Komai Fellowship dari Hitachi Foundation
Saya seorang dosen tetap program studi Jepang UI yang sedang cuti tugas belajar untuk menempuh pendidikan doktoral di Japanese Modern Literature Program, Graduate School of Letters, Hiroshima University. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman mengenai perolehan hibah Komai Fellowship dari Hitachi Foundation Juli-Agustus 2015 yang lalu.
Bagi dosen dan/atau peneliti, mendapatkan dana hibah (dalam maupun luar negeri) akan berdampak secara signifikan dalam karir. Tentu saja dalam jangka panjang dana hibah yang diperoleh hendaknya dimanfaatkan untuk proyek-proyek pengabdian bagi masyarakat (pengmas) sehingga dampak itu dapat dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri, bagi dosen dan/atau peneliti yang masih hijau seperti saya, pengalaman memperoleh dana hibah akan mempercantik CV dan menjadi poin plus yang dipertimbangkan tim penilai saat membaca aplikasi (beasiswa, misalnya) kita.
Komai Fellowship dari Hitachi Foundation adalah hibah yang diberikan khusus untuk dosen bidang ilmu sosial dan humaniora di universitas-universitas di Asia Tenggara yang penelitiannya berkaitan dengan Jepang. Untuk informasi lengkap, silakan buka situs Hitachi Foundation di: http://www.hitachi-zaidan.com/global/scholarship/activities/active03.html
Dua proposal untuk Dua Tujuan Berbeda
Salah satu syarat terpenting yang harus dipenuhi ketika mengajukan aplikasi Komai Fellowship adalah Letter of Acceptance (LoA) dari profesor di Jepang yang akan bertanggungjawab menjadi supervisor kita selama mengadakan penelitian di Jepang. Artinya, penerima hibah sudah memiliki rencana yang jelas akan mengadakan penelitian di universitas mana dan di bawah bimbingan siapa. Untuk itu, setelah membaca dengan teliti persyaratan apa saja yang membuat kita eligible untuk mengajukan aplikasi Komai Fellowship, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghubungi profesor di Jepang yang sebidang dan mempunyai minat yang sama dengan kita. Perlu diketahui bahwa kemampuan berbahasa Jepang bukanlah keharusan untuk pertimbangan hibah Komai Fellowship. Tetapi, karena program ini turut melibatkan profesor di Jepang, pastikan bahwa beliau bersedia membimbing peneliti asing yang tidak mampu berbahasa Jepang.
Berburu profesor yang bersedia membimbing kita adalah proses yang membutuhkan kesabaran ekstra. Maka, sediakan waktu paling tidak sehari penuh untuk googling di internet mengenai profesor di Jepang yang penelitiannya sebidang dengan kita. Ketik saja tema penelitian kita sebagai kata kunci ketika googling. Bisa jadi profesor yang mungkin berjodoh dengan penelitian kita tidak hanya satu. Perlu dicek lagi CV-nya beliau-beliau itu dan afiliasinya di universitas mana. Kalau sudah menyeleksi kira-kira beberapa profesor yang paling cocok, hubungilah beliau-beliau itu melalui e-mail. Biasanya informasi mengenai e-mail para profesor ini dicantumkan di situs universitas.
Terus terang saya beruntung tidak membutuhkan waktu lama untuk berburu profesor karena bidang penelitian saya sangat spesifik. Jadi, ketika saya mengetik tema penelitian saya sebagai kata kunci, nama dan afiliasi profesor ini langsung keluar. Saya juga beruntung karena profesor ini langsung menyatakan kesediaan untuk membimbing saya.
Hal yang perlu diingat adalah etika dalam berkorespondensi untuk pertama kalinya dengan profesor. Ada baiknya dalam e-mail perdana tidak hanya memperkenalkan diri, tetapi sekaligus mengirimkan CV dan proposal kita sebagai bahan pertimbangan beliau.
Menulis proposal adalah hal yang paling tricky menurut saya, terlebih dalam hal ini ada dua pihak yang akan menerima proposal saya; 1) profesor di Jepang; dan 2) tim penilai di Hitachi Foundation. Menurut saya, menulis proposal untuk profesor jauh lebih mudah jika dibandingkan proposal untuk ke tim penilai Hitachi Foundation. Bagaimana pun, profesor yang sebidang dan memiliki minat yang sama dengan kita pasti paham dengan apa yang akan kita bahas, sehingga untuk memenangkan perhatian beliau adalah bagaimana penelitian kita dapat memberikan kontribusi baru dalam bidang ilmu kita.
Proposal untuk Profesor
Tidak ada format khusus untuk proposal yang akan dikirimkan ke profesor. Format bebas asalkan memenuhi standard umum penulisan proposal (latar belakang, hipotesis, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, langkah-langkah penelitian, dan daftar pustaka). Hanya saja berdasarkan pengalaman dan sepengetahuan saya, profesor di Jepang lebih menyenangi penelitian yang dilandaskan pada penelitian terdahulu atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah senkoron (先行論). Senkoron agak berbeda dengan kerangka konseptual yang selama ini kita kenal. Kerangka konseptual lebih berkaitan dengan teori atau pendekatan yang kita gunakan, sementara senkoron adalah penelitian yang pernah dilakukan orang lain yang temanya berkaitan langsung dengan penelitian kita; hipotesis bisa sama bisa tidak, metode bisa sama bisa tidak. Dengan kata lain, senkoron sifatnya lebih spesifik dibandingkan kerangka konseptual. Berdasarkan senkoron ini pula kita dapat meletakkan posisi penelitian kita di antara sekian penelitian dengan tema sama yang pernah dilakukan sebelumnya. Tentunya akan ada poin plus jika kita dapat menyebutkan kebaruan dalam penelitian kita sebagai bentuk kontribusi pada bidang ilmu yang kita geluti.
Apabila profesor sudah bersedia membimbing kita. Mintalah LoA kepada beliau. LoA ini juga tidak ada format khusus, yang penting menyebutkan kesediaan beliau dalam membimbing kita selama mengadakan penelitian di Jepang (lihat gambar 1). LoA ini yang akan kita sertakan dalam aplikasi Komai Fellowship. Berhubung pengiriman LoA asli butuh biaya, jelaskan kepada profesor bahwa kita bersedia membayar biaya pengiriman (Alhamdulillah waktu itu profesor saya menolak tawaran saya untuk membayar biaya pengiriman, hehehe).
Mengingat proses panjang mulai dari berburu profesor sampai mendapatkan LoA, buatlah timeline agar tidak terburu-buru saat mengajukan aplikasi Komai Fellowship (deadline biasanya 31 Oktober).
Proposal untuk Hitachi Foundation
Jika urusan dengan profesor di Jepang sudah selesai, tibalah waktunya menulis proposal untuk tim penilai Hitachi Foundation. Tidak ada lembar khusus proposal dalam dokumen aplikasi Komai Fellowship. Apa yang mau kita teliti dan signifikansi penelitian kita digabung ke dalam formulis aplikasi (lihat gambar 2 dan 3), jadi tentu saja kita tidak bisa copy-paste proposal yang sudah kita buat begitu saja ke fomulir aplikasi . Di sini dibutuhkan trik karena memenangkan perhatian tim penilai dari pemberi dana tidak sama dengan memenangkan perhatian profesor.
Sebagai orang yang menggeluti bidang ilmu yang dianggap abstrak dan dampaknya tidak langsung dirasakan masyarakat (baca: ilmu sastra), menulis proposal untuk mendapatkan hibah butuh kerja keras ekstra. Istilahnya, perlu memeras otak untuk meyakinkan pemberi dana bahwa apa yang kita teliti tetap punya dampak, paling tidak kontribusi di dalam debat akademis yang sifatnya lebih luas (tidak hanya pada ilmu sastra). Penting bagi kita untuk mengikuti logika pemberi dana: mereka ingin agar uang mereka digunakan untuk hal yang bermanfaat (bukan untuk alasan ingin main di Jepang, hehehe).
Tips-tips Penulisan Proposal
Dengan demikian, hal dasar yang membedakan antara proposal untuk profesor dengan proposal untuk tim penilai adalah universalitas tema. Kalau ke profesor, kita bisa sespesifik mungkin, tetapi jangan gunakan trik yang sama untuk pemberi dana. Mereka belum tentu paham dengan apa yang akan kita teliti (dan mereka tidak akan peduli). Mereka hanya ingin tahu apakah penelitian kita dapat memberi kontribusi umum. Di sini, justru kita harus menempatkan penelitian kita dalam kerangka konseptual dan perdebatan akademis mutakhir. Berdasarkan pengalaman saya, saya mencoba menempatkan tema penelitian saya dalam tema universal yang berterima dalam bidang ilmu sosial dan humaniora pada umumnya (sejarah, sosiologi, antropologi, dll). Dengan menyentuh tema universal, saya sekaligus berusaha meyakinkan bahwa bidang sastra hanyalah salah satu ‘alat’ yang dapat digunakan untuk mengkaji tema tersebut.
Berkaitan dengan universalitas tema, hindari jargon-jargon berlebihan, terutama yang spesifik di bidang kita. Sekali lagi, tim penilai belum tentu paham dengan apa yang akan kita bahas. Jika proposal kita bertabur jargon, jangankan terdengar sophisticated, yang ditakutkan mereka malas membaca proposal kita. Gunakan bahasa yang sederhana saja, sebab yang penting adalah posisi penelitian kita dalam perdebatan akademis.
Sebagai penutup tulisan, saya ingin membagi satu rahasia dapur. Ketika saya menyerahkan laporan penelitian saya di kantor Hitachi (dilanjutkan dengan ngobrol santai), saya sempat bertanya apa yang membuat mereka bersedia memberikan dana hibah ke saya. Mereka menjawab bahwa mereka dapat merasakan passion saya melalui proposal serta jawaban-jawaban saya dalam wawancara kandidat. Selain itu, mereka juga lebih senang memberikan dana hibah kepada peneliti yang ‘mempromosikan’ Jepang dalam perdebatan akademis yang universal, dan bukan menekankan pada keunikan Jepang. Maksudnya apa?
Mereka tidak ingin Jepang hanya dikenal dengan gemerlap budaya pop ataupun informasi usang yang berulang, terutama berkaitan dengan pandangan bahwa seolah-olah Jepang merupakan negara dengan budaya paling unik sedunia. Sebaliknya, mereka ingin Jepang ditempatkan secara proporsional dalam perdebatan akademis, karena mereka butuh gagasan segar para peneliti asing yang mampu melihat Jepang dari kacamata berbeda 🙂
Semoga sukses!
***
(Disclaimer: Tulisan saya murni berdasarkan pengalaman pribadi. Saya tidak menjamin jika langkah-langkah yang saya sebutkan dalam tulisan ini akan memuluskan jalan dalam mendapatkan hibah karena adanya faktor lain di luar kekuasaan kita)