Open Curriculum di Brown: Membuka Pikiran dan Mendewasakan

1
3076

Sistem pendidikan liberal arts a la Amerika Serikat terkadang sulit dipahami oleh teman-teman dan keluarga saya di Indonesia. “Satrio belajar seni ya?” atau “liberal arts itu semacam seni modern ya?”, begitu kira-kira tanggapan mereka ketika saya beritahu bahwa saya menempuh pendidikan S1 di Wesleyan, sebuah institusi liberal arts di Connecticut. Maka tak aneh pula kalau mereka terperanjat ketika saya beritahu bahwa saya bisa mengambil kelas-kelas yang beraneka ragam macamnya seperti Bahasa Arab, seni tari, ekonomi, hingga kimia dalam kurun satu semester.

Definisi dan kelebihan sistem pendidikan tinggi berbasis liberal arts sudah pernah dibahas sebelumnya secara mendalam oleh kontributor-kontributor Indonesia Mengglobal. Pada dasarnya, institusi liberal arts ingin menjamin lulusannya mampu berpikir kritis dan holistik dengan mewajibkan suatu kurikulum inti yang tersusun dari beberapa area keilmuan. Mahasiswa biasanya harus mengambil mata kuliah dari tiap-tiap area tersebut. Misalnya, area keilmuan itu bisa berupa ilmu sosial, ilmu budaya, serta sains murni.

Sekarang, bayangkan kalau kurikulum inti atau persyaratan distribusi keilmuan yang sudah cukup memerdekakan tersebut ditiadakan. Di universitas tempat saya menempuh gelar PhD sekarang, Universitas Brown, mahasiswa S1 diminta untuk menyusun sendiri kurikulum mereka. Sistem Open Curriculum yang telah diadopsi Brown semenjak dekade ‘60-an, membebaskan serta memberikan tanggung jawab bagi para mahasiswa untuk mengatur arah dan bentuk pengembaraan intelektual mereka di Brown.

Sistem pendidikan unik di Brown memungkinkan mahasiswa untuk mengambil satu langkah mundur untuk berefleksi dan melihat gambaran besar akan jagat keilmuan yang terbentang di depan mata mereka, sebelum kemudian menentukan satu arah karir atau keilmuan yang dirasa paling cocok serta melangkah maju secara sistematis mendekati tujuan tersebut. Pada saat yang sama, mahasiswa diharapkan untuk senantiasa membuka diri kepada pengalaman dan ide baru yang ditawarkan Brown. Mahasiswa Brown bisa saja mengambil suatu kelas dengan opsi penilaian satisfactory/no credit (S/NC), yang berarti mereka tidak akan menerima letter grade di akhir semester. Sistem ini memungkinkan mahasiswa untuk mengeksplorasi suatu topik tanpa rasa stres yang seringkali muncul dalam sistem evaluasi normal dengan letter grade. Banyak mahasiswa Brown juga mengambil kesempatan untuk melakukan studi independen di bawah bimbingan satu atau dua orang profesor, terutama bila kelas-kelas yang menjadi minat mereka tidak tersedia.

Tahun 2010, Brown dinobatkan Princeton Review sebagai college nomor wahid di Amerika untuk kategori Happiest Student. Meskipun ada banyak alasan mengapa mahasiswa Brown sepatutnya merasa bahagia, misalnya jumlah mahasiswa yang tidak terlampau besar (hanya 6000-an mahasiswa S1 dan 2000-an mahasiswa master dan doktoral), lokasi kampus di area College Hill yang bersejarah dengan arsitektur menarik di tengah Providence (kota nyeni berukuran sedang yang juga ibukota negara bagian terkecil di Amerika, Rhode Island), serta banyaknya klub atau organisasi kemahasiswaan (lebih dari 200 student groups), saya rasa Open Curriculum di Brown menjadi faktor kunci penentu tingginya keceriaan mahasiswa Brown.

Semester lalu, ketika sebagai seorang Graduate Teaching Assistant saya memimpin sesi laboratorium untuk kelas Earth: Evolution of a Habitable Planet, saya sadar bahwa ada tiga tipe mahasiswa yang hadir di ruang laboratorium tersebut. Pertama, mahasiswa yang sudah memutuskan ingin menjadi Geology concentrator dan mengambil kelas tersebut sebagai salah satu persyaratan konsentrasi (istilah Brown untuk major atau jurusan) di Departemen Geologi. Kedua, mahasiswa yang berpikir untuk mengambil konsentrasi Geologi namun masih tetap membuka opsi untuk pilihan konsentrasi yang lain. Ketiga, mahasiswa yang tidak berminat untuk mengambil konsentrasi Geologi, tetapi tertarik akan topik yang diajarkan di kelas tersebut. Open Curriculum memastikan bahwa kesemua mahasiswa tersebut berada di ruangan itu atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan pihak lain, dan hal ini menciptakan suasana belajar-mengajar yang sangat kondusif. Dari pengalaman saya berinteraksi dengan mereka, selain cerdas dan kritis, mahasiswa S1 di Brown sangat fokus, bertanggung jawab, dan punya kemauan yang kuat untuk meningkatkan kapasitas intelektual mereka.

