Negeri sakura sudah sering kita dengar menjadi tujuan studi bagi pelajar-pelajar Indonesia. Tidak hanya terkenal karena ilmu teknologinya, tetapi Jepang juga terkenal karena kemajuan ilmu sainsnya. Tidak sedikit dari kampus-kampus Jepang yang masuk ke dalam daftar kampus top dunia seperti yang dilansir oleh THE. Salah satunya Universitas Kyoto atau yang dikenal juga dengan istilah Kyodai (singkatan dari Kyōto Daigaku, 京都大学).
Mungkin sudah cukup banyak yang membahas bagaimana pengalaman studi magister dan doktoral serta program pertukaran pelajar untuk mengambil perkuliahan selama 1-2 semester di beberapa universitas Jepang, termasuk universitas Kyoto.
Dalam artikel ini, saya ingin membagikan pengalaman saya mendaftar dan mengikuti program magang penelitian (research internship) di Universitas Kyoto melalui skema pertukaran pelajar, atau lebih tepatnya sebagai special research student (SRS). Tentunya ini menjadi pengalaman yang subjektif dan semoga dapat memberikan sedikit gambaran seperti apa melakukan penelitian di universitas di Jepang. Happy reading!
Runutan proses untuk mendaftar program SRS di Universitas Kyoto
- Menelusuri website kampus dan mencari profesor (sensei) dan laboratorium yang penelitiannya saya minati. Apabila kita memutuskan untuk magang penelitian di Jepang atau di mana pun, maka yang utama perlu dicari tahu adalah calon pembimbing beserta topik penelitian yang dilakoni. Sangat penting untuk mengerjakan penelitian yang merupakan minat kita supaya kita dapat menikmati proses magang kita.
- Sebelum menghubungi profesor yang saya minati, saya menelusuri keberadaan skema magang penelitian di Kyodai dan menemukan tentang program Special Research Student.
- Sebelum menghubungi calon pembimbing melalui email dan mengenalkan diri serta mengajukan topik dan durasi penelitian, saya mencoba mencari tahu latar belakang pendidikan profesor tersebut. Berhubung saya tidak dapat berbahasa Jepang, tentu saya akan berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sepengetahuan saya, tidak semua profesor di Jepang menerima mahasiswa yang hanya bisa berbahasa Inggris. Selain itu, latar belakang pendidikan profesor menjadi suatu pertimbangan bagi saya, apakah calon profesor tersebut dapat berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa Inggris. Salah satu alternatif untuk mengetahui ini juga dapat dilakukan dengan menghubungi mahasiswa Indonesia ataupun dari negara lain, misalnya melalui email atau LinkedIn dan menanyakan situasi dan kondisi laboratorium yang Anda minati.
- Pada awalnya saya ditolak profesor karena beliau mengatakan tidak ada skema magang penelitian di Universitas Kyoto. Tetapi kemudian, saya menjelaskan bahwa saya berminat untuk magang di sana melalui program pertukaran pelajar (exchange student) sebagai SRS. Kebetulan kampus asal saya S2, Universitas Wageningen, juga memiliki kerja sama (MoU) dengan Universitas Kyoto, sehingga saya juga tidak perlu membayar biaya tambahan, seperti tuition fee dan hanya perlu menanggung biaya hidup (living cost) sendiri. Biaya hidup ini dapat dipenuhi dengan beasiswa awal yang sudah Anda miliki atau apabila Anda memerlukan beasiswa dari Jepang, maka ada beasiswa seperti JASSO yang dapat dicoba. Tetapi beasiswa JASSO biasanya tidak menanggung secara full biaya yang Anda perlukan. Anda dapat mendapatkan informasi lebih detil di sini.
- Menghubungi exchange student office di universitas awal saya terkait rencana untuk mengikuti SRS ini. Dalam program pertukaran pelajar yang disepakati melalui MoU antara dua universitas, biasanya terdapat jumlah kuota mahasiswa tertentu yang dapat dikirimkan untuk mewakili universitas masing-masing. Saya menjadi orang beruntung kedua yang mewakili Universitas Wageningen untuk mengikuti program pertukaran pelajar ini.
- Mengurus berbagai dokumen yang diminta sesuai arahan dari profesor dan pihak administrasi kampus, seperti visa dan juga untuk akomodasi. Dengan berbekal surat keterangan dari Universitas Kyoto, proses pengurusan visa tidaklah rumit dan selesai dalam waktu relatif cepat (<1 bulan). Selain visa, saya juga dibantu oleh profesor saya dan pihak administrasi kampus di Jepang terkait akomodasi yang dapat saya tempati.
- Berangkat pada waktu yang sudah disepakati. Yeay!
***
Pengalaman penelitian di laboratorium Natural Resource Economics, Universitas Kyoto
Saya melakukan penelitian di Divisi Ekonomi Sumber Daya Alam (Division of Natural Resource Economics), tepatnya di Graduate School of Agriculture, selama lebih kurang 5-6 bulan. Teman-teman dapat menemukan informasi lebih lanjut terkait prosedur mendaftar sebagai special research student (SRS) di website Graduate School of Agriculture, Universitas Kyoto di sini.
Ketika saya tiba di Jepang, saya mendiskusikan topik penelitian dan melakukan beberapa penyesuaian topik. Singkat cerita, saya akhirnya melakukan penelitian dengan dibimbing oleh sensei dan salah satu post-doc yang ada di laboratorium.
