Moto Bhinneka Tunggal Ika tentu sudah tidak asing lagi bagi seorang warga Indonesia, moto yang menyatukan negara yang dikenal memiliki keragaman budaya, bahasa, dan suku yang sangat luas tersebut. Namun, moto ini ternyata tidak hanya bisa diamati di dalam negeri saja. Givary Muhammad memiliki pengalaman menarik terkait aplikasi Bhinneka Tunggal Ika di Negeri Paman Sam yang Ia amati selama Ia menempuh studi di SUNY University at Buffalo.
***
E pluribus unum.
Tiga kata yang menjadi salah satu moto nasional Amerika Serikat yang diambil dari Bahasa Latin, yang kurang lebih bermakna ‘dari yang berbeda-beda menjadi satu’. Moto nasional ini berawal dari kedatangan para imigran negara Eropa Barat pada tahun 1870 di tanah Amerika. Pada masa itu, mereka tiba di pelabuhan Kota New York, dengan disambut oleh Patung Liberty, dan kemudian melanjutkan perjalanannya menuju daerah pedalaman Amerika Serikat untuk memulai kembali hidup mereka.
Moto tersebut sekilas akan terasa familier jika dimaknai dan diresapi lebih dalam, terutama bagi kita yang berasal dari Tanah Air. Betul, moto tersebut serupa dengan moto nasional Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tapi tetap satu. Dapat disimpulkan dari kedua moto tersebut bahwa baik Indonesia maupun Amerika Serikat mempunyai penduduk yang beraneka ragam – baik secara etnik maupun agama.
Atas dasar kesamaan itulah saya memberanikan diri untuk melanjutkan studi S1 di Amerika Serikat. Saya berpikir, jika saya sudah terbiasa dengan kemajemukan seperti di Indonesia, pasti tidak sulit untuk saya beradaptasi di negara tersebut. Saya hanya perlu mempertajam lagi kemampuan bahasa asing terutama Bahasa Inggris agar bisa menjalani studi dengan baik.
Karena negara bagian New York sedari dulu sudah terkenal dengan keramahannya terhadap imigran dari seluruh dunia, saya memutuskan untuk memilih universitas negeri terbesar di negara bagian tersebut, yang terletak di Kota Buffalo (sekitar 7 jam berkendara atau 1.5 jam terbang dari Kota New York). Keramahan ini tercermin dari jumlah mahasiswa internasional di kampus saya. Setidaknya, 20 persen dari total 30.000 mahasiswa jenjang S1 hingga S3 di SUNY University at Buffalo merupakan mahasiswa internasional yang berasal dari 105 negara.
Bisa dikatakan, suasana perkuliahan di kampus saya sangat beragam. Saya masih ingat hari pertama saya memulai kuliah lima tahun yang lalu. Ketika saya memasuki sebuah auditorium yang dapat menampung 300 mahasiswa yang sedang mengambil kelas pengantar ekonomi mikro, saya terkejut. Beberapa hari sebelum memulai perkuliahan, saya membayangkan tipikal kelas perkuliahan di Amerika Serikat yang homogenik; ternyata tidak. Mahasiswa Amerika berkulit putih, berkulit hitam, mahasiswa keturunan Hispanik, dan sejumlah mahasiswa India dan Tiongkok nampak gugup dan antusias menunggu datangnya dosen. Saking terkesimanya, saya sampai menoleh ke kiri dan ke kanan seolah tidak percaya akan pluralisme di dalam auditorium tersebut.
Selain dari sisi akademik, terdapat juga dua pusat kegiatan mahasiswa internasional yang dibentuk oleh kampus: International Student Service (ISS) dan Intercultural & Diversity Center (IDC). Pusat kegiatan ini berpusat pada urusan administratif mahasiswa internasional dan berperan sebagai sarana cultural exchange antara mahasiswa domestik dan internasional. Salah satu program IDC bagi mahasiswa internasional adalah International Tea Time, acara minum teh bersama yang menghubungkan mahasiswa domestik dan mahasiswa internasional yang ingin mempelajari budaya negara lain.
