Trust atau kepercayaan adalah salah satu komponen penting dalam membangun sebuah komunitas sosial. Berbagai riset telah menemukan hubungan positif antara kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap kesejahteraan hidup (well-being), kebahagiaan (happiness), kesetaraan sosial, dan kemapanan finansial. Masyarakat yang memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap orang lain atau institusi, dikenal dengan sebutan high-trust society. Berlawanan dengan high-trust society adalah low-trust society, dimana masyarakat kurang begitu atau bahkan tidak percaya terhadap orang lain atau institusi dimana ia tinggal.
Di dalam high-trust society, masyarakat akan lebih mudah percaya bahwa orang lain akan berbuat baik sesuai dengan norma yang berlaku, serta percaya bahwa orang lain akan jujur terhadapnya. Terbentuknya keyakinan tersebut tentu tak luput dari budaya dan perilaku jujur yang sudah diterapkan bertahun-tahun oleh tiap individu dalam komunitas tersebut. Seorang filsuf Kanada, Trudy Govier, berargumen bahwa kesiapan kita dalam menerima dan percaya terhadap orang lain dapat menurunkan tingkat stress dalam hidup. Govier menyatakan hal tersebut dapat menurunkan rasa takut, daya kompetisi yang negatif, serta permusuhan dan agresifitas dalam bermasyarakat. Kehidupan yang lebih rileks dan bahagia juga dapat berdampak dengan majunya perekonomian suatu negara dan berkurangnya kesenjangan sosial. Francis Fukuyama, ilmuwan ekonomi berdarah Amerika-Jepang, berargumen bahwa high-trust society berpeluang lebih tinggi untuk membentuk perusahaan besar yang berkelanjutan untuk waktu yang lama. Data dari World Value Survey (WVS) (sebuah survey global yang meneliti tentang nilai-nilai sosial, ekonomi, dan religiusitas) juga menunjukkan secara umum terdapat hubungan positif antara kepercayaan antar masyarakat yang tinggi terhadap tingginya pendapatan per kapita masyarakat di negara tersebut.
Kepercayaan masyarakat di Indonesia
Disinyalir dari data WVS tahun 2018, masyarakat Indonesia secara umum juga memiliki kepercayaan yang tinggi antar sesama masyarakat. Terhadap pergerakan lingkungan, organisasi kemanusiaan, institusi keagamaan, universitas dan keluarga, Indonesia memiliki Tingkat kepercayaan antara 79-99% di 2018. Tentu mungkin kita tak heran dengan angka ini mengingat Indonesia memiliki konsep “gotong royong” dan amat senang berkumpul dengan sesama. Hanya saja tingkat kepercayaan tersebut menurun drastis saat masyarakat Indonesia berinteraksi dengan komunitas yang berbeda identitas dengannya. Terhadap orang yang berbeda agama dan orang asing yang baru pertama kali bertemu, masyarakat Indonesia hanya memiliki kepercayaan sebesar 35% dan 10%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nizeyumukiza dan Pierewan dari Universitas Negeri Yogyakarta menemukan bahwa masyarakat Indonesia lebih percaya terhadap orang dari sesama suku dan se-agama. Sebagian besar masyarakat Indonesia juga kurang percaya untuk menitipkan anaknya ke tetangganya, kecuali jika tetangga bersuku atau beragama sama. Hal ini juga didukung dengan data WVS tahun 2022 terkait bridging trust atau bagaimana masyarakat membangun kepercayaan antara kelompok sosial yang berbeda. Indonesia memiliki nilai sekitar -0.4, sementara UK 0.9 dan merupakan salah satu peringkat atas.
High-trust society di Skotlandia, dan dampak terhadap aktifitas riset
Saat ini, penulis sedang menjalani studi di kota Stirling, Skotlandia, Britania Raya (UK). Berdasarkan data WVS 2022, UK termasuk dalam 10 negara teratas yang memiliki tingkat kepercayaan masyarakat (social trust) yang tinggi, sebesar 46%. Angka ini sudah jauh melesat dibanding tahun 1999 saat masyarakat UK memiliki tingkat kepercayaan masyarakat terendah di 29%. Skotlandia berada di urutan pertama di atas negara bagian UK lainnya, dengan 48% masyarakat yakin bahwa mayoritas orang lain dapat dipercaya. Kepercayaan tersebut juga berlaku terhadap imigran (warga internasional) atau orang asing, dimana 83% masyarakat Skotlandia percaya terhadap masyarakat internasional, dan 50% percaya terhadap orang yang baru pertama ia temui. Angka kepercayaan tersebut lebih besar ditemui pada kalangan usia dewasa dan usia lanjut.
Dampak tingginya social trust ini terlihat pada hasil survey World Happiness Ranking (WHR) 2024, dimana UK menempati urutan ke-20, dengan perbedaan skor hanya sebesar 0.99 dibanding Finlandia di urutan pertama. WHR memang bukan tolak ukur kebahagiaan masyarakat yang terbaik, dikarenakan negara-negara peringkat atas juga memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi. Namun, dalam penilaiannya, WHR menggunakan 6 kategori yang termasuk diantaranya adalah dukungan sosial, angka harapan hidup, pendapatan per kapita; dimana unsur social trust mencakup di dalamnya. Laporan WHR menunjukkan bahwa salah satu faktor Finlandia dan beberapa negara Eropa, termasuk UK, mendapat peringkat atas adalah masyarakatnya yang memiliki kepercayaan masyarakat dan dukungan antar komunitas yang tinggi.
