Kisah Bram: Memperkenalkan Budaya Indonesia di Kyoto

0
4369
Tim Angklung dan Asosiasi Persahabatan Jepang-Indonesia (APJI) (2019). Sumber: Malam Indonesia 2019 - PPI Kyoto-Shiga.

Setiap tahunnya, cukup banyak mahasiswa Indonesia yang berangkat studi ke Jepang. Salah satu destinasi studi yang populer adalah “saudari kembar” dari Yogyakarta, Kyoto. Kali ini, Haryanto (Content Director for Asia, Middle East & Africa) mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Bram, Ketua PPI Kyoto-Shiga, yang juga merupakan mahasiswa doktoral di Universitas Kyoto. Di artikel ini, Bram alias “Itonk”, membagikan pengalamannya memperkenalkan budaya Indonesia di negeri sakura.

*** 

Hi Bram, boleh diceritakan sedikit latar belakangnya hingga menempuh studi di Jepang? 

Saya Bramantyo Wikantyoso. Saya bungsu dari 3 bersaudara. Bapak dan ibu saya adalah pensiunan pegawai negeri sipil di Kabupaten Purworejo. Pada tahun 90-an, bapak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi magister di International University of Japan (IUJ), Niigata, Jepang. Saya sangat mengingat momen di mana kami berempat melepas bapak untuk berangkat ke Jepang di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Saat beliau pulang, tidak sedikit cerita mengenai Jepang yang masuk ke telinga. Selain memperdengarkan tembang jawa dan keroncong setiap minggu pagi, bapak pula yang secara implisit memperkenalkan sedikit budaya Jepang ke dalam keluarga kami, seperti simple nihongo, yakiniku party, Shoyu Kikkoman, Bonsai, drama jepang Oshin, dan bahkan cerita-cerita mengenai suasana Jepang dan musim saljunya. Tak terasa apresiasi terhadap Jepang dan budayanya membuat saya dan keluarga terkoneksi dengan Jepang secara tidak langsung.

Setelah lulus dari Fakultas Biologi UGM sebagai sarjana, singkat cerita saya memperoleh pengalaman untuk bekerja di sebuah perusahaan Pest Control Operator swasta sebelum akhirnya meneruskan bekerja dan belajar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam institusi ini, saya bertemu dan belajar banyak dari senior-senior yang akhirnya membuka kesempatan untuk bisa melanjutkan studi dan berangkat ke Jepang. Dan kali itu, bapak dan ibu kembali ke Jakarta untuk mengantar saya berangkat ke Jepang di bandara yang sama dengan keberangkatan bapak pada tahun 90-an. Pastinya, momen ini sangat melecut semangat saya untuk bisa mengikuti jejak bapak. Sekarang, saya sedang menempuh studi doktoral di Graduate School of Agriculture, RISH, Kyoto University, setelah sebelumnya menyelesaikan studi magister (2020) di universitas yang sama.

Sebagai Ketua PPI Kyoto-Shiga, apa hal-hal yang Bram lakukan untuk memperkenalkan budaya Indonesia?

Beberapa pengurus PPI Kyoto-Shiga 2019–2020. Sumber: PPI Kyoto-Shiga.
Beberapa pengurus PPI Kyoto-Shiga 2019–2020. Sumber: PPI Kyoto-Shiga.

Pada bulan September tahun 2019, saya mendapat amanah dari “Warga” Indonesia yang ada di Kyoto dan Shiga untuk menjadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia dengan wilayah koordinasi di Prefektur Kyoto dan Shiga (PPI-KS). Dalam usaha memperkenalkan budaya Indonesia, kami selalu mengajak teman-teman untuk bisa membuka diri dengan menjalin hubungan dan bersahabat dengan teman-teman Jepang dalam wadah Asosiasi Persahabatan Jepang-Indonesia (APJI). Hubungan baik dengan asosiasi ini sudah dirintis oleh senior-senior kami di PPI Kyoto-Shiga dan kami memiliki tanggung jawab untuk membina hubungan baik tersebut.

