Kebudayaan. Kultur.
Dua kata yang merupakan sinonim. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari ‘akal’. Sementara kultur berasal dari bahasa Latin cultura, yang berarti ‘menumbuhkan’. Kedua kata ini memiliki arti kebiasaan, adat istiadat, dan cara hidup dari suatu negara, bangsa, atau sekelompok orang.
Karena sifat dasar dari kebudayaan itu sendiri, kebudayaan suatu tempat akan menyentuh semua aspek kehidupan seseorang, dari ia lahir sampai saat ia menutup usia. Kultur akan mewarnai cara pandang, nilai-nilai, dan cara berpikir seseorang. Suatu hal yang integral dengan identitas suatu individu. Sebagian dari jati diri.
Ketika seseorang berpindah tempat maka ia akan terekspos dengan kebudayaan yang berbeda. Secara umum, semakin jauh tempat tujuan kepindahannya dari tempat tinggal awal, maka akan semakin berbeda pula kultur baru yang akan ia jumpai. Dan hal inilah yang seringkali melahirkan dilema bagi anak bangsa yang menapakkan kaki ke tanah luar negri.
Dalam bahasa Indonesia ada dua peribahasa yang berkaitan dengan masalah ini. Peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” mengajarkan kita untuk menghormati dan mengikuti adat istiadat di tempat kita tinggal. Sementara peribahasa “bagai kacang lupa akan kulitnya” mengingatkan kita untuk tetap tidak melupakan asal usul. Lalu peribahasa mana yang harus kita terapkan dalam kehidupan?
Sebagaimana diilustrasikan oleh kedua peribahasa di atas, apabila dilihat dari titik ekstrimnya, maka ada dua kecenderungan. Yang pertama adalah orang tersebut akan sepenuhnya mengadopsi budaya dari tempat yang baru secara keseluruhan. Biasanya pola ini terbentuk dari keinginan orang itu untuk membaur, mencegah konflik, dan diterima oleh masyarakat sekitar yang mendorongnya untuk mencontoh kebiasaan-kebiasaan di sekelilingnya. Di lain pihak pada titik ekstrim kedua, seseorang akan menolak kultur tempat baru sama sekali. Kejadian ini biasanya dipicu oleh kemauan kuat dari orang tersebut untuk mempertahankan kebudayaan lama yang ia miliki, baik itu karena kebudayaan baru dirasa tidak sesuai dengan dirinya, atau ketakutan akan kehilangan jati diri.
Namun itu adalah dua sisi ekstrim. Pada kenyataannya, umumnya jika seseorang berpindah ke suatu tempat dengan kebudayaan baru, ia akan menganut sebagian kultur dari tempat yang baru dengan tetap menjaga sebagian kultur lamanya. Perbedaannya hanya terletak pada sisi mana individu tersebut akan cenderung mengarah.
Mari kita ibaratkan anak bangsa yang datang ke luar negeri sebagai kain dan suatu kebudayaan sebagai warna. Kain, seperti manusia, memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang sudah memiliki corak dan warna yang kaya seperti batik songket, ada pula yang datang dalam kondisi masih relatif putih polos. Beberapa jenis kain tergolong mudah menyerap warna, tetapi juga terdapat beberapa jenis lain yang sulit untuk menyerap warna.
Lantas kain seperti apakah yang dapat dibilang paling baik? Pertanyaan ini tidak memiliki satu jawaban benar. Semua jenis kain memiliki tempat dan penggunaan terbaiknya masing-masing, seperti kain batik songket yang baik untuk dibuat baju formal tetapi tidak akan sesuai untuk dibuat baju olahraga. Hanya orang itu sendirilah yang dapat menentukan kain terbaik untuk dirinya sendiri sesuai dengan keinginan dan prioritas setiap individu.
Bahkan sebenarnya, seseorang tidak perlu memilih antara kultur yang lama atau yang baru. Ia bisa saja memilih untuk berada di tengah-tengah. Dapat pula individu tersebut mengadaptasi perilakunya sesuai dengan komunitas yang tengah ia tinggali dan situasi yang dihadapi.
Seperti tertuang dalam tulisan oleh dua seniman dan diaspora kelahiran Filipina, Isabel dan Alfredo Aquilizan yang dipajang di Museum Macan pada tahun 2023 yang lalu: “When you leave your home, you don’t have a place you call home anymore. You will be in the middle ground. Nowhere. Elsewhere.” Tulisan ini menggambarkan bahwa ketika seseorang meninggalkan tanah asalnya, ia akan membawa serta kebudayaan dari tempat ia berasal, yang memberikan orang tersebut corak yang berbeda dengan masyarakat sekitar di tanah tujuannya. Bahkan ketika ia kemudian kembali lagi, orang tersebut akan selalu membawa sebagian mosaik kultur baru yang ia dapatkan. Warna baru ini akan membedakannya dari orang-orang di sekelilingnya walaupun jika ia kemudian bergabung lagi dengan komunitas lamanya.
Meskipun kedua seniman ini menggambarkan pengalaman itu sebagai sesuatu yang membangkitkan rasa melankolis, saya memiliki pandangan yang berbeda. Bagi saya, paparan dengan kebudayaan asing bukanlah suatu ancaman bagi kebudayaan yang selama ini sudah dimiliki. Melainkan, itu menjadi kesempatan baik untuk saya agar berpikir apakah kultur yang selama ini dipegang sesuai dengan diri saya sendiri ataukah selama ini adat istiadat dan kebiasaan tersebut dipegang hanya karena saya tidak memiliki pilihan atau pengetahuan yang cukup untuk melakukan hal itu secara berbeda. Layakkah kebiasaan yang ada selama ini untuk dipertahankan? Secara pribadi bagi saya sendiri, perluasan pandangan yang terbentuk dari buah pemikiran ini adalah harta terbesar yang didapat dari pengalaman saya di luar negeri, bahkan melebihi gelar-gelar yang saya dapatkan.
Di zaman yang semakin membuat batas antar bangsa dan negara terasa semakin tipis ini, pengalaman ini akan menjadi sangat penting. Proses pertemuan dan percampuran dua atau lebih kebudayaan dalam diri kita akan memperluas cakrawala pandang yang kita miliki dan menjadi landasan agar pola pikir kita dapat membumbung di dunia global.
–
Editor: Adibah