
Bulan Mei yang telah lalu, saya menyelesaikan program studi di East Carolina University. Di tengah kebahagiaan yang datang karena keberhasilan saya merampungkan studi, ada satu pertanyaan yang mengusik: apakah ilmu sastra yang saya dapatkan berguna bagi orang banyak ataukah pengetahuan yang susah payah saya peroleh sebetulnya kurang penting?
Pertanyaan tersebut hadir tatkala saya menyadari peran anak muda dalam menentukan arah pembangunan negeri kita. Anak muda yang sudah diberi kesempatan mencicipi pendidikan di luar Indonesia kerap dituntut “membalas budi” dengan menggunakan ilmu mereka untuk turut mencerdaskan bangsa.
Apa yang bisa saya sumbangkan sebagai lulusan ilmu sastra mengingat ilmu saya berbeda dengan, katakanlah, ilmu lulusan jurusan kedokteran yang memungkinkan si empunya ilmu mengobati penyakit menular atau insinyur yang akan merancang bangunan megah?
Selama kurang lebih dua setengah bulan, saya berjibaku dengan pikiran yang tidak tenang, hingga saya mengurai kembali benang simpul sembari menata ulang cara pikir saya. Alih-alih menanyakan apakah ilmu saya bermanfaat atau tidak, sekarang saya bertanya pada diri sendiri apa yang sejatinya telah saya pelajari dan bagaimana pelajaran tersebut membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik. Berangkat dari titik itu, pertanyaan tambahan saya menjadi sebagai berikut: jika saya memang berhasil menjadi pribadi yang baik, bagaimana caranya saya membantu sesama manusia ke arah kebaikan juga? Lantas, apakah manusia yang baik menjamin negara mereka akan membaik pula?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah hitam dan putih, melainkan penuh dengan aneka warna yang harus kita tafsirkan sendiri seperti kita menyimpulkan sendiri pesan sebuah cerita. Namun demikian, beberapa poin refleksi di bawah ini mungkin bisa mewakili opini saya seputar sumbangsih ilmu sastra dalam mencetak insan yang peduli satu sama lain dan, besar harapan saya, peduli pada bangsa mereka dan pada dunia luas.

- Memahami Sastra Berarti Memahami Cara Berpikir Kritis
Salah satu pelajaran berharga yang ditanamkan oleh para dosen saya di East Carolina adalah kita tidak bisa menghakimi suatu keputusan atau suatu tindakan sampai kita menelusuri seluk-beluk dan konteks yang membentuk jalan pikiran tokoh-tokoh yang memutuskan sesuatu yang kita hakimi itu. Pelajaran tersebut saya rasa bisa diterapkan tidak hanya untuk analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik karya fiksi atau studi banding watak sastra saja, tetapi juga diterapkan ke kehidupan kita sehari-hari.
Seberapa sering kita membuat konflik antar manusia bertambah buruk karena kita main hakim sendiri sebelum kita mengetahui fakta yang mendasari munculnya konflik yang dimaksud? Seberapa sering kita menaruh prasangka tanpa menyelami sebab musabab utama kita bertengkar dan berselisih paham?
Memang tak bisa kita sangkal bahwa ada konflik yang terlalu besar dan memakan waktu. Isu politik identitas yang mengurat akar, misalnya, sulit diselesaikan dalam tempo yang relatif singkat. Saya tidak berniat mengajak pembaca untuk terlalu menyederhanakan atau mengesampingkan isu-isu yang rumit dan pelik, namun saya percaya kemampuan untuk menangguhkan penghakiman (setidaknya sampai kita yakin duduk perkara suatu masalah) adalah kemampuan krusial yang dapat kita pakai untuk mencegah bertambah parahnya konflik antar pribadi dan antar golongan.
Satu di antara banyak buku yang saya baca di bangku perkuliahan sastra mengangkat tema konflik antar golongan ini. The God of Small Things oleh Arundhati Roy menceritakan sejarah perselisihan dua kasta di India, yaitu vaishya dan paravan. Jika menelisik tradisi hierarki kasta di negara Asia Selatan tersebut, ada masa ketika seorang vaishya tidak diizinkan jatuh cinta pada seorang paravan yang notabene datang dari kasta terendah dan terpinggirkan (dosen saya memakai istilah subaltern untuk menyebut tipe marjinalisasi ini). Arundhati Roy dalam kisah karangannya mempertanyakan apa jadinya bila ada yang berani melintasi batasan itu dan menganggap sekat-sekat yang ada bukan sebagai peraturan yang harus dituruti tetapi penghalang yang harus dihilangkan. Kisah pasangan gelap tadi tidak berakhir bahagia, namun dari cerita mereka saya belajar bahwa terkadang kita terlalu berfokus pada apa yang membedakan kita dan lupa pada dasarnya kita semua tetaplah manusia. Cerita tadi memang mengambil latar di India, khususnya di Kerala, namun terasa relevan dengan kondisi di Indonesia mengingat negara kita pun belum sepenuhnya terbebas dari bermacam konflik berbau kekerasan atas nama suku, ras, dan agama. Sudah saatnya kita berpegang kembali pada peribahasa “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

- Apresiasi Sastra Bisa Membawa Kita Pada Apresiasi Terhadap Keragaman
Poin kedua ini masih berhubungan erat dengan poin di atas. Sejak kecil, kita diajari semboyan “bhineka tunggal ika”, namun sudah seberapa jauh kita memaknai semboyan itu? Karya sastra seringkali merepresentasikan keadaan dan realitas hidup masyarakat tempat pengarang tinggal, secara tersirat dan tersurat. Dengan membaca karya sastra tulisan pengarang dari berbagai kelompok etnis, agama, dan asal muasal, kita akan terlatih untuk menempatkan diri sebagai saudara dan bukan pesaing orang-orang yang berbeda dengan kita. Setelah kita benar-benar mampu melihat perbedaan sebagai alat pemersatu dan bukan alat perpecahan, kita seharusnya semakin mampu menjaga hubungan baik dengan macam-macam orang dan ini artinya kita bisa meminimalisir kerusuhan dan keributan yang berpotensi mengancam kedaulatan negara.
Di semester kedua perkuliahan, saya membaca buku karangan Fatima Mernissi yang berjudul Dreams of Trespasses: Tales of A Harem Girlhood. Berlatar Moroko di tahun 1950an sebelum kemerdekaannya dari Perancis, buku itu mengisahkan kehidupan seorang gadis kecil bangsawan dan keluarga besarnya yang tinggal di sebuah perumahan mewah. Diceritakan bahwa gadis itu dan keluarganya turun temurun memeluk Islam. Sampai sini mungkin pembaca akan bertanya “oke, jadi apa yang menarik?” dan jawabannya adalah keluarga sang gadis, terutama para perempuan dari generasi yang lebih tua darinya, berseteru soal bagaimana seharusnya seorang Muslim bertindak. Ada dua kubu di satu rumah besar: satu kubu mendukung penafsiran Islam yang berpihak pada paham feminisme sementara kubu lain kurang mendukung pergerakan wanita feminis. Terjepit di antara dua sisi yang berseberangan, gadis kecil itu cukup bijaksana untuk mau menampung perspektif yang saling kontradiktif dan, alih-alih menyudutkan pihak tertentu, dia tumbuh dewasa menjadi wanita yang mencari titik tengah. Saya rasa cerita gadis kecil di atas cukup relevan untuk menjadi bahan refleksi kita di Indonesia juga: bisakah kita membuka pikiran dan menjadi pihak yang bukan hanya mau didengarkan tapi juga berlapang hati untuk mendengarkan?
- Belajar Karya Sastra Memperluas Khazanah Global
Saya menuliskan poin nomor tiga ini dengan satu catatan: jangan batasi bacaan kita. Semakin kita terbuka pada karya sastra dari segala penjuru dunia, semakin kita mendekati profil warga dunia yang ideal: bangga pada nilai-nilai luhur bangsa sendiri tanpa menjatuhkan, mengerdilkan, atau menjelekkan kebiasaan dan adat istiadat bangsa lain. Dunia terus berubah dan kita ditantang untuk bisa membaur dengan siapa saja tanpa memandang warna kulit dan bahasa. Jika kita sudah terlatih bertenggang rasa dengan sesama orang Indonesia, maka sepatutnya kita juga melatih diri bertenggang rasa dengan warga internasional. Membaca karya sastra yang beragam bisa menjadi titik awal latihan kita.

- Mencermati Karya Sastra Berarti Mencermati Logika Berkomunikasi
Mendalami ilmu sastra tidak lengkap tanpa mendalami pula ilmu menulis dengan terorganisir dan efektif. Saat kita ingin berargumentasi tentang inti dari suatu cerita, misalnya, kita harus menyampaikan argumen kita dengan jelas dan tertata.
Jika kita terbiasa berlogika dengan baik, kita juga akan terbiasa berkomunikasi dengan lancar. Kelancaran komunikasi tentunya menjadi syarat menjalin kerjasama yang erat dengan komunitas sekitar kita dan juga komunitas internasional, bukan?
Pada akhirnya, saya yakin ilmu sastra yang saya punya tidak akan sia-sia. Memang betul ilmu saya bukanlah ilmu yang bisa mengantarkan saya menciptakan vaksin terbaru atau mendesain mobil hemat energi, namun ilmu sastra tetaplah diperlukan bila kita ingin menjadi manusia yang tahu bagaimana merawat dan memelihara relasi dengan manusia lain. Saya yakin apapun ilmu yang kalian pilih untuk pelajari di bangku perkuliahan pasti bisa kalian gunakan untuk kepentingan bersama, tinggal kalian mau atau tidak bersumbangsih dan berbagi.