Bersama salah satu Band Indie Yogyakarta “Everyday” saat melakukan pertunjukan musik di Candi Borobudur (2012). Sumber: Foto Pribadi, Bramantyo Wikantyoso.
Bersama salah satu Band Indie Yogyakarta “Everyday” saat melakukan pertunjukan musik di Candi Borobudur (2012). Sumber: Foto Pribadi, Bramantyo Wikantyoso.

Pada saat menimba ilmu di Yogyakarta, saya juga berkesempatan untuk belajar budaya dari komunitas musisi di kota yang terkenal dengan sebutan sebagai Sister City dari Kyoto. Dari seniman senior di Yogya, saya mengenal istilah know your root, know your culture, expand your music. Saat itu pengalaman menarik yang saya dapatkan adalah melakukan recording lagu tradisional “Gambang Suling” ciptaan Ki Narto Sabdo yang dikemas dengan aransemen musik modern bersama salah satu grup musik indie di Yogyakarta. Selain itu, bersama teman-teman di komunitas, kami mencoba memperkenalkan lagu original yang dibalut dengan irama kendang Kuda Lumping dalam salah satu album kompilasi. Pengalaman tersebut saya bawa ke Jepang dan tentunya dengan bangga saya perkenalkan kepada teman-teman Indonesia dan Jepang ketika berbincang bersama.

Bisakah dijelaskan lebih lanjut salah satu program kerja PPI Kyoto-Shiga yang memperkenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat Jepang?  

PPI Kyoto-Shiga merupakan persatuan pelajar yang merupakan ujung tombak representatif budaya Indonesia di luar negeri, khususnya di Jepang. Dalam kegiatannya, PPI Kyoto-Shiga memiliki andil dalam usaha diseminasi budaya Indonesia di “mata dunia”. Salah satu kegiatan dua tahunan yang diselenggarakan adalah pagelaran budaya dengan sebutan Malam Indonesia. Malam Indonesia sudah dilakukan di Kyoto semenjak tahun 1991 dan diteruskan hingga sekarang. Telah banyak budaya Indonesia yang diperkenalkan seperti Pernikahan Adat Jawa (1991), Pasar Budaya (1995), cerita daerah “Malin Kundang” (2017), dan akulturasi budaya meminum Kopi dan Teh Hijau antara Indonesia dan Jepang melalui pementasan drama, perkenalan baju adat dan pertunjukan seni Indonesia (2019). Pementasan ini tidak hanya melibatkan masyarakat Indonesia, namun juga masyarakat internasional sebagai pelaku seninya.

Pagelaran Budaya “Malam Indonesia” tidak hanya diikuti oleh masyarakat Indonesia, namun juga Masyarakat Internasional. Sumber: Malam Indonesia 2019 – PPI Kyoto-Shiga.
Pagelaran Budaya “Malam Indonesia” tidak hanya diikuti oleh masyarakat Indonesia, namun juga Masyarakat Internasional. Sumber: Malam Indonesia 2019 – PPI Kyoto-Shiga.
Salah satu pertunjukan Tari di event Malam Indonesia 2019. Sumber: Malam Indonesia 2019 - PPI Kyoto-Shiga.
Salah satu pertunjukan Tari di event Malam Indonesia 2019. Sumber: Malam Indonesia 2019 – PPI Kyoto-Shiga.

Dalam berinteraksi dengan sahabat-sahabat dari Jepang (APJI), PPI Kyoto-Shiga melakukan kegiatan bersama dalam bentuk belajar alat musik Angklung. Beberapa kali tim Angklung melakukan pentas dengan membawakan lagu tradisional Indonesia atau lagu Jepang yang dibawakan dengan alat musik tradisional. PPI Kyoto-Shiga juga berkesempatan untuk melakukan pertunjukan tari kontemporer dan tradisi ketika ada undangan khusus dari warga Jepang. Seperti yang pernah kami lakukan di salah satu kegiatan tahunan kuil di pusat kota Kyoto. Sambutan masyarakat Jepang selalu baik terhadap kebudayaan Indonesia yang ditampilkan.

Tim Tari PPI Kyoto-Shiga saat melakukan performance di salah satu Kuil di pusat kota Kyoto (2019). Sumber: PPI Kyoto-Shiga.
Tim Tari PPI Kyoto-Shiga saat melakukan performance di salah satu kuil di pusat kota Kyoto (2019). Sumber: PPI Kyoto-Shiga.

