Setelah selesai pendidikan master di Amerika pada tahun 2019 kemarin dengan beasiswa LPDP – sebagian hati saya terpaut lekat untuk berkontribusi pada ilmu pengetahuan. Rasanya sekolah master belum cukup, dan ada yang tertinggal belum tuntas. Hati ini menurut saja, kembali ke Indonesia untuk melayani tujuannya: mencari pengalaman dan menjawab pertanyaan “Mengapa?” sebanyak mungkin sebelum kembali lagi ke Amerika dengan harapan dapat memfasilitasi dahaga ilmu. Salah satu jalan mendekatkan rindu itu seringkali adalah dengan mengingat kembali masa-masa pertama datang ke Amerika, waktu-waktu gugup namun menarik sebelum perkuliahan bermula; masa yang bukan bagian dari akademik namun potongan pengalaman penting dalam mozaik “merantau dan menuntut ilmu” di Negeri Paman Sam.
Berangkat ke Amerika 2017 silam merupakan keberangkatan sekolah keluar negeri pertama bagi saya. Perjalanan terjauh dan terlama yang ditempuh dengan pesawat terbang dan setapak paling sunyi sepanjang hidup sebab tidak ada banyak teman; hanya ada satu penerima LPDP lainnya yang juga melanjutkan master di tahun yang sama dengan saya. Meskipun kami tidak melanjutkan ke program studi yang sama namun saya punya tandem untuk menyelesaikan to do lists dan paperwork yang dibutuhkan sebelum berangkat ke Amerika, sambil saling jaga kesehatan.
Sebelum keberangkatan
You get resources, you get resources, everybody gets resources! Saya merasa seperti penonton Oprah setiap kali mengambil kesempatan mengenai informasi keberangkatan untuk memastikan touchdown yang mulus sesampainya di Amerika. Sebagai rookie perjalanan ke Amerika, tiga hal utama yang saya pelajari berulang sebelum berangkat adalah (a) cara untuk mengembalikan tubuh ke fungsi normal setelah long flight, atau setidaknya menavigasi agar tubuh tidak terkena dampak buruk dari kurangnya gerak, berubahnya jam tidur, dan ketinggian yang berbeda, (b) informasi mengenai tempat yang dituju, bandara, jarak antara bandara dengan lokasi (letak sekolah, penginapan sementara, angkutan umum, sarana telekomunikasi yang akan digunakan – dengan asumsi tidak memiliki carrier plan dari Indonesia), serta (c) menghubungi dan memiliki kontak darurat dari Indonesia dan di tempat tujuan (dapat berupa keluarga, saudara, teman, hingga Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang ada di Amerika sebagai kontak pertama jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan).
Keterbatasan informasi dalam artikel ini erat sekali kaitannya dengan lokasi sekolah di Amerika. Sebagai mahasiswa program Master di University of Pennsylvania (UPenn, atau local lebih senang menyingkatnya dengan Penn) agaknya pengalaman yang saya dapatkan memiliki irisan pengalaman dengan teman-teman yang mengambil sekolah di pantai timur (East Coast), sehingga artikel ini kurang lebih relevan dengan mahasiswa master yang akan bersekolah di negara bagian: MA, PA, DC, MD, VA, NJ, NY, CT dan DE.
Utama: get yourself cell phone plan
Setelah cukup istirahat, yang paling pertama diurus sesampainya di Amerika adalah SIM CARD! Dalam keadaan ini, Amerika memiliki kultur “family plan” yaitu pembelian dan pembayaran tagihan ponsel secara “bulk” alias sistem keluarga sehingga kartu telepon yang ditawarkan biasanya untuk lebih dari satu orang. Jika kamu kesulitan nebeng di paket “keluarga” teman lain atau tidak menemukan sekumpulan teman yang tidak bisa berkomitmen pada paket “keluarga”, coba beberapa alternatif berikut: “best cell plan data for one” untuk berhemat.