Tidak sampai disitu, kampus saya juga memiliki International Council, badan kegiatan mahasiswa yang menjadi rumah kedua bagi mahasiswa internasional yang sedang homesick. Badan ini menaungi sekitar lebih dari 100 negara yang dibagi ke dalam 24 unit kegiatan mahasiswa. Unit – unit ini tidak hanya berfungsi sebagai point of contact mahasiswa internasional yang akan memulai studinya di kampus, namun juga menjadi wadah untuk bertemu satu sama lain melalui acara kebudayaan yang diadakan setiap bulannya. Menariknya, acara kebudayaan ini terbuka bagi seluruh mahasiswa University at Buffalo, baik domestik maupun internasional. Tidak hanya itu, sejumlah dosen di kampus ini juga datang dari berbagai negara, seperti Jerman, Korea Selatan, India, dan bahkan dari negara tetangga Singapura.
Acara kebudayaan yang seringkali ditonjolkan oleh International Council meliputi ajang busana internasional, seni tari, kelas bahasa, hingga acara kuliner internasional. Yang saya perhatikan dari 24 unit kegiatan mahasiswa ini, semua anggota dan pengurus unit amat antusias dalam memperkenalkan budaya mereka masing – masing. Tidak jarang, ada unit kegiatan mahasiswa yang berkolaborasi dalam mengadakan acara kebudayaan, seperti acara budaya antara PERMIAS Buffalo (unit kegiatan mahasiswa Indonesia) dan MASA (unit kegiatan mahasiswa Malaysia). Ada juga International Fiesta, acara tahunan International Council untuk memperingati kemajemukan lingkungan sekolah yang dimeriahkan dengan berbagai pentas tari dari berbagai negara seperti Amerika Latin, Pakistan, Jepang, dan Timur Tengah.
Di tingkat pemerintah federal, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan Amerika Serikat mengadakan International Education Week (IEW) yang diselenggarakan setiap bulan November. IEW merupakan sebuah acara yang dimandatkan bagi institusi pendidikan di Amerika Serikat untuk merayakan pentingnya keberadaan mahasiswa – mahasiswa dari penjuru dunia yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Perayaan IEW sendiri berbeda dari satu kampus ke kampus lainnya. Perayaan di kampus saya pada umumnya disemarakkan oleh booth budaya yang berisi fakta – fakta menarik tentang negara – negara asal mahasiswa internasional. Melalui International Council jugalah perayaan IEW diadakan, dengan mengundang berbagai unit kegiatan mahasiswa untuk membuka booth budaya.
Kemajemukan beragama, di sisi lain, juga merupakan satu komponen penting dalam E pluribus unum maupun Bhinneka Tunggal Ika. Mayoritas penduduk Amerika (73%) adalah pemeluk agama Kristen dan Katolik. Namun, fakta ini tidak menyurutkan iman pemeluk agama lain dalam memegang teguh ajaran agama mereka masing – masing. Di lingkungan kampus, kegiatan keagamaan berdiri sejajar dengan kegiatan akademik dan kegiatan lainnya. Terdapat juga unit kegiatan mahasiswa yang berhubungan dengan kerohanian seperti asosiasi mahasiswa Muslim, perkumpulan mahasiswa Kristen, dan unit – unit agama lainnya seperti Sikhisme.
Serupa dengan unit kegiatan mahasiswa internasional, unit kerohanian mahasiswa terkenal dengan acara perayaan Paskah, kajian Al-Qur’an, ibadah sholat jum’at, dan Bible Study. Semua kegiatan tersebut berlangsung di Student Union, sebuah gedung pusat kegiatan kampus, dan terbuka tidak hanya untuk mahasiswa kampus saja. Bahkan, pihak kampus juga menyediakan musholla bagi unit kerohanian Islam, dan ruang ibadah untuk unit kerohanian Kristen dan Katolik.
Selama empat tahun studi S1, saya tidak pernah mendengar adanya gesekan maupun konflik antar etnik dan/atau agama di kampus. Kampus saya amat menjunjung tinggi toleransi sesama mahasiswa. Meskipun 20 persen dari total mahasiswa SUNY University at Buffalo merupakan mahasiswa internasional dari 105 negara, mahasiswa domestik tidak pernah menyatakan rasa ketidaksukaannya terhadap mereka.
Selama empat tahun jugalah saya belajar bahwa kunci dari toleransi dan kemajemukan etnik dan agama hanya satu, yakni respect – saling hormat satu sama lain. Apabila kita ingin dihormati, maka kita harus menghormati orang lain. Respect inilah yang menjadi fondasi dari E pluribus unum maupun Bhinneka Tunggal Ika.