PPI Kyoto-Shiga bersama Komunitas Muslim Indonesia juga rutin mengadakan kegiatan Ramadhan seperti Buka Bersama Akbar. Kegiatan ini mengundang sahabat-sahabat dan perwakilan dari Jepang untuk bersama-sama mencicipi masakan khas Indonesia yang dimasak khusus oleh warga Indonesia yang ada di Kyoto-Shiga. Kegiatan mencicipi masakan khas Indonesia juga selalu rutin diadakan di acara Welcome Party mahasiswa baru dalam musim semi dan gugur.

Adakah tantangan yang dihadapi dalam memperkenalkan budaya Indonesia dalam merealisasikan program tersebut?

Tantangan terbesar bagi pelajar dalam memperkenalkan budaya adalah konsistensi dan globalisasi. Konsistensi di sini melingkupi kesiapan berbagai lapisan pendukung yang ada dalam skala nasional guna memperkuat peran pelajar atau mahasiswa sebagai representatif budaya Indonesia. Mencari seniman dan budayawan representatif bukan perkara mudah. Di sisi lain, banyak budaya Indonesia yang telah memiliki showcase pertunjukan skala dunia namun belum mendapatkan kesempatan untuk perform di tingkat internasional. Jika dilihat secara umum, organisasi Persatuan Pelajar Indonesia hampir ada di setiap negara besar di dunia dan tidak sedikit dari program-program yang dilakukan memiliki hubungan dengan pertunjukan kesenian dan perkenalan budaya Indonesia. Dengan dukungan yang lebih baik dari segala lapisan di Indonesia, maka kesempatan seniman dan budayawan lokal untuk bisa menggelar “karpet merah” pertunjukan di depan “mata dunia” akan terbuka lebar melalui program-program seni dan budaya dari pelajar Indonesia di luar negeri.

Selain itu, dalam menghadapi globalisasi, setiap budaya yang diperkenalkan harus disikapi dengan respon “echoing” oleh segala lapisan pendukung. Budaya Indonesia yang beraneka-ragam merupakan nilai yang besar. Namun, memperkenalkan budaya Indonesia melalui pelajar di luar negeri saja tidak akan cukup. Setiap budaya memiliki karakter masing masing yang apabila dikolaborasikan dengan kemajuan teknologi mampu bergaung di kancah Internasional. Kesiapan di tingkat daerah juga menjadi tahapan penting dalam rantai repetisi atau refleksi perkenalan budaya bagi masyarakat asing. Sehingga presentasi budaya bisa memiliki kemasan yang bersaing dan konsisten. Apabila upacara minum teh bisa menjadi daya tarik turis asing di Jepang, mungkinkah proses peracikan “Wedang Uwuh” yang konon disukai Raja dan Prajurit Mataram bisa menjadi satu contoh budaya Indonesia yang menarik turis asing untuk singgah di Indonesia?

Selain kegiatan PPI Kyoto-Shiga, adakah hal-hal yang Bram lakukan secara personal yang merefleksikan budaya-budaya Indonesia selama di Jepang? 

Selain itu, secara personal, saya sedikit mempelajari budaya dan bahasa Jepang sebagai jembatan dalam menjelaskan budaya Indonesia. Berbicara dengan “sensei” (guru) dan teman-teman Jepang mengenai Indonesia sudah menjadi bahan perbincangan sehari-hari ketika belajar, makan siang bersama, dan saat festival budaya. Selain budaya, Jepang juga memiliki kemiripan sikap dengan Indonesia dalam hal sopan santun, murah senyum dan ulet dalam bekerja. Dengan saya dan teman-teman di Jepang mempraktikkan hal tersebut, tidak sedikit warga Jepang yang memberikan rasa penghargaan tinggi terhadap orang Indonesia, baik di kampus maupun tempat kerja. Dengan menunjukkan keterbukaan dan antusiasme, tidak sedikit pula warga Jepang yang apabila bertemu, mereka dengan bangga menceritakan pengalamannya berkunjung, tinggal, bekerja di Indonesia dan bahkan berbagi pengalaman memakan makanan khas Indonesia seperti Gudeg, Nasi Padang, Martabak, Ayam Betutu, dan Sambel Matah.

Adakah pengalaman berkesan selama studi di Jepang dalam kaitannya dengan budaya Indonesia? 

Pengalaman unik adalah saat diadakannya festival Mochitsuki atau membuat mochi sebagai kegiatan rutin tahunan oleh anggota laboratorium. Saat acara berlangsung, banyak murid internasional dan lecturer yang berpartisipasi di festival ini. Momen ini merupakan momen yang baik dalam mememperkenalkan budaya Jepang ke orang asing secara langsung. Begitu juga, momen ini saya dan teman-teman gunakan untuk memperkenalkan masakan khas Nusantara kepada orang Jepang dan juga dari negara lainnya. Masakan yang kami perkenalkan seperti Nasi Kuning, Ayam Bumbu Kuning Bali, Soto Ayam, Ikan Pesmol, Kentang Balado, Kolak Pisang, dan minuman Kunir Asem. Walaupun beberapa dari mereka merasa masakan Indonesia terlalu pedas dan kuat aromanya, ketika mencicipi masakan Indonesia, tidak ada kata lain yang diucapkan oleh sahabat-sahabat Jepang selain kata “Enak!”. Dan itu yang membuat senang dan berkesan bagi kami dan mereka.

Kegiatan festival Mochitsuki. Sumber: Foto pribadi, Bramantyo Wikantyoso.
Kegiatan festival Mochitsuki. Sumber: Foto pribadi, Bramantyo Wikantyoso.
Membuat Kue Mochi di Laboratorium. Sumber: Foto pribadi, Bramantyo Wikantyoso.
Membuat Kue Mochi di Laboratorium. Sumber: Foto pribadi, Bramantyo Wikantyoso.

Selain itu, seringkali ketika rekan-rekan pelajar Indonesia sedang ingin refreshing dari kegiatan lab atau sekedar berkumpul dan bercerita, saya selalu menyempatkan diri untuk menghibur dan memberikan dukungan moral dengan jalan menemani teman-teman berdendang bersama. Di salah satu ruang musik di basement apartemen pelajar, kami menghabiskan waktu dengan melantunkan banyak lagu daerah dan nasional. Kegiatan ini biasanya rutin dilakukan selain untuk mempererat hubungan internal komunitas pelajar Indonesia di Kyoto-Shiga, juga melepas kerinduan akan Nusantara.

  1. Adakah pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada para pembaca artikel ini?

Pesan yang ingin disampaikan kepada teman-teman yang membaca, saya adaptasi dari pesan seniman senior yang memberikan banyak pengalaman bagi saya dalam waktu yang singkat: Know your root, know your culture, expand your creation, atau dalam bahasa Indonesia menjadi “Ketahui asalmu, ketahui tradisimu, kembangkan karyamu”.

N.B. Terima kasih (ありがとうございました) kepada “Itonk” yang telah membagikan kisahnya, bagaimana untuk tetap “Embracing Your Roots Beyond Borders”!

Profil Narasumber 

Bramantyo
Bramantyo Wikantyoso.

Bramantyo Wikantyoso, atau sering dipanggil “Itonk” Wikantyoso. Warga Indonesia yang cinta terhadap kesenian dan kebudayaan Indonesia. Album: “Beautiful Day” (2013) – Everyday; Single: “Keledai Timur – Proyek Presiden” dalam Album Kompilasi Komunitas Jazz Jogja “Panen Karya” (2012), “Surya Kembara – Everyday” dalam Album Kompilasi Komunitas Jazz Jogja “Panen Karya” (2012). Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Kyoto-Shiga (PPI-KS) 2019–2020. Wakil Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Kyoto-Shiga (PPI-KS) 2018–2019. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Magister di Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Jepang. Sekarang sedang menempuh Pendidikan Doktoral di Kyoto University, Jepang. Bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Facebook: Bramantyo Wikantyoso
Twitter: BWikantyoso
Instagram: itonkwikantyoso

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here