Kontributor Diane Anggraeni menceritakan perjalanan karir akademik dan profesionalnya yang penuh tantangan. Ternyata, ia mendapati bahwa situasi itu tercermin pada isu yang ia tekuni selama ini: perjalanan Indonesia menuju kemapanan energi. Keduanya membutuhkan adaptasi dan kegigihan.
Menjalani pendidikan master’s atau S2 bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi di luar negeri. Berdasarkan pengalaman saya, ada dua kunci utama yang dapat membantu kita meraih kesuksesan, baik dalam hal studi maupun hal lain dalam hidup, yaitu adaptasi dan kegigihan.
Hingga saat ini, banyak orang yang menanyakan keputusan saya untuk mengambil jurusan S2 di bidang kebijakan energi keberlanjutan (Energy Policy for Sustainability), mengingat latar belakang S1 saya yang fokus pada keilmuan teknik tenaga listrik.
Mereka bertanya kepada saya, mengapa mau berpindah dari ilmu engineering ke ilmu sosial? Apakah tidak sayang meninggalkan ilmu teknik yang telah dipelajari selama 4 tahun?
Kenapa tidak melanjutkan ke jurusan teknik saja? Apakah karena S2 di bidang ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu teknik?
Mengapa mengambil jurusan S2 yang sangat spesifik? Apakah tidak takut nanti sulit mencari pekerjaan yang sesuai?
Tentu pada awalnya, tidak semua pertanyaan tersebut dapat serta merta saya jawab. Namun sekarang, menginjak tahun keempat setelah studi S2 saya selesai di tahun 2016, saya merasa sudah mulai dapat menjawab semua pertanyaan tersebut.
Saat saya duduk di bangku kuliah S1, saya banyak terpapar pada isu-isu energi di Indonesia di level makro melalui ilmu ketenagalistrikan yang saya pelajari. Dari situ, mulai tumbuh rasa ketertarikan saya untuk memelajari isu-isu kebijakan energi lebih dalam.
Saya jadi memahami bahwa untuk membawa Indonesia mencapai ketahanan energi (energy security), kesetaraan energi (energy equity), dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), kita tidak bisa hanya mengandalkan keahlian di bidang teknik. Instrumen kebijakan yang tepat juga krusial untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang mumpuni di sektor energi. Artinya, diperlukan keahlian di bidang kebijakan untuk membantu membawa bangsa ini menuju kemapanan energi.
Ketika itu, saya percaya bahwa dengan keilmuan teknik yang saya miliki, saya memiliki amunisi yang kuat untuk dapat berkontribusi pada perumusan kebijakan energi di Indonesia. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di bidang kebijakan energi.
Proses pencarian universitas dan penyusunan aplikasi yang menantang pada akhirnya mengantar saya pada program master’s degree dengan jurusan Energy Policy for Sustainability di University of Sussex, Brighton, Inggris. Alasan utama saya mengambil S2 di Inggris adalah karena negara tersebut sangat bergantung pada batu bara dan memiliki rencana untuk menghentikan secara bertahap (phase out) pembangkit-pembangkit listrik berbasis batu bara. Berlatar situasi tersebut, saya percaya bahwa ada banyak hal yang dapat saya pelajari dari sektor energi di Inggris untuk diimplementasikan di Indonesia.
Namun, menyesaikan studi S2 di Inggris dalam waktu satu tahun bukanlah hal yang sederhana. Tidak mudah bagi seorang engineer untuk beralih menjadi mahasiswi ilmu sosial yang harus dapat menuliskan argumentasi sebanyak 1.000 – 10.000 kata dan menjadikannya sebagai aktivitas sehari-hari. Engineer terlatih untuk memecahkan masalah dengan angka dan perhitungan matematis, bukan dengan kata-kata.
Oleh karena itu, saya perlu beradaptasi secara signifikan untuk dapat berargumentasi baik secara lisan maupun tulisan. Tidak ada malam yang tidak saya habiskan di perpustakaan untuk membaca jurnal dan buku-buku. Menurut saya, membaca sebanyak-banyaknya adalah kunci utama untuk mendapatkan perspektif dari berbagai sisi dan menyusun argumentasi yang kaya dan mendalam.