Sebagaimana kampus Ivy League lain, Brown adalah juga suatu major research university dengan endowment lebih dari dua miliar dolar Amerika dan program S2 dan S3 yang mumpuni. Namun, program S1 di Brown mendapatkan perhatian lebih khusus lagi. Kalau di universitas riset lain kegiatan belajar-mengajar seringkali ditempatkan di nomor dua setelah aktivitas riset, tidak demikian halnya di Brown. Ketika seorang pengajar di Brown dievaluasi untuk tenure atau posisi permanen di departemennya, penilaian kualitas mengajar individu tersebut mendapatkan posisi yang sama pentingnya dengan kualitas riset dan dana riset eksternal yang berhasil dikumpulkan pengajar tersebut. Mahasiswa S1 di Brown juga mendapatkan akses yang mudah untuk bertemu dan berdiskusi dengan profesor baik di dalam maupun di luar kelas. Beberapa frasa yang sering muncul untuk mendeskripsikan profesor-profesor di Brown misalnya adalah “penuh gairah mengajar” dan “peduli pada mahasiswanya”. Di departemen-departemen sains murni, tidak jarang ditemukan seorang mahasiswa tingkat pertama atau kedua yang sudah mulai melakukan penelitian di laboratorium di bawah bimbingan seorang profesor.

Kurikulum unik yang ada di Brown, reputasinya sebagai salah satu universitas Ivy League penuh tradisi (Brown didirikan tahun 1764), serta fokus Brown akan pendididikan S1 menarik banyak pendaftar dengan kualifikasi tinggi dari dalam maupun luar Amerika. Terlebih, alumni S1 Brown mencakup banyak gubernur, senator, dan anggota Kongres AS, serta menteri-menteri AS dan negara lain. Tercatat pula misalnya Jim Yong Kim (Presdir Bank Dunia), Ted Turner (pendiri CNN), dan aktris Laura Linney. Bintang Harry Potter, Emma Watson, yang berasal dari Inggris akan lulus dari Brown tahun 2013 ini. Selain itu, menarik pula diamati bahwa karakter-karakter di berbagai TV shows populer, seperti “The Simpsons”, “Family Guy”, “The O.C.”, hingga “Gossip Girl” diceritakan berkuliah atau ingin berkuliah di Brown. Dua tahun terakhir, Brown hanya menerima sekitar 9 persen dari seluruh total aplikasi yang masuk, menempatkan Brown sebagai salah satu dari sedikit sekali universitas Amerika yang tingkat selektivitasnya di bawah 10 persen (bersama Harvard, Yale, Princeton, Columbia, Dartmouth, Stanford, dan MIT).

Pendidikan liberal arts mungkin bukan untuk setiap orang. Pun dengan Open Curriculum khas Brown yang lebih liberal dari model tipikal liberal arts di Amerika. Sebagaimana realita hidup di abad teknologi ini yang dihadapkan pada begitu banyak pilihan, mahasiswa Brown harus senantiasa memilih kelas-kelas apa yang hendak mereka ambil. Kebebasan akademis dan proses pengambilan keputusan secara independen yang ditawarkan Brown membuat mahasiswa mengerti secara mendalam mengapa mereka mengambil suatu keputusan. Terkadang keputusan tersebut terbukti benar, tetapi di lain waktu bisa saja membawa konsekuensi buruk. Tak masalah, karena itu semua bagian dari proses pendewasaan diri dan kita belajar banyak dari setiap kesalahan. Apalagi, dari pengalaman banyak mahasiswa Brown, kebebasan menentukan arah dan bentuk pendidikan secara mandiri ternyata dapat mendatangkan rasa bahagia berkuliah.

 

Image source: Brown University’s Facebook


BAGIKAN
Berita sebelumyaPerlukah Melanjutkan Kuliah di Luar Negeri?
Berita berikutnyaCoffee Chat with Indonesia Mengglobal
Satrio A. Wicaksono is currently a PhD student at Brown University studying Climate Science, with a focus on Indonesian past climates. He completed his undergraduate in Geology and Environmental Studies (with a certificate in International Relations) at Wesleyan University in 2010, followed by a Master’s in Geological Sciences at Brown University in 2012. Satrio was a Freeman Scholar at Wesleyan, where he was also active in the Muslims Students’ Association and served as Resident Advisor, Classroom Support Manager and Peer Advisor. When he’s not busy in the lab or doing fieldwork, Satrio can be found volunteering at a local elementary school or playing gamelan and rehearsing Javanese dance with the Brown gamelan ensemble. He can be reached at satrioadi.wicaksono@gmail.com.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here