Ketika berada di Indonesia dengan populasi muslim yang sangat majemuk, budaya islam pasti sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun, ketika berada di daerah minoritas muslim seperti benua Eropa, kita pasti akan merasa sangat asing. Tidak ada suara dengung mesjid, restoran dengan logohalal bewarna ungu, dan jauh dengan meja yang penuh dengan hidangan rumahan. Iya, itu yang aku rasakan ketika mengunjungi negara Belanda, tempat aku mengenyam studi Food Quality Management di Wageningen University, yang Alhamdulillah dibiayai oleh beasiswa LPDP.
Waktu pertama kali menginjakan kaki di benua biru ini, aku merasa dilema untuk meng onsumsi produk-produk kemasan karena tidak ada batasan yang jelas bagaimana kita sebagai muslim dapat mengonsumsi produk yang tidak ada logo halalnya. Berbeda dengan Indonesia, negeri dengan penduduk minoritas muslim tidak mewajibkan sistem sertifikasi halal. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memakan seluruh makanan di etalase-etalase supermarket ya. Kita tetap bisa mengonsumsi produk kemasan yang tidak berlogo halal dengan mengecek bahan pangan yang tertera di kemasan.
Setelah dua tahun aku berkuliah ini, aku semakin memahami bagaimana mencari makanan halal di negeri minoritas muslim, seperti Belanda. Aku berusaha untuk mengisi gap kesulitan yang aku dapatkan dengan ilmu yang aku miliki saat ini. Aku juga sudah mendapatkan sertifikat auditor halal HAS 23000 oleh salah satu Lembaga Penyelia Halal (LPH) yang diakui oleh BPJPH. Aku juga sudah menerbitkan booklet “Halal Guide” yang mengupas secara mendalam namun sederhana mengenai dinamika, tips, dan trik mencari makanan halal di negara-negara minoritas muslim. Booklet tersebut dapat dilihat di link berikut ya. Semoga dapat teman-teman praktekkan juga ketika bersekolah di luar negeri nanti. Tidak apa-apa jika merasa kesulitan apalagi saat masa-masa adaptasi perkuliahan nanti. Semoga teman-teman bisa bersabar dalam berproses ya. Nah, sekarang yuk kita bahas apa saja yang perlu diperhatikan dalam membeli produk-produk kemasan.
1. Apa saja jenis bahan yang mempengaruhi kehalalan produk makanan?
Terdapat 2 kategori makanan yang akan aku bahas titik kehalalannya, yaitu produk olahan daging dan produk kemasan yang sudah melalui berbagai proses industri. Sebelum kita bahas aplikasi yang bisa dipakai, kita bahas dulu isi dari produk pangan itu sendiri ya.
Produk olahan daging
Pada dasarnya terdapat pengelompokan kehalalan produk hewani berdasarkan jenisnya yaitu haram yang berasal dari babi dan halal yang dapat berasal dari ayam, sapi, dan ikan. Namun kehalalan ini akan berubah menjadi syubhat atau ragu-ragu jika tidak diketahui metode penyembelihannya. Untuk produk hewani dan turunannya (sosis, nugget, daging giling, saus kaleng yang ada potongan daging, dan kaldu bubuk) lebih baik mencari yang ada logo/sertifikat halalnya ya. Karena kita tidak bisa menentukan kehalalan produk hewani hanya dari daftar bahan di kemasan, jadi untuk produk-produk hewani yang tidak memiliki logo halal masuk kedalam kategori syubhat. Sebenarnya di EU ada beberapa produk yang memiliki sertifikat halal namun tidak mencantumkan logonya loh. Contohnya adalah keju kemasan merek Royal Aware di tempat aku magang. Produk keju ini memiliki sertifikat halal namun tidak mencantumkan logonya di kemasan. Menarik ya?
Produk olahan kemasan
Untuk produk kemasan yang tidak mengandung daging olahan, kita perlu memperhatikan kadar alkohol dan sumber bahan tambahan pangan. Yang pertama adalah alkohol, sebenarnya menurut fatwa MUI No. 8 Tahun 2018, ada beberapa kadar alkohol yang diperbolehkan yaitu 0.5% dan kadar tersebut ditentukan melalui pengujian laboratorium. Namun, akan menyulitkan untuk teman-teman menghitung kadar alkohol dalam produk pangan, sehingga lebih baik dihindarkan saja. Berikut adalah beberapa nama jenis alkohol yang kerap dimasukan dalam produk pangan: wine pada olahan pasta, shoyu, sake dan mirin pada makanan jepang (sushi), angciu pada makanan china, serta bourbond, vodka, dan rhum pada olahan roti.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Menurut BPOM No 11 tahun 2019, terdapat 27 jenis BTP, beberapa diantara yaitu: pengawet, pengental, pewarna, pemanis, dll. Di benua Eropa, BTP ditandai dengan kode E pada bagian kemasan. Titik kritis kehalalan bahan tambahan pangan dapat ditinjau berdasarkan tujuan pemakaiannya, sumber bahan bakunya, dan cara pengolahannya.
2. Aplikasi Halal Checker
Nah, setelah kita mengetahui titik kritis bahan makanan di produk olahan, rasanya tuh ribet banget ya kalau harus cek satu-satu? Tenang, di era digital ini ada beberapa aplikasi yang bisa kamu gunakan loh:
- Google Lens
Untuk kamu yang tinggal di negera yang memiliki bahasa ibu bukan bahasa Inggris maka perlu menggunakan aplikasi Google Lens untuk mengecek kandungan babi dan alkohol yang tercantum di daftar kemasan. - Halal Checker
Untuk pengecekan sumber Bahan Tambahan Pangan (BTP), kita dapat menggunakan aplikasi aplikasi Halal Checker. Ada tiga kategori dari hasil pencarian yaitu halal, haram, dan mushbooh. Musbooh berasal dari bahasa Arab yang artinya “tersangka” atau suspected. Yaitu belum jelas status kehalalan sebuah produk pangan karena ketidakjelasan asalnya. Karena belum jelas statusnya, lebih baik dihindari. - Halal Scanner
Kalau kamu merasa aplikasi Halal Checker masih ribet, tenang ada aplikasi tergampang di era industri 4.0 ini yaitu Halal Scanner. Tinggal pindai kemudian akan keluar kode yang berisi informasi apakah makanan tersebut bisa dikonsumi atau tidak tapi database di aplikasi ini terbatas, jadi kadang harus memakai applikasi halal checker.
Nah, sekian dulu pembahasan titik kritis makanan halal di kemasan. Bagi teman-teman yang ingin bertanya atau konsultasi bisa kirim pertanyaan ke email aku ya: Fitriaware@gmail.com. Aku juga ingin berterimakasih kepada organisasi tempat aku bertumbuh, @pengajianwageningen. Silahkan kunjungi instagram kami untuk info-info makanan halal di sekitar Belanda ya.
***
Editor: Adibah