Kunci berikutnya adalah mendengarkan serta tidak malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapat, baik di dalam maupun di luar kelas. Dengan mendengarkan dan mengutarakan pendapat, kita akan mampu untuk memahami dan menyampaikan argumentasi yang ingin kita bangun dengan lebih baik.
Tentu ini adalah proses yang menantang dan mendewasakan saya. Ada waktu-waktu di mana saya ingin menyerah, tidak ingin membaca ataupun menulis. Ada pula saat-saat di mana saya tidak memahami, mengapa dalam menyusun kebijakan kita perlu berargumentasi dari segala sudut pandang. Mengapa kita tidak bisa putuskan saja secara hitam putih?
Namun, saya menyadari bahwa untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat, diperlukan pemikiran yang kritis. Riset dan analisis dapat membantu kita menetapkan kebijakan yang dapat memberikan dampak terbaik bagi masyarakat, bukan asumsi dan prasangka.
Oleh karena itu, saya dapat menghargai pentingnya melihat suatu masalah dari berbagai sisi. Saya juga menyadari bahwa setiap pilihan memiliki plus minus yang harus dipertimbangkan untuk dapat sampai pada pilihan yang terbaik. Tidak semua masalah memiliki solusi yang tetap dan diskrit, dan tidak ada satu hal yang selalu hitam atau selalu putih; semua bergantung pada konteks.
Pada level personal, proses ini juga memberikan pelajaran penting bagi saya. Saya belajar untuk tidak menyerah pada keadaan; sesulit apapun pasti ada jalan keluar untuk menyelesaikan apa yang telah kita mulai. Sharing dengan teman-teman terdekat, baik yang juga sedang mengemban studi di Inggris maupun yang tidak, mendorong saya untuk terus bekerja keras dan oleh karenanya, menjadi faktor penting keberhasilan saya dalam menyelesaikan studi S2.
Dengan segala kesulitan yang saya hadapi, mungkin Anda akan bertanya, apakah sekarang saya bisa mengimplementasikan ilmu yang sudah saya dapat di Indonesia? Jawabannya adalah ya, namun lagi-lagi tidak dengan mudah.
Tantangan pertama bagi saya adalah menemukan pekerjaan yang memerlukan keilmuan di bidang kebijakan energi di Indonesia. Perlu 6 bulan bagi saya untuk menemukan pekerjaan tersebut. Pada saat itu, saya mendapat kesempatan untuk menjadi seorang konsultan yang lingkup pekerjaanya mencakup penyusunan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia, khususnya di sektor energi dan ketenagalistrikan.
Dalam menjalani pekerjaan ini, ilmu kebijakan energi yang saya miliki tidak dapat diterapkan secara langsung, khususnya untuk implementasi transisi energi dari bahan bakar fosil menjadi sumber energi baru terbarukan (renewable energy). Namun, ilmu S1 dan S2 saya menjadi landasan kuat yang membentuk pola pikir saya, khususnya dalam menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan sektor energi di Indonesia.
Sebagai contoh, ilmu S2 saya membantu saya memahami bahwa setiap institusi atau pemangku kepentingan memiliki agenda masing-masing, sehingga dalam menyusun kebijakan perlu diperhatikan apa agenda mereka tersebut. Kebijakan yang diterapkan di dunia internasional juga tidak dapat secara langsung diimplementasikan di suatu negara tanpa melihat kondisi sosial politik negara tersebut. Sementara itu, ilmu S1 saya membantu saya menyusun rekomendasi kebijakan yang membutuhkan aspek-aspek teknis.
Dari pengalaman dan ilmu-ilmu itulah saya jadi dapat menyimpulkan sejumlah faktor penting yang memengaruhi perumusan dan pelaksanaan kebijakan energi di Indonesia. Kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kondisi politik, dan kapasitas teknologi dalam negeri termasuk di antaranya. Artinya, perjalanan mengantar Indonesia menuju energy security, energy equity, dan environmental sustainability akan penuh dengan tanjakan terjal dan memerlukan waktu yang tidak singkat.
Seperti halnya perjalanan studi S2 saya, dibutuhkan adaptasi dan kegigihan untuk dapat mencapai gol-gol mulia itu. Dan semoga, seperti halnya studi S2 saya, perjalanan menuju kemapanan energi yang tidak mudah ini juga akan membuahkan kesuksesan dan hal baik bagi Indonesia.