Selama penelitian, bisa dikatakan bahwa saya dituntut harus mandiri dan banyak membaca untuk memahami secara mendalam topik-topik di dalam penelitian saya. Selain itu, hal yang menarik adalah diadakannya weekly seminar di mana anggota lab memberikan presentasi progres penelitiannya kepada anggota lab yang lainnya. Seminar ini menjadi wadah yang menarik bagi saya untuk mendapatkan inspirasi apa saja yang dikerjakan oleh teman-teman se-lab saya. Tetapi, kekurangannya adalah beberapa mahasiswa memberikan presentasinya dalam bahasa Jepang karena kendala bahasa. Poin-poin utama dijelaskan ulang oleh profesor saya dalam bahasa Inggris kembali. Namun, saya kira ada beberapa informasi yang tentu dapat digali lebih jauh bila saya dapat memahami presentasi dalam bahasa Jepang.
Adapun dari segi kehidupan sosial di kampus, saya merasa cukup “terisolasi” dalam artian circle yang cukup kecil karena saya hanya dapat berkomunikasi dengan pembimbing saya dan beberapa teman internasional dan beberapa orang Jepang yang dapat berbahasa Inggris. Tentu by nature, ini karena memang saya hanya melakukan penelitian di sana dan tidak mengikuti perkuliahan seperti mahasiswa biasa. Di luar kampus, saya cukup aktif berkomunikasi dengan teman asrama dan beberapa teman di komunitas pelajar Indonesia. Jadi, dapat dikatakan sudah cukup seimbang antara kehidupan akademis dan nonakademis.
Secara keseluruhan, saya dapat mengatakan bahwa ini merupakan pengalaman yang tidak terlupakan, di mana saya men-“cemplung”-kan diri saya di suatu atmosfer yang baru. Tidak hanya belajar ilmu yang baru pastinya, tetapi saya belajar bagaimana untuk beradaptasi dan survive di suasana yang baru. Saya berpendapat bahwa Jepang dapat menjadi tempat untuk mengembangkan diri yang sangat baik. Namun, pengalaman teman-teman tentu akan lebih maksimal bila dapat berkomunikasi dengan bahasa Jepang.
***
Apa saja yang perlu dipertimbangkan?
Setelah menjalani magang selama lebih kurang 5-6 bulan, berikut beberapa poin yang ingin saya bagikan yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi para pembaca sekalian yang sedang mempertimbangkan magang penelitian atau mungkin studi lanjut ke Jepang, khususnya ke Kyoto.
- Kemampuan bahasa Jepang
Jepang merupakan negara maju dengan universitas-universitas yang kualitasnya diakui secara internasional, tetapi kendala bahasa dapat menjadi penghambat komunikasi dengan dosen maupun teman-teman satu lab. Apabila Anda tidak dapat berbahasa Jepang dan bergabung dengan lab di mana sangat minim mahasiswa non-Jepangnya, maka besar kemungkinan akan cukup sulit berkomunikasi dengan teman satu laboratorium Anda.
Selain itu, mulai dari hal yang sederhana, menjadi kebutuhan, dan wajib, seperti pengurusan asuransi dan juga pembuatan kartu perpustakaan, semuanya full Japanese. Dalam hal ini, saya sangat terbantu oleh tutor yang diamanahi oleh profesor saya untuk membantu saya saat 1-2 bulan awal di Jepang. Bagi yang tidak memiliki interest sama sekali dengan bahasa atau budaya Jepang, hal ini dapat menjadi momok yang menakutkan atau membuat stres. Tetapi di sisi lain, bila Anda senang dengan hal yang baru, saya merasa ini akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan! Google translate really helped me! (bukan endorse ya :=) )
- Pengalaman riset
Pengalaman magang ataupun studi di Jepang sangat bergantung pada laboratorium dan juga komposisi mahasiswa yang ada di lab tersebut. Pengalaman riset yang “keras” dan “ketat” bergantung pada pembawaan pembimbing Anda ataupun pengalaman berinteraksi dan bertukar pikiran mengenai ide penelitian yang juga bergantung dari rekan-rekan sejawat Anda.
- Komunitas pelajar Indonesia
Bagi yang khawatir dan takut homesick dengan Indonesia, terdapat komunitas Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) yang dapat menjadi wadah untuk melepas kangen dengan Indonesia. Bagi yang baru tiba pertama kali di Jepang, komunitas mahasiswa Indonesia biasanya dengan senang hati memberikan informasi-informasi yang sangat bermanfaat.
- Banyaknya opsi untuk refresh di akhir pekan
Bagi teman-teman yang sudah stres dengan studi atau risetnya di weekdays, maka jangan khawatir! Kyoto, sebagai kota seribu kuil, sudah tentu memiliki banyak lokasi yang dapat dieksplor untuk rekreasi. Atau Anda bisa jogging di sepanjang sungai Kamogawa untuk sekedar santai sambil berolahraga.
- Biaya hidup dan lifestyle
Kelebihan Kyoto dibandingkan kota besar seperti Tokyo adalah biaya hidup yang relatif lebih murah, baik dari akomodasi maupun makanan. Kyoto merupakan kota yang ramah dengan pesepeda dan jarak antara kampus dan asrama mahasiswa mungkin ditempuh dengan bersepeda. Apabila Anda berkuliah di kota besar seperti Tokyo, maka commuting dengan kereta setiap hari menjadi rutinitas yang sulit terelakkan. Apakah Anda menikmati pulang pergi ke kampus dengan naik kereta setiap harinya? Hal ini mungkin menjadi salah satu hal yang dapat dipertimbangkan. Apabila Anda tidak ingin commuting jauh, biasanya terdapat cukup banyak akomodasi yang dekat dengan kampus, tetapi dengan harga yang relatif lebih tinggi.
Demikian sekilas pengalaman singkat saya selama penelitian di Jepang. Beberapa artikel lain seperti pengalaman mengambil studi doktoral dapat dibaca di sini atau kenapa Kyoto dapat dibaca di sini.
Semoga bermanfaat! Ganbatte kudasai!