Tidak hanya berdampak pada kebahagiaan masyarakat, fenomena high-trust society ini ternyata berdampak cukup baik terhadap aktifitas riset atau pengumpulan data yang dilakukan oleh mahasiswa, tak terkecuali mahasiswa internasional. Penulis mengalami pengalaman yang berbeda dengan di Indonesia dalam proses pengambilan data. Pertama, mahasiwa tentu harus mengurus permohonan etik dari universitas masing-masing. Namun, proses pengajuan permohonan etik ini rasanya cukup sama dengan di Indonesia atau di negara lain; proses revisi formulir yang cukup menguras waktu dan “mondar-mandir” antara mahasiswa-pembimbing-panitia etik. Hal berbeda kemudian ditemui penulis saat disarankan untuk menyebarkan poster undangan survey dan wawancara di perpustakaan dan sejumlah tempat umum lainnya, seperti community centre.
Dikarenakan kebiasaan birokrasi di Indonesia yang memerlukan surat izin ber-kop, penulis mengira bahwa penempelan poster di tempat umum tersebut juga memerlukan surat tersebut. Pembimbing ternyata malah kebingungan, dan bilang bahwa rasanya hal tersebut tidak perlu izin, karena di formulir etik pun tidak ada bahasan terkait hal itu. Akhirnya penulis mencoba menanyakan ke perpustakaan dan community centre, dan ternyata prosesnya sangat mudah. Tidak perlu surat izin ber-kop, tidak perlu kartu identitas mahasiswa (meskipun penulis sengaja memakai nametag mahasiswa), hanya perlu datang dan menyatakan maksud. Dengan sigap petugas perpustakaan langsung membawa poster dan menempelkannya di papan pengumuman yang sepertinya memang dikhususkan untuk memfasilitasi aneka pengumuman kegiatan dari berbagai lapisan masyarakat. Sama halnya Ketika di community centre, saat penulis baru saja menapakkan kaki di pintu masuk, dan menyatakan maksud ke petugas (baik petugas resepsionis ataupun sekedar petugas kebersihan), mereka langsung mempersilakan penulis untuk menempelkan sendiri posternya di papan pengumuman, asalkan tidak menutupi poster lain yang masih berlaku. Penulis juga mencoba menempelkan poster di sejumlah tempat ibadah seperti gereja, dan ternyata responnya sama. Walaupun penulis menggunakan atribut agama yang berbeda dengan mereka, namun dengan ramah dan mudah, penulis diterima dan poster langsung ditempelkan. Begitu juga saat penulis mengirim email kepada staf NHS (National Health Service; penyedia layanan Kesehatan di UK) untuk meminta bantuan menyebarkan undangan, alih-alih meminta atau menanyakan dokumen pernyataan resmi dari kampus atau izin etik, staf NHS tersebut langsung membalas dengan pernyataan bahwa undangan sudah disebarkan ke semua grup di wilayah kerjanya. Ia juga menyatakan terimakasih karena sudah melakukan topik riset yang bagus dan berpesan agar Ia dikirimkan hasil risetnya jika sudah selesai (catatan: jika riset melibatkan uji coba klinis atau pengambilan senyawa dari pasien NHS tentu harus mengurus izin etik khusus).
Meski mungkin tidak berhubungan secara langsung, namun negara-negara dengan trust yang tinggi juga tercatat memiliki komitmen riset, pendanaan, dan angka publikasi yang tinggi. Skotlandia di tahun 2021 memiliki rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB –atau Gross Expenditure on R&D (GERD) sebesar 2,98%. Sementara GERD Indonesia baru sebesar 0.24%. Namun dalam publikasi riset, meski masih jauh dari UK, Indonesia mulai bisa diacungi jempol karena mengalami peningkatan jumlah publikasi ilmiah mulai dari 6,070 di tahun 2015 sampai 43,300 di tahun 2022.
Indonesia dan high-trust society
Penulis berkeyakinan, keberadaan high-trust society, tidak hanya akan menguntungkan masyarakat untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera, namun juga dalam dunia akademik, sangat memudahkan mahasiswa ataupun peneliti untuk melakukan risetnya. Hal ini tentu sangat berharga dan penting bagi keberlanjutan dan kualitas riset di sebuah negara. Bentuk kepercayaan antar institusi, komunitas, dengan peneliti dapat membentuk atmosfer positif dalam hal menyediakan dukungan moral yang kuat untuk mendorong para peneliti untuk melanjutkan atau memperbanyak penelitian. Hal ini disebabkan karena mereka tahu bahwa proses pengambilan data akan dipermudah oleh masyarakatnya. Tentunya selain dukungan dari segi dana, kuantitas peneliti, fasilitas riset, dan media publikasi yang kredibel. Dalam jangka panjang, harapannya hal ini dapat meningkatkan jumlah publikasi nasional maupun dampak pengaplikasian riset pada kebijakan dan pengambilan keputusan di Indonesia.
Indonesia tentu perlu belajar untuk meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya terhadap masyarakat heterogen. Hal ini tentu dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup individu, kemapanan ekonomi, bahkan kemajuan dunia riset. Tentu hal ini memerlukan kerja sama dari seluruh lini, dimulai dari perubahan dan penanaman perilaku jujur pada individu dan komunitas, peningkatan keamanan di level komunitas, sampai ke penyederhanaan sistem di level kebijakan. Kerjasama dengan sektor ekonomi juga dibutuhkan karena salah satu riset mengungkapkan rendahnya social trust di Indonesia bisa disebabkan oleh kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan keamanan finansial (seperti kebutuhan makanan) dibanding kebutuhan meraih kesejahteraan dengan keharmonisan interaksi antar kelompok.