Membuka akun bank
Setelah punya nomor telepon, langsung deh mlipir ke bank. Membuka akun bank di Amerika tidak seperti di Indonesia yang bisa langsung jadi dan aktif sehingga penting bagi mahasiswa membuka akun lebih awal guna mengamankan waktu-waktu penting di masa perkuliahan. Sebelum memutuskan untuk membuka rekening di bank apa, secara sederhana cari tahu perk and glitch dari berbagai international student bank sesuai prioritas kebutuhan. Jika terlalu memusingkan, pilihan lainnya adalah menggunakan bank yang direkomendasikan oleh sekolah/kampus karena biasanya akan ada fasilitas dan keuntungan tambahan dari bank tersebut karena bekerja sama dengan sekolah. (ppssst, ini pilihan saya!).
Mengunjungi sekolah (Mungkin untuk yang pertama kali?)
Salah satu memori terbaik yang saya ingat sebagai sebagai mahasiswa baru, apalagi mahasiswa internasional, adalah buru-buru datang ke sekolah untuk “berkenalan” dengan lingkungan sekolah. Penting untuk datang ke sekolah di awal kedatangan untuk beradaptasi dan mengenal sekitar, aktivitas saya di hari-hari awal kedatangan waktu itu dengan penuh semangat: mencetak student ID, mengkonfirmasi kehadiran ke International Student Center, datang dan mencari resources atau fasilitas yang ditawarkan kampus untuk mahasiswa master di Graduate Student Center, hingga mendaftarkan diri pada acara kumpul-kumpul mahasiswa internasional di kampus.
Selain mencari teman, jurus jitu lainnya yang tercatat diperoleh ketika kumpul di kampus adalah, satu orientasi (mulai dari kelas, bangunan, pusat kebugaran, pusat kesehatan, lapangan olahraga, asrama, perpustakaan, hingga lokasi jajanan, hehehe), dan transportasi (akses transportasi umum dari dan ke sekolah). Nah kebetulan di UPenn ada Penn Transit Service, ada bus kampus yang super gratis commuting setiap sore dan malam untuk mahasiswa dan “penduduk” Penn yang tinggal di radius kilometer tertentu dari kampus, hingga fasilitas pick up shuttle yang datang untuk antar jemput mahasiswa dari satu titik ke titik lain sepanjang malam jika dibutuhkan (bye uber, bye lyft!)
Melaporkan diri sebagai WNI di luar negeri
Sebagai perantau di tempat asing ditambah tanggung jawab untuk menjadi warga negara yang baik, hal utama lainnya yang saya selesaikan di masa awal kedatangan ke Amerika adalah “ambil absen”. Website Kedutaan Besar Indonesia di Washington D.C. menyediakan informasi yang lengkap untuk kita sebagai WNI di luar negeri jika butuh informasi, bantuan, dan kepentingan komunitas lainnya.
Bonus: Mengunduh aplikasi ciamik yang memudahkan kehidupan sehari-hari
Seperti kata pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, pasti mahasiswa internasional ingin riding the wave juga seperti masyarakat lokal dalam menjalani kehidupan hari-hari di luar sekolah, salah satu memanfaatkan aplikasi-aplikasi kreatif yang sejalan dengan gaya hidup di Amerika. Saya mengunduh aplikasi penting berikut untuk memudahkan kegiatan sehari-hari: (a) Weather Cast – negara empat musim susah ditebak, kapan pakai baju beberapa lapis, apa perlu bawa sarung tangan atau payung? Apa hari ini akan berangin dan perlu bawa Tolak Angin? Ya cek aja dulu cuaca hari ini! (b) Public Transport App – ini berbeda tiap kota dan negara bagian, namun secara umum bisa dibilang sebagai “Transit Tracker App”, (c) Local ride-hailing – tentu unduh Uber dan Lyft jika sewaktu-waktu butuh untuk perjalanan yang tidak sepenuhnya dapat dijangkau transportasi umum (d) Venmo – ini aplikasi pembayaran dan transfer antar bank di Amerika, ini penting karena proses transfer digital di Amerika tidak secair di Indonesia, jadi wajib deh punya akun Venmo menggantikan kultur uang elektronik di Indonesia, daaannnn yang terakhir, tidak diunduh tapi diakses yaitu (e) thewirecutter.com – sesampainya di Amerika nanti pasti sering dan banyak belanja di Amazon.com untuk memenuhi kebutuhan harian dan perlengkapan rumah (apalagi kalau di kampus super sibuk), website The Wire Cutter mengkurasi produk-produk bejibun dari Amazon untuk membantu memotong proses kognitif berbelanja supaya dapat the biggest bang for the bucks, (you are welcome!).