Canva’s Photo)

Calon dosen pembimbing juga bisa diperoleh melalui jejaring kita – misalnya mantan profesor dari dosen atau rekan kita. Berada pada lingkungan yang baik akan membuat lingkaran kita dipertemukan pada orang-orang yang sama baiknya. Nama baik yang ditunjukkan dengan karya-karya yang kontributif juga membuka peluang kita untuk dikenal oleh calon dosen pembimbing. Di zaman yang serba digital, informasi tentang kita tentu dengan mudah diakses oleh calon pembimbing sebagaimana kita mengakses informasi tentang beliau. Untuk itu, ketika mengirim surat elektronik untuk mencari calon pembimbing, alangkah baiknya untuk menyebutkan nama lengkap dan latar belakang pendidikan maupun pekerjaan secara singkat dan jelas; dilanjutkan dengan menjelaskan tujuan kita menghubungi beliau.

Tips: Menulis secara personal untuk kepentingan profesional memang tidak mudah. Tapi, dibandingkan dengan menggunakan contoh surat yang tersebar di internet, saya lebih memilih menulis sendiri isi suratnya. Personalisasi tersebut akan membuat saya cenderung tidak sama dengan surat lain yang beliau terima, dan membuatnya tertarik untuk membaca.

Konklusi

Walau diwarnai dengan berbagai kondisi tidak ideal, ragam persiapan untuk studi Ph.D. mengajarkan saya banyak hal untuk mengenal diri sendiri dan memantapkan niat saya untuk mempelajari bidang yang saya tekuni. Apa yang teman-teman dengar dari seminar atau sesi berbagi untuk persiapan maupun strategi jitu dalam mendaftar studi dan beasiswa dari mereka yang telah melalui, bisa jadi juga adalah hasil meramu kesalahan-kesalahan dan ketaksempurnaan dalam prosesnya; dengan harapan generasi selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Makanya, meskipun kesannya teratur dan terstruktur, perjalanan tersebut bisa jadi tidak jauh beda dengan jatuh-bangunnya teman-teman. Bersiap-siap dalam segala kemungkinan adalah salah satu jalan lainnya, jalan lainnya adalah beradaptasi jika sesuatu yang tidak terduga muncul.

Sebagai penutup, saya akan menjawab sendiri pertanyaan yang saya ajukan. Roma tidak dibangun dalam semalam. Walau itu yang kita dengar tentang Candi Prambanan, bisa jadi ada makna dan proses terselubung di dalamnya. Sebagaimana berkas studi yang bisa jadi  kita selesaikan dalam semalam, tapi tidak dengan isinya. Jika teman-teman butuh rekan seperjuangan dalam prosesnya, bisa coba mengikuti kegiatan dari organisasi yang sifatnya sejalan dengan visi dan misi kita. Misalnya, bergabung dalam Mentorship atau Bootcamp Series (PhD dan Career) Indonesia Mengglobal dan bangun jejaring seperjuangan untuk mencapai cita-cita!

Roma Tidak Dibangun Dalam Semalam, Tapi Candi Prambanan (Konon) Iya. Bagaimana Dengan Aplikasi Program Ph.D.?

Ratih Bersama Beberapa Jejaring Baik di Indonesia Mengglobal


BAGIKAN
Berita sebelumyaPengalaman Menempuh Pendidikan di Italia: Bagaimana Sistem Perkuliahan di Negeri Pizza?
Berita berikutnyaKuliah di TAFE Southbank (Australia): Pelajaran, Pengalaman, dan Prospek
Ratih Ayu Apsari merupakan dosen Pendidikan Matematika di Universitas Mataram. Ia menyelesaikan S1 Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Ganesha pada tahun 2012 dan S2 Pendidikan Matematika di Utrecht University – Universitas Sriwijaya dalam program beasiswa International Master Program on Mathematics Education (IMPoME) dengan beasiswa STUNED-DIKTI pada tahun 2015. Selain aktif mengajar dalam institusi formal di perguruan tinggi, Ratih juga aktif terlibat dalam upaya memberikan akses pendidikan yang lebih luas dan terbuka. Salah satunya melalui kelas belajar sukarela Taman Cerdas Ganesha yang dinisiasinya pada tahun 2017 ketika menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Ganesha (2015-2019). Ratih juga terlibat aktif dalam organisasi pro-bono Indonesia Mengglobal yang bertujuan untuk menginspirasi & memberdayakan generasi muda Indonesia untuk melanjutkan studi & berkarya di kancah global. Kecintaannya pada dunia pendidikan, keinginannya untuk berkontribusi lebih pada lembaga pendidikan guru, dan perhatiannya pada optimalisasi tumbuh kembang anak khususnya dalam bidang matematika memotivasinya untuk melanjutkan program doktoral di Graduate School of Education, University of California at Berkeley dengan beasiswa LPDP. Ratih bisa dihubungi melalui kanal sosial media instagram @aayuratiih atau surel ra.apsari@gmail.com.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here