Kuliah di luar negeri tentunya membuka banyak pintu untuk berpartisipasi di beragam acara di tingkat internasional. Seringkali kesempatan ini datang melalui organisasi yang kita representasikan, misalnya universitas atau organisasi kemahasiswaan di tempat kita belajar. Kali ini, Indonesia Mengglobal mendapat kesempatan untuk membagikan cerita kontributor kita yang berpartisipasi di sidang tahunan PBB di New York, 13-24 Maret 2017 lalu.
Selama liburan musim semi (spring break) kemarin, saya berkesempatan untuk berpartisipasi di Konferensi ke 61 Commission on the Status of Women (CSW) yang bertemakan “Women’s Economic Empowerment In the Changing World of Work”.
Apa itu CSW?
CSW adalah kepala badan antar-pemerintah global yang khusus didedikasikan untuk mempromosikan kesetaraan antar jenis kelamin (gender) dan pemberdayaan perempuan. Komisi fungsional United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) ini, didirikan pada tanggal 21 Juni 1946. Pada tahun 1996, ECOSOC memperluas mandat komisi ini untuk memantau dan meninjau kemajuan pelaksanaan Beijing Declaration and Platform of Action. Selain itu, Komisi ini juga bertugas untuk menerapkan Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming), yang artinya menerapkan kebijakan publik untuk mencapai kesetaraan gender di semua level masyarakat, dalam seluruh kegiatan PBB. Komisi ini sekarang juga berkontribusi terhadap tindak lanjut 2030 Agenda for Sustainable Development sehingga mempercepat realisasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Setiap tahunnya selama dua minggu, Komisi ini menyelenggarakan konferensi yang menghadirkan perwakilan dari negara-negara anggota PBB, Non-Governmental Organizations (NGOs), dan badan-badan PBB untuk berkumpul di markas besar PBB di New York. Konferensi ini biasanya membahas kemajuan dan kesenjangan dalam pelaksanaan 1995 Beijing Declaration and Platform of Action, dan isu-isu yang muncul yang mempengaruhi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hasil dan rekomendasi dari setiap konferensi ini akan diteruskan ke ECOSOC untuk ditindak lanjuti.
Tahun ini, Commission on the Status of Women dihadiri oleh 162 negara anggota, termasuk 89 dalam tingkat kementrian (Ministerial). Sekitar 3,900 perwakilan dari 590 organisasi sipil (civil society organizations) datang ke New York dari 138 negara. Peran NGOs adalah elemen kritikal dalam CSW. UN Women memfasilitasi partisipasi NGOs dalam sesi CSW. NGOs yang sudah diakreditasi dan dalam performa yang baik dengan ECOSOC dapat mengirim perwakilan untuk menghadiri sesi tahunan CSW.
Saya mendapat kesempatan mengikuti Konferensi ini karena saya mewakili kampus saya, College of the Atlantic, Maine, USA bersama empat mahasiswa lain. Kampus saya adalah salah satu NGOs yang telah terakreditasi oleh ECOSOC. Kampus saya sudah diakreditasi ECOSOC dua tahun lalu namun tahun ini adalah tahun pertama kampus saya mengirimkan perwakilan untuk pertemuan CSW.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, tema prioritas tahun ini adalah Women’s Economic Empowerment In the Changing World of Work. Mereka juga membahas tema lain yaitu tantangan dan prestasi dalam pelaksanaan Milleium Development Goals (MDGs) untuk perempuan dan anak perempuan, yang merupakan tema dari sesi ke-58 CSW. Beberapa isu yang diangkat dalam konferensi ini adalah kesenjangan pendapatan antar gender (gender pay gap), diskriminasi kepada perempuan ketika melamar kerja, pemberdayaan indigenous women, Child labour, Human Trafficking, Kekerasan dalam rumah tangga, Female Genital Multilation, dan lain-lain.
Dukungan Penuh dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB
Antonio Gueterrez membuka acara ini dengan sambutan yang menekankan bahwa
“Hak hak perempuan adalah hak asasi manusia. Oleh karena itu kita harus merespon bersama-sama.” Beliau juga menegaskan bahwa kesetaraan wanita dapat menambah 12 triliun ke pertumbuhan global. Beliau berkata “PBB dan saya pribadi akan mendukung setiap langkah anda. Memang benar, saya harus mengakui, saya seorang laki-laki. Tapi kita perlu semua orang untuk berjuang untuk pemberdayaan perempuan. Dunia kita membutuhkan lebih banyak pemimpin perempuan dan dunia kita membutuhkan lebih banyak laki-laki yang mau berjuang untuk kesetaraan gender.”
Selain itu, Sekjen PBB yang baru ini juga mengadakan Town Hall style meeting dengan NGO-NGO pada hari kelima konferensi ini untuk memberikan wadah untuk civil society dalam menyampaikan aspirasi, keluhan, dan pertanyaan-pertanyaan kepada Sekjen PBB mengenai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan kedepannya dibawah pemerintahan beliau. Keluhan-keluhan yang disampaikan oleh mereka misalnya; banyaknya orang yang tidak dapat hadir karena masalah visa, kurangnya perempuan-perempuan dari negara berkembang yang memiliki kepemimpinan di PBB, menyusutnya ruang untuk NGO-NGO baik di PBB maupun dalam tingkat nasional, meningkatnya human trafficking, pentingnya mengatasi masalah child labour, tidak cukupnya anggaran dan sumber daya untuk mencapai Sustainable Development Goals, dan lain lain. Dalam kesempatan ini, Gueterrez menekankan bahwa gender mainstreaming harus dilaksanakan dalam berbagai tingkat. Beliau juga menyatakan bahwa kurangnya ruang untuk NGO adalah salah satu cara pemerintah untuk merasa lebih aman. Pemerintah harus mengerti bahwa menjalin hubungan dengan civil society adalah salah satu cara untuk memperbaiki kekuasaan pemerintah bukan membatasi.
Pencapaian Indonesia
Dalam salah satu kesempatan, perwakilan pemerintah Indonesia menyampaikan beberapa pencapaian dan hambatan Indonesia dalam mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Beberapa pencapaian yang sudah diraih Indonesia adalah telah dilaksanakannya gender responsive budgeting di Kementrian Keuangan, Kementrian Perempuan, dan Kementrian Pembangunan/Bappenas. Selain itu, representasi perempuan di Parlemen Indonesia adalah sekitar 17,8% dalam kepemimpianan 2014-2019 dibandingkan dengan tahun 1950-1955 yang hanya 3.8%. Indonesia telah membentuk kerja sama dengan Australia melalui MAMPU Program yang bertujuan untuk pemberdayaan perempuan dan peningkatan akses basic government services untuk perempuan. Indonesia juga telah memperhitungkan SDGs sebagai bagian dari rencana pembangunan nasional.
Dari 120 indikator SDGs, 17 indikator-indikator tersebut berhubungan dengan SDG nomor 5 yaitu kesetaraan gender. Namun, indikator-indikator ini masih harus disesuaikan dengan indikator global. Indonesia berharap dengan memperkuat data collection dan laporan mengenai indikator-indikator tersebut, Indonesia bisa lebih baik dalam mengukur kemajuan dan kinerja dalam mengimplementasi kesetaraan gender dalam semua tingkat.
Agreed Conclusion
Setelah diskusi selama dua minggu, Agreed Conclusions dari acara CSW61 menekankan hambatan yang harus dihadapi perempuan-perempuan seperti contohnya kondisi kerja yang tidak layak, banyaknya perempuan di sektor informal economy, stereotip perempuan di beberapa sektor pekerjaan seperti kesehatan dan sosial, dan gaji yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki.
Meskipun keberadaan lama dari standar perburuhan internasional tentang upah yang sama, kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki masih 23% secara global, tetap di semua negara. Negara-negara anggota PBB menyatakan keprihatinan atas ini dan upah masih rendah dibayarkan kepada wanita, yang sering di bawah upah hidup layak. Dokumen Agreed Conclusions yang berisi 17 halaman ini intinya menekankan bahwa Negara-negara anggota (Member States) diantaranya berkomitmen untuk melaksanaan kebijakan upah yang sama melalui dialog sosial, perundingan bersama, evaluasi pekerjaan dan mengaudit gaji berdasarkan jenis kelamin.
The Takeaway
Bagi saya, ini adalah pengalaman yang sangat berharga dan saya mendapatkan banyak sekali ilmu dan perspektif bukan hanya tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga tentang diplomasi. Konferensi ini membuat saya lebih menyadari akan betapa umumnya diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah, di kantor, di kendaraan umum, dan lain lain. Banyak sekali masalah-masalah yang harus saya atau perempuan-perempuan lain hadapi hanya karna kami lahir sebagai perempuan.
Betapa mudahnya kita untuk mendiskusikan insiatif dan peraturan yang membantu pencapaian kesetaraan gender, namun dalam kenyataannya, masalah-masalah ini sangat kompleks dan membutuhkan dukungan kuat dan kolektif dari berbagai pihak. Namun, dengan bertemu perempuan-perempuan lain yang dalam kesehariannya berjuang untuk meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan memberi saya harapan besar bahwa untuk mencapai kesetaraan gender bukanlah hal yang mustahil.
Photos